Skisma Timur
Sejak masa Diotrephes (3Yoh 1:9-10) telah terjadi skisma-skisma secara berkelanjutan, yang paling banyak adalah di Timur. Arianisme menyebabkan sebuah skisma yang besar; skisma pihak Nestorian dan Monophysite masih berlangsung. Namun yang dimaksudkan "Skisma Timur" biasanya adalah pertikaian memprihatinkan yang menimbulkan perpisahan dengan kebanyakan umat Kristen Timur, skisma yang memunculkan Gereja yang terpisah yang disebut "Gereja Orthodok."
I. PERSIAPAN YANG LAMA BAGI TERJADINYA SKISMA
Skisma Timur tidak bisa dianggap sebagai akibat dari satu buah pertikaian. Tidaklah benar bahwa setelah perdamaian sempurna berabad-abad, lalu karena satu perselisihan, hamper setengah kekristenan jatuh. Peristiwa seperti itu pastilah tidak ada duanya dalam sejarah, kecuali ada suatu bidaah besar. Sementara pada perselisihan yang menimbulkan Skisma Timur, pada awalnya tidak ada ke-bidaah-an dalam pertikaian yang terjadi, ataupun ada ketidaksetujuan yang tak ada harapan untuk terselesaikan mengenai Iman. Kasusnya adalah sebuah skisma murni, sebuah perpecahan persekutuan bersama yang diakibatkan oleh kemarahan dan perasaan tidak suka, bukan karena teologi yang berlawanan. Jikalau sebelumnya semua baik-baik saja maka tidaklah mungkin kalau ratusan uskup tiba-tiba memecahkan diri dari persekutuan dengan kepala mereka. Skisma besar tersebut (ie. Skisma Timur) adalah buah dari proses yang gradual [catatan DeusVult: "gradual" = "meningkat atau bertambah dengan derajat yang reguler dan secara terus menerus"].
Penyebab awalnya harus dicari berabad-abad sebelum ada kecurigaan akan
terjadinya skisma. Ada sejumlah skisma sementara yang mengendorkan ikatan
persekutuan dan mempersiapkan jalan bagi terjadinya Skisma Timur. Dua
perpecahan besar (dilakukan Photius dan Michael Caerularius) yang diingat
sebagai asal-muasal dari keadaan sekarang ini, telah telah diperbaiki setelah
kejadiannya. Secara lebih tepat skisma yang terjadi pada saat ini bisa dilacak
saat pihak Timur menolak Konsili Florence pada 1472. Jadi, meskipun nama
Photius dan Caerularius memang dapat dikaitkan dengan bencana skisma, karena
pertikaian dengan keduanya merupakan unsur utama dari cerita mengenai Skisma
Timur, namun tidak boleh dipikirkan bahwa mereka adalah penyebab skisma
satu-satunya ataupun penyebab skisma yang pertama-tama. Kalau kita
mengelompokkan cerita mengenai asal-muasal Skisma Timur dengan memulai dari
masa Photius dan masa Caerularius maka kita harus menjelaskan penyebab-penyebab
awal yang mempersiapkan terjadinya peristiwa tersebut (ie. peristiwa yang
berkenaan dengan Photius dan peristiwa yang berkenaan dengan Caerularius), dan
kita harus mencatat bahwa setelah terjadinya kedua peristiwa tersebut ada
kesatuan sementara.
Penyebab awal dari semuanya adalah pengasingan gradual antara Timur dan
Barat. Secara pokok pengasingan ini tidak terelakkan. Masyarakat Timur dan
Barat mengelompokkan diri kepada dua pusat yang berbeda sebagai pusat langsung.
Mereka menggunakan ritus yang berbeda dan mempunyai bahasa yang berbeda. Kita
harus membedakan posisi Paus sebagai seorang kepala kasat mata atas seluruh
kekristenan dari tempatnya sebagai Patriakh Barat. Posisi tersebut dan pendapat
bahwa semua uskup setara dalam jurisdiksi adalah dua hal yang sama sekali tidak
diketahui pada masa Gereja awal. Sejak awal kita menemukan sebuah hierarkhi
ber-gradual dari Uskup-uskup metropolitan [sekarang disebut "Uskup
Agung"],exarches [bentuk plural dari "exarch" yang
berarti metropolitan alias Uskup Agung yang yurisdiksinya melampaui
keuskupannya] dan primat [yaitu uskup yang mempunyai otoritas superior tidak
hanya atas uskup-uskup dalam provinsinya, seperti yang dipunyai seorang
metropolitan alias Uskup Agung, tapi juga otoritas atas beberapa provinsi dan
beberapa metropolitan].
Kita sejak awal kita menemukan gagasan bahwa seorang
uskup mewarisi kewibawaan pendiri tahtanya, sehingga uskup yang merupakan
pengganti Rasul mempunyai hak dan keistimewaan khusus [ie. privilege].
Adanya hirarkhi yang gradual ini penting untuk menjelaskan posisi Paus. Dia
bukanlah superior langsung dari setiap uskup; dia adalah kepala dari sebuah
organisasi kompleks dan detail, bagaikan puncak dari sebuah pyramid yang
bersusun meruncing. Pemikiran umat Kristen awal adalah bahwa para patriakh
adalah kepala-kepala kekristenan; lalu lebih lanjut para umat Kristen tahu
bahwa kepala Patriakh berada di Roma. Namun kepala langsung tiap-tiap Gereja
adalah para Patriakh. Setelah Konsili Chalcedon (451) kita harus menghitung
lima ke-patriakh-an: Roma, Constantinople, Alexandria, Antiokia dan Yerusalem.
Perbedaan antara Timur dan Barat, pertama-tamanya, adalah bahwa Paus di
Barat bukan hanya kepala imam tertinggi, tapi juga patriakh local. Bagi umat
Kristen Timur dia adalah seorang otoritas yang jauh dan asing, tempat banding
terakhir bagi pertanyaan-pertanyaan serius, setelah patriakh-patriakh mereka
sendiri tidak mampu menjawabnya. Namun bagi umat Latin di Barat, dia adalah
kepala langsung, otoritas langsung atas metropolitan-metropolitan [ie.uskup
agung – uskup agung] mereka, banding pertama dari uskup-uskup mereka. Sehingga
semua kesetiaan di Barat langsung menuju ke Roma. Roma adalah Bunda Gereja
adalam banyak artian, adalah karena misionaris yang dikirim dari Romalah
Gereja-Gereja local Barat didirikan. Sebaliknya kesetiaan umat Kristen Timur pertama-tama
mengarah ke patriakh mereka sendiri, sehingga selalu ada bahaya terbaginya rasa
kesetiaan kalau sang patriakh bertikai dengan Paus.
Hal ini tidak terjadi di
Barat. Oleh karena itu, kejatuhan dari ratusan uskup Timur, kejatuhan jutaan
umat Kristen sederhana, bisa dilacak oleh skisma yang dilakukan para patriakh.
Bila keempat patriakh Timur menyetujui suatu tindakan maka bisa disimpulkan
bahwa metropolitan-metropolitan [ie. uskup agung - uskup agung] dan uskup-uskup
mereka akan mengikuti para patriakh dan bahwa romo-romo dan umat-umat akan
mengikuti uskup-uskup mereka. Jadi organisasi Gereja, dalam satu cara, telah
mempersiapkan landasan bagi sebuah kontras (yang mungkin akan menjadi suatu
rivalitas) antara patriak pertama di Barat bersama dengan pengikut Latinnya
yang luas, dan dengan para Patriakh Timur dengan pengikut mereka.
Hal lebih lanjut yang patut diketahui adalah perbedaan ritus dan bahasa.
Masalah ritus mengikut kepada suatu ke-patriakh-an, dan hal ini menciptakan
suatu perbedaan yang dengan mudah dipahami oleh umat Kristen sederhana. Seorang
awam Syria, Yunani atau Mesir mungkin tidak memahami menenai hokum kanon yang
berkenaan dengan para patriakh, namun dia tidak mungkin tidak menyadari bahwa
seorang uskup atau romo Latin yang kebetulan sedang bepergian merayakan Misteri
Kudus dalam cara yang sangat aneh, dan kemudian me-label uskup/romo latin
tersebut sebagai orang asing (yang mungkin mencurigakan). Sementara itu di
Barat, Ritus Roma pertama-tama mempengaruhi [peribadatan umat], lalu kemudian
menggantikannya. Sementara di Timur secara gradual terjadi hal yang sama
berkenaan dengan Ritus Byzantine.
Jadi kita punya bibit atas dua kesatuan.
Tidak diragukan lagi kedua belah pihak paham bahwa ritus yang lain merupakan
cara yang sah dalam merayakan misteri yang sama, namun perbedaan yang ada
membuat sulit pengucapan doa bersama. Kita melihat bahwa perkara ini merupakan
sebuah perkara yang penting dalam sejumlah tuduhan yang berkenaan dengan
masalah-masalah ritual yang diajukan oleh Caerularius ketika dia mencari-carai
dasar untuk pertikaian.
Bahkan detail atas bahasa merupakan sebuah unsur penyebab perpisahan
[antara Barat dan Timur]. Memang benar bahwa Timur tidak pernah seluruhnya
terpengaruh budaya hellenistik sebagaimana Barat pun tidak pernah sepenuhnya
terpengaruh budaya Latin. Meskipun demikian, Yunani memang telah menjadi bahasa
internasional di Timur. Pada konsili-konsili di Timur semua uskup berbicara
bahasa Yunani. Jadi sekali lagi kita mempunyai dua kesatuan dalam hal bahasa — Yunani
bagi Timur dan Latin bagi Barat. Sulit untuk membayangkan bagaimana detail
mengenai bahasa ini menjadi sebuah sebab dari pengasingan, namun memang tidak
diragukan lagi banyak kesalahpahaman timbul dan berkembang hanya karena
orang-orang tidak bisa memahami satu sama lain. Karena saat
perselisihan-perselishan ini timbul, masih sangat sedikit orang yang mampu
berbahasa asing. Baru ketika jaman Renaissance timbul-lah masa dimana tata
bahasa dan kamus-kamus yang mempermudah [pembelajaran bahasa asing].
St
Gregorius I (d. 1604) merupakan seorang duta kepausan di Constantinople, namun
tampaknya dia tidak mempelajari bahasa Yunani; Paus Vigilius (540-55)
menghabiskan delapan tahun yang tak bahagia di Constantinople namun dia tidak
pernah belajar bahasa Yunani. Photius merupakan seorang pelajar dengan
pengetahuan mendalam pada jamannya, namun dia tidak paham Latin. Ketika Leo IX
(memerintah 1048-54) menulis dalam bahasa Latin kepada Peter III dari Antiokia,
Peter III terpaksa menyerahkan surat tersebut ke Constantinople untuk
mengetahui isinya. Kasus-kasus tersebut terjadi secara berkelanjutan dan
membingungkan semua hubungan Timur dan Barat. Pada konsili-konsili, duta-duta
kepausan memberi sambutan kepada para bapa konsili dalam bahasa Latin dan tidak
seorang pun yang memahami mereka; ketika konsili berjalan dengan menggunakan
bahasa Yunani sebagai bahasa pengantar, para duta kepausan pun bertanya-tanya
apa yang terjadi. Jadi muncul kecurigaan dari kedua belah pihak.
Penerjemah
terpaksa dipanggil; namun apakah versi mereka bisa dipercaya? Kaum Latin,
khususnya, punya kecurigaan yang sangat dalam atas rancangan kaum yunani dalam
perkara ini. Para duta diminta untuk menandatangani dokumen yang mereka sendiri
tidak paham atas dasar jaminan bahwa tidak ada satupun [dalam dokumen tersebut]
yang mengkompromi [posisi kepausan]. Dan hal-hal kecil membuat begitu banyak
perbedaan. Contoh yang paling terkenal, bertahun-tahun kemudian, adalah dekrit
[Konsili ekumenis] Florence dan bentuk-bentuk kath on tropon,
quemadmodum, menunjukkan seberapa banyak kebingungan yang bisa disebabkan
oleh penggunaan dua bahasa.
Gabungan penyebab-penyebab tersebut menghasilkan dua bagian kekristenan,
Timur satu bagian dan Barat satu bagian. Masing-masing terbedakan dari yang
lainnya dalam banyak cara. Penyebab-penyebab tersebut memang tidaklah cukup
untuk [dijadikan penyebab] atas perpecahan dua bagian tersebut; hanya saja,
yang bisa kita catat adalah adanya suatu kesadaran akan keberadaan dua entitas,
tertorehkannya suatu garis batas untuk pertama kali, dimana rivalitas,
kecemburuan, kebencian bisa dengan mudah memotong tepat digaris batas kedua
pihak.
