0 komentar

Katekese Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari)


Setiap tanggal 1 Januari, tepat seminggu setelah Natal, Gereja merayakan secara meriah Hari Raya Maria Bunda Allah. Dalam kesempatan ini, Gereja mengajak semua kaum beriman untuk memperingati keibuan Ilahi Santa Perawan Maria, Bunda Yesus Kristus. Setiap tanggal 1 Januari, tepat seminggu setelah Natal. Melalui Maria, Sang Sabda memperoleh kedagingan manusia. Melalui Maria, Allah yang tidak terlihat menjadi terlihat.

Berikut adalah terjemahan bebas dari sebuah tulisan di churchyear dot net.

Pada abad ke-4 dan ke-5, Gereja dilanda perdebatan sengit mengenai kodrat Kristus: hubungan antara kodrat Ilahi dan kodrat manusia-Nya. Yang menjadi pusat perdebatan adalah gelar Maria. Sejak -paling tidak- abad ke-3, orang-orang Kristen telah merujuk Maria sebagai Theotokos, yang berarti “Pembawa Allah”.

Dokumen pertama yang menggunakan istilah ini adalah surat Origen dari Alexandria di tahun 230 M. Terkait dengan 
Theotokos inilah, Maria disebut Bunda Allah. Hal yang populer dalam kesalehan kristiani ini mendapat keberatan dari Patriark Konstantinopel, Nestorius, antara tahun 428 M hingga 431 M.

Menurut Sang Patriark Nestorius, Maria hanyalah bunda dari kodrat manusia Yesus, dan bukan dari kodrat Ilahi-Nya. Pemikiran Nestorius ini (atau setidaknya, argumennya itu yang ditangkap orang lain) telah dikutuk  pada Konsili Efesus tahun 431 M, dan sekali lagi pada Konsili Kalsedon tahun 451 M. Gereja menetapkan bahwa Kristus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, dan kodrat ini bersatu dalam satu pribadi Ilahi, Yesus Kristus.

Demikianlah Maria bisa disapa “Bunda Allah” karena dia melahirkan Yesus yang sungguh Ilahi sungguh manusia. Sejak saat itu, Maria kerap dihormati sebagai “Bunda Allah” oleh umat Katolik, Ortodoks, dan banyak Protestan .

Hari Raya Maria Bunda Allah, yang jatuh tepat satu minggu setelah Natal sekaligus akhir dari oktaf Natal, cocok untuk menghormati Maria sebagai Bunda Yesus, mengikuti kelahiran Kristus. Ketika merayakan Hari Raya Maria Bunda Allah, kita tidak hanya menghormati Maria, yang telah dipilih di antara semua perempuan di sepanjang sejarah untuk menbawa Allah yang berinkarnasi, tetapi juga menghormati Tuhan kita, yang sungguh Allah sungguh manusia.

Panggilan sebagai “Bunda Allah” merupakan kehormatan tertinggi yang dapat kita berikan kepada Maria. Sama seperti Natal menghormati Yesus sebagai “Pangeran Damai”, maka Hari Raya Maria Bunda Allah ini menghormati Maria sebagai “Ratu Damai”. Perayaan meriah ini, yang jatuh pada Tahun Baru, juga bermaksud menjadikan hari itu sebagai Hari Perdamaian Dunia.

Sejarah
Asal-usul perayaan keibuan Ilahi Maria ini tidak jelas, namun ada beberapa bukti mengenai pesta kuno yang memperingati peran Maria sebagai Theotokos. Sekitar tahun 500 M Gereja Timur merayakan “Hari Theotokos” baik sebelum maupun setelah Natal. Perayaan ini akhirnya berkembang menjadi sebuah pesta Maria pada 26 Desember dalam kalender Bizantium dan 16 Januari dalam kalender Koptik.

Di Barat, Natal telah umum dirayakan dengan satu oktaf, sebuah perpanjangan delapan hari sejak hari perayaan itu. Kalender Gregorian dan Romawi dari abad ke-7 menandai hari oktaf Natal dengan penekanan yang kuat pada masalah Maria. Namun, akhirnya di Barat, hari kedelapan dari oktaf Natal dirayakan sebagai Pesta Yesus Disunat.

