Dalam Tradisi Gereja Barat, Rabu Abu adalah hari pertama Prapaskah, pada hari Rabu abu, abu diberkati, baik dicampur dengan minyak suci maupun air suci, dan ditempatkan di atas kepala dengan tanda salib, atau ditaburkan di dahi. Ketika imam mengenakan abu ia mengatakan baik “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” (Kej 3:19).
Warna Liturgi: Ungu
Tipe Hari Raya : Hari Berpuasa dan Berpantang
Waktu dalam Tahun Liturgi: Hari Pertama Masa Prapaskah (Kalender Gereja Katolik Roma)
Durasi: Satu Harii
Perayaan/Simbolisasi: Pertobatan, Berkabung, Kerendahan Hati
Nama Lain: Dies Cinerum (Hari Abu)
Referensi Kitab Suci: Matius 4:1-11; Lukas 4:1-13; Ester 4:1-3; Yun 3:5-6; Dan 9:3; Mat 11:21
Rabu Abu bukanlah hari libur di Gereja
Timur, dan dikembangkan hanya di Gereja Barat. Gereja-gereja Ortodoks
mulai Prapaskah pada hari Senin,Pada abad ke-8 Rabu Abu menjadi hari puasa
yang resmi , karena muncul dalam Sacramentarium Gregorian dari periode
tersebut. Awalnya, Prapaskah dimulai pada hari Minggu. Namun, untuk
membawa jumlah hari Prapaskah untuk 40 (hari-hari Yesus berpuasa di padang
gurun), awal Prapaskah akhirnya dipindahkan ke hari Rabu. Awalnya,Penggunaan abu dalam liturgi berasal
dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan
sesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain
kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari
Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).
Ayub (yang kisahnya
ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan
duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan
Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, “Lalu aku
mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil
berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3). Dalam abad kelima sebelum masehi, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat,
kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi
diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari
Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan
pengertian umum akan makna yang dilambangkannya. Yesus
Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak
untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan
mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya
mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan
Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian
kabung dan abu.” (Mat 11:21)*
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah. Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
Dalam liturgi kita
sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari
daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun
sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi
umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, “Ingat, engkau berasal
dari debu dan akan kembali menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah
kepada Injil.” Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna
menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima:
kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan
hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita.
Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu
ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang
baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia
ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini
serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri
kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.
Sementara kita mencamkan
makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa
Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam
karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Paus Yohanes Paulus II dalam pesan Masa
Prapaskah tahun 2003 mengatakan, “Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa
umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan
untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk
berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.” Beliau juga menyesali bahwa “abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama
rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa
berkeriapan dalam hati manusia … Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan
menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap
saudara-saudari mereka.”
Referensi: Church Year, Yesaya
Referensi: Church Year, Yesaya
Dominus Illuminatio Mea!