II. PENYEBAB PENGASINGAN
Rivalitas dan kebencian muncul karena beberapa sebab. Tidak diragukan lagi
sebab pertama, dan merupakan akar dari semua pertikaian, adalah kenaikan posisi
Tahta Constantinople. Kita sering melihat bagaimana empat ke-patriakh-an Timur,
dalam batasan tertentu, dikontraskan dengan kesatuan tunggal Barat. Kalau saja
tetap ada kesatuan seperti itu di Timur, maka masalah yang lebih jauh tidaklah
perlu terjadi. Apa yang memperkuat ke-kontras-an [antara empat ke-patriakh-an
Timur dan satu ke-patriakh-an Barat] dan yang membuatnya menjadi sebuah
rivalitas adalah kenaikan secara gradual otoritas Patriakh Constantinople atas
ketiga ke-patriakh-an lainnya. Adalah Constantinople yang mengikat Timur
menjadi satu tubuh, menyatukannya melawan Barat. Adalah upaya terus menerus
Patriakh sang kaisar [ie. Pariakh Constantinople] untuk menjadi semacam paus
Timur, sehingga menjadi sederajat mungkin dengan [Paus Roma], yang merupakan
sumber sejati dari semua masalah.
Pada satu sisi, kesatuan [Gereja Timur]
dibawah Constantinople telah membuat semacam Gereja rival yang bisa ber-oposisi
dengan Roma; di sisi lain, [dalam seluruh upaya] sang Uskup Byzantine [untuk
memajukan posisi Contantinople], mereka menemukan hanya satu penghalang nyata,
yaitu oposisi terus menerus dari para Paus. Sementara itu sang kaisar adalah
teman dan sekutu utama mereka selalu. Dan memang kebijakan sentralisasi kaisar
yang menjadi penyebab bagi rancangan untuk menjadikan Tahta Constantinople
sebagai suatu pusat. Patriakh-patriakh lain yang posisinya diubah bukanlah
lawan yang berbahaya. Dilemahkan oleh pertikaian berkenaan dengan bidah
monophysite yang tak berhenti, kehilangan kebanyakan gembala jagaan, lalu
kemudian dibuat berada dalam kondisi tanpa pengharapan oleh karena penaklukan
Moslem, uskup-uskup Aleksandria dan Antiokia tidak dapat mencegah tumbuhnya
Constantinople.
Dan memang lambat laun mereka kemudian menerima degredasi
[posisi] mereka dengan rela dan menjadi ornament tak bergerak di Istana
Patriakh yang baru. Yerusalem pun dihantam oleh skisma-skisma dan Moslem, dan
Yerusalem adalah sebuah ke-patriakh-an baru yang hanya mempunyai hak-hak yang
paling kecil dari kelima ke-patriarkh-an.
Di sisi lain, dalam setiap langkah kedepan Constantinople, selalu ada
oposisi dari Roma. Ketika tahta baru tersebut [ie.Constantinople] mendapatkan
kehormatan titular [ie. dalam namanya saja] pada Konsili Pertama Constantinople
(381, kanon 3), Roma menolak menerima kanon tersebut (ketika itu Roma tidak
terwakili di konsili tersebut) [Constantinople I tahun 381 pada awalnya
adalah sekedar konsili local Timur yang bahkan tidak dihadiri semua pihak Timur
sendiri]; ketika konsili ekumenis chalcedon pada 451 menjadikan Constantinople
sebagai ke-patriakh-an sejati (kanon 28) para duta dan Paus sendiri menolak
untuk mengakui apa yang telah dilakukan [catatan DeusVult: ini karena keputusan
untuk mengesahkan kanon tersebut dilakukan setelah para duta kepausan
meninggalkan konsili untuk kembali menuju Roma]; saat sang penerus dari
para uskup sufragan yang dulunya mematuhi Heraclea [Constantinople dulunya
memang tahta sufragan dibawah Heraclea], yang begitu teracuni oleh kenaikan
posisinya, mengambil gelar "patriakh ekumenis," lagi-lagi Paus Roma
Kuno yang dengan tegas mengecam kesombongan mereka.
Oleh karena itu kita bisa
memahami rasa iri dan kebencian dalam pikiran sang patriakh baru [ie. Patriakh
Constantinople] sampai-sampai mereka bersedia untuk menghempaskan sepenuhnya
suatu otoritas yang selalu berada dihadapan setiap langkah mereka. Fakta bahwa
pihak-pihak Timur lainnya bergabung dengan mereka [ie. para Patriakh
Constantinople] merupakan buah dari otoritas yang berhasil mereka ambil alih
dari uskup-uskup Timur lainnya. Jadi kita tiba pada pertimbangan penting dalam
permasalahan ini. Skisma Timur bukanlah sebuah gerakan yang muncul di seluruh
Timur; skisma Timur bukanlah sebuah pertikaian antara dua institusi besar;
Skisma Timur secara esensial adalah pemberontakan satu tahta, yaitu
Constantinople, yang berkat perlakuan kaisar kepadanya sebagai anak emas,
berhasil mendapatkan suatu pengaruh yang besar sehingga berkat pengaruh itu
Constantinople mampu menggeret para patriakh lain [yang tak senang dengan
pengeretan tersebut] kedalam skisma.
Kita telah melihat bagaimana sufragan-sufragan dari
para patriakh secara alami akan mengikuti kepala mereka. Kalau saja
Constantinople berdiri sendiri maka skisma yang dilakukannya hanya akan menimbulkan
pengaruh yang relatif kecil. Apa yang membuat situasi menjadi begitu serius
adalah fakta bahwa pihak Timur lain pada akhirnya bergabung bersamanya. Ini
dikarenakan upaya Constantinople yang sangat sukses dalam menempatkan diri
sebagai kepala Tahta di Timur. Jadi tindakan menaikkan posisi yang dilakukan
Constantinople secara tak diragukan lagi adalah penyebab dari skisma besar
tersebut [ie. Skisma Timur]. Tindakan tersebut membuatnya berkonflik dengan
Roma dan membuat sang patriakh Byzantine [ie. Patriakh Constantinople] hampir
secara tak terelakkan menjadi musuh Paus; dan pada saat yang sama [kenaikan
posisi tersebut] membuatnya berada dalam suatu posisi dimana kebenciannya
berarti kebencian seluruh pihak Timur.
Atas apa yang terjadi, kita harus ingat bagaimana sepenuhnya tidak
berdasar, benar-benar baru [ie. tidak pernah ada sebelumnya], dan tidak kanonik
upaya Constantinople untuk meningkatkan statusnya. Tahta Constantinople
bukanlah tahta apostolik, tidak mempunyai tradisi mulia, tidak punya alasan
apapun atas pengambilalihannya atas posisi pertama di Timur, dimana
pengambilalihan tersebut hanyalah akibat sampingan dari kegiatan politik
sekuler. Uskup histories pertama dari Byzantium [ie. Constantinople] adalah
Metrophanes (312-25); dia bahkan bukan seorang metropolitan [ie. uskup agung],
rankingnya adalah ranking terendah yang bisa dimiliki seorang uskup dari sebuah
keuskupan, seorang sufragan dari Heraclea. Hanya itulah
seharusnya yang bisa dijabat oleh para penerusnya.
Para penerusnya seharusnya
tidak memiliki kuasa untuk mempengaruhi siapapun kalau saja kaisar Constantin
tidak memilih kota mereka sebagai ibukotanya. Selama perkembangan [statusnya]
para uskup Constantinople tidak menyembunyikan diri dalam mendasarkan klaim
mereka tidak pada dasar apapun kecuali pada fakta bahwa mereka sekarang adalah
uskup dari ibukota negara. Adalah sebagai uskup-uskup kekaisaran, sebagai
fungsionaris istana kekaisaran, mereka ini naik kepada tempat kedua di
ke-kristen-an. Legenda mengenai St. Andreas yang mendirikan tahta mereka adalah
pemikiran yang muncul jauh kemudian; pemikiran tersebut sekarang ditinggalkan
semua ahli. Klaim Constantinople sejujurnya adalah klaim yang sangat Erastian
[ie.pandangan bahwa Gereja harus tunduk kepada negara], yaitu kalau Caesar bisa
mendirikan ibukotanya dimanapun dia suka, maka dia [ie. Caesar], sebagai
gubernur sipil, bisa memberikan ranking kegerejaan dalam suatu hierarkhi
terhadap tahta manapun yang dia suka.
Kanon 28 dari konsili ekumenis Chalcedon [yang ditetapkan setelah para duta
kepausan meninggalkan konsili, dan Paus pun tidak pernah mengakuinya]
menyatakan fakta diatas dalam banyak kata. [Kanon itu menyatakan bahwa]
Constantinople telah menjadi Roma Baru, karenanya uskupnya akan mempunyai
kehormatan sebagaimana patriakh Roma Kuno dan menjadi yang kedua setelahnya.
Hanya butuh kelancangan sedikit lagi untuk meng-klaim bahwa sang kaisar bisa
memindahkan semua hak kepausan kepada uskup yang kotanya dia jadikan kota
kekaisaran.
Biarlah diingat bahwa naiknya Constantinople, kecemburuannya kepada Roma,
pengaruhnya yang tak disenangi diatas semua pihak Timur adalah Erastianisme
murni ["Erastianisme adalah pandangan bahwa Gereja harus tunduk kepada
negara], sebuah penyerahan atas semua yang dari Allah kepada Kaisar. Dan tak
ada apapun yang lebih labil daripada mendasarkan hak-hak kegerajaan atas
politik sekuler. Bangsa Turki pada 1453 memotong pondasi dari ambisi Byzantine
[ie. Constantinople]. Sekarang tidak ada kaisar dan tidak ada Istana untuk
memberi pembenaran atas posisi patriakh. Kalau kita menerapkan kembali prinsip
yang dijadikan dasar [untuk menaikkan posisi Constantinople, yaitu bahwa
kewibawaan suatu tahta kegerajaan didasarkan dari posisi kepemerintahan dimana
tahta itu berada], [maka Constantinople] akan tenggelam ke tempat terendah
[karena sekarang Constantinople menjadi Turki yang Islam] sedangkan sang
Patriakh Ke-Kristen-an akan bertempat di Paris, London, New York [karena
tempat-tempat itulah ibukota dunia berada].
Sementara itu prinsip kanon kuno
dan sejati dari superioritas Tahta-Tahta Apostolik tetap tidak tersentuh oleh
perubahan politik [dibandingkan kalau kita memakai prinsip yang digunakan
Constantinople sebagai dasar untuk menaikkan posisinya]. Disamping asal-muasal
ilahi dari Kepausan, upaya menaikkan posisi Constantinople merupakan suatu
pelanggaran buruk atas hak-hak dari Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia.
Kita tidak perlu heran ketika para Paus, meskipun posisi mereka sebagai yang
pertama tidak dipermasalahkan, menolak gangguan terhadap hak-hak kuno [dari
Tahta Apostolik Aleksandria dan Antiokia] oleh ambisi dari sang uskup
kekaisaran [dalam menaikkan posisi keuskupannya sendiri untuk sejajar dengan
Tahta-Tahta Apostolik kuno tersebut].
Jauh sebelum Photius telah ada skisma-skisma antara Constantinople dan
Roma, semuanya sembuh pada waktunya, namun secara alamiah semua itu cenderung
memperlemah rasa akan adanya suatu kesatuan esensial [yang ada antara Barat dan
Timur]. Sejak awal daripada Tahta Constantinople sampai kepada skisma besar
pada 867, daftar pecahnya persekutuan yang terjadi memang sangat signifikan.
Ada limapuluh-lima tahun skisma (343-98) ketika terjadi permasalahan dengan
para Arian, sebelas tahun karena deposisi St. Yohanes Khrysostomus (404-15),
tigapuluh-lima tahun skisma Acacia (484-519), empatpuluh-satu tahun skisma
Monothelite (640-81), enampuluh-satu tahun karena Iconoclasm.
Jadi selama 544
tahun (323-867) tidak kurang dari 203 tahun dijalani Constantinople dalam kondisi
skisma. Kita catat juga bahwa pada setiap pertikaian yang terjadi
Constantinople berada di pihak yang salah; dan juga, oleh persetujuan para
Orthodoks pula-lah Roma dalam semua skisma tersebut berdiri tegak bagi yang
benar [ie.Othodoks pun setuju bahwa dalam semua skisma yang terjadi antara
323-867, Roma-lah yang benar]. Dan pada ketika itupun kita sudah bisa melihat
bahwa pengaruh sang kaisar (yang secara alami selalu mendukung patriakh-nya
sendiri [ie.Patriakh Constantinople]) , dalam kebanyakan kasus, selalu
menggeret sejumlah besar uskup Timur ke dalam skisma.
III. PHOTIUS DAN CAERULARIUS
Cukuplah alamiah bahwa skisma-skisma besar [skisma-nya Photius dan
skisma-nya Caerularius], yang secara langsung bertanggungjawab atas kondisi
sekarang ini, seharusnya merupakan pertikaian local di Constantinople.
Skisma-skisma besar tersebut sama sekali bukan suatu keluhan umum dari seluruh
Timur. Pada saat terjadinya kedua skisma tersebut [skisma-nya Photius dan
skisma-nya Caerularius] tidak ada alasan apapun kenapa uskup-uskup [Timur]
lainnya harus bergabung dengan Constantinople dalam pertikaian Constantinople
dengan Roma, kecuali bahwa mereka telah terbiasa meminta perintah-perintah pada
kota kekaisaran. Pertikaian yang dibuat si Photius merupakan sebuah pembangkangan
menjijikkan atas tatanan kegerejaan yang sah. Tanpa bisa dipertanyakan lagi
Ignatius adalah uskup yang sah [saat itu]; Ignatius telah memerintah secara
damai selama sebelas tahun.
Lalu Ignatius menolak Komuni kepada seseorang yang
berdosa karena menjalani incest [ie. hidup secara suami-istri dengan kerabat
yang masih sangat dekat] secara public (857). Namun orang itu adalah sang regent[regent
adalah orang yang memerintah selama kaisar yang asli tidak mampu], Bardas, jadi
pemerintah mencopot Ignatius dan menaikkan Photius ke tahta. Paus Nicholas I
tidak punya pertikaian dengan Gereja Timur; Paus tidak punya pertikaian dengan
tahta Byzantine [ie. Constantinople]. Paus membela bagi hak-hak seorang uskup
yang sah [ie. Ignatius]. Baik Ignatius maupun Photius telah secara formal
mengajukan banding kepadanya. Hanyalah ketika Photius sadar bahwa pembelaannya
kalah maka kemudian dia dan kekaisaran lebih memilih skisma daripada tunduk
(867). Bahkan pada saat inipun masih diragukan apakah telah terjadi skisma
Timur secara umum atau belum. [Ini karena] pada konsili yang memulihkan
Ignatius kepada tahtanya (869) para patriakh yang lain menyatakan bahwa mereka
dulunya menerima keputusan paus yang sebelumnya [keputusan bahwa Ignatius-lah
patriakh yang asli, bukan Photius]
Namun Photius telah membentuk satu faksi anti-Roma yang tidak pernah
terbubarkan setelah [segala kemelut berakhir]. Efek dari pertikaian Photius,
meskipun sifatnya murni pribadi dan meskipun sudah didamaikan dengan matinya
Ignatius yang kemudian didamaikan untuk kedua kalinya lagi saat Photius jatuh,
adalah menyatukan semua kecemburuan lama Constantinople terhadap Roma kepada
satu pribadi (ie.Photius). Kita bisa melihat ini pada keseluruhan terjadinya
peristiwa Skisma Photius. Permasalahan mengenai hak palsu Photius [sebagai
seorang Patriakh sementara Patriakh yang sah, Ignatius, masih ada] tidak [layak
dijadikan penyebab] atas ledakan kesengitan kepada sang Paus, kepada apapun
yang berbau Barat dan Latin [dimana] ini kita ketahui dari dokumen-dokumen
kekaisaran, dari surat-surat Photius, dari Akta-Akta sinode yang diadakan
Photius pada 879, dari semua sikap faksinya.
Sebenarnya yang menyebabkan semua
itu adalah meledaknya kesengitan selama berabda-abad karena sebuah alasan palsu
[ie. pretext] yang lemah; kepenolakan sengit atas campur tangan
Roma ini datang dari orang-orang yang tahu peristiwa-peristiwa kuno bahwa Roma
adalah penghalang rencana-rencana dan ambisi-ambisi mereka. Terlebih, Photius
memberikan kepada kaum Byzantine sebuah senjata yang baru dan kuat. Seruan
bidah sering digaungkan di sepanjang masa; dan hal ini tidak pernah gagal untuk
menimbulkan