Dorongan untuk hari pesta resmi guna merayakan keibuan ilahi Maria dimulai di Portugal, dan pada tahun 1751, Paus Benediktus XIV memperbolehkan gereja-gereja di Portugal untuk merayakan keibuan Ilahi Maria pada Minggu pertama di bulan Mei. Pesta ini akhirnya diperluas ke negara lain, dan pada tahun 1914, dirayakan pada tanggal 11 Oktober. Pesta keibuan Ilahi Maria menjadi pesta universal pada tahun 1931.

Namun, mengikuti Vatikan II, Paus Paulus VI memutuskan untuk mengubah Pesta Yesus Disunat menjadi HR Maria Bunda Allah untuk meyatakan kembali penekanan Gereja Barat purba terhadap masalah Maria pada akhir oktaf Natal. Perayaan keibuan Ilahi Maria dalam oktaf Natal melengkapi makna bahwa perayaan ini terhubung erat dengan kelahiran Kristus. Paus Paulus VI memberikan alasan untuk perubahan ini:

Dalam revisi penetapan masa Natal, kita semua harus berbalik dengan satu pikiran untuk memulihkan perayaan Bunda Allah. Pesta ini telah dimasukkan ke dalam kalender liturgi di kota Roma pada hari pertama di bulan Januari. Tujuan dari perayaan ini adalah untuk menghormati peran Maria dalam misteri penyelamatan dan pada saat yang sama untuk menyanyikan pujian akan martabat unik kepada “Bunda Kudus … melalui siapa kita telah diberi karunia oleh Pencipta kehidupan”. Perayaan yang sama ini juga menawarkan kesempatan yang sangat baik untuk memperbaharui adorasi secara sah yang akan diperlihatkan kepada Pangeran Damai yang baru lahir, karena kita sekali lagi mendengar kabar gembira dari sukacita besar dan berdoa kepada Allah, melalui perantaraan Ratu Damai, untuk karunia perdamaian yang tak ternilai. Karena pertimbangan ini dan fakta bahwa oktaf Natal bertepatan dengan hari harapan, Tahun Baru, maka kami telah menetapkan hari itu sebagai Hari Perdamaian Dunia (Paulus VI, Marialis Cultus, 2 Februari 1974, nomer 5).

Demikianlah Paus Paulus VI menyoroti perayaan hari raya terhadap Maria dan Yesus. Paus juga mencatat koneksi antara Tahun Baru dengan peran Maria sebagai Ratu Damai. 1 Januari, HR Maria Bunda Allah juga dipandang sebagai “Hari Perdamaian Dunia.”

Pertanyaan yang sering diajukan
Katolik dan Ortodoks menyebut Maria “Bunda Allah”. Bagaimana mungkin Maria melahirkan Allah, jika Dia kekal?

Tidak ada orang Katolik, Ortodoks, ataupun Protestan klasik yang dikonfirmasi yang memahami istilah Theotokos atau gelar “Bunda Allah” yang serupa yang artinya Maria melahirkan Trinitas sebelum dimulainya waktu. Pemahaman ini konyol dan benar-benar salah. Namun, seperti dinyatakan di atas, panggilan Maria Theotokos, atau “Bunda Allah”, menegaskan bahwa Maria melahirkan Kristus yang adalah Allah dan manusia. Ketika Yesus berada di dalam rahim Maria, Dia sungguh Allah dan sungguh manusia. Ketika Yesus melalui jalan lahir Maria, Dia melakukannya sebagai yang sungguh manusia, namun juga sebagai yang sungguh Allah. Untuk memisahkan kodrat manusia dan kodrat Ilahi dari Kristus dengan cara yang Nestorius lakukan adalah untuk membagi Yesus secara tidak benar menjadi dua pribadi, satu Ilahi dan satu manusia.
Jadi, penegasan Maria sebagai Bunda Allah lebih berkaitan dengan siapa Yesus itu daripada siapa Maria itu. Segala sesuatunya berkaitan dengan Kristus yang  adalah Allah dan manusia pada saat yang bersamaan. Panggilan Maria Sang Pembawa Allah hanya menegaskan bahwa Maria adalah bunda dari satu pribadi, yakni Yesus, yang adalah sungguh manusia dan sungguh Ilahi. Katolik, Ortodoks, dan mayoritas Protestan (Anglikan, Lutheran, Methodis, Presbiterian, dan beberapa denom Baptis) menerima deklarasi Konsili Kalsedon mengenai panggilan Maria sebagai “Theotokos“.


 
Toggle Footer
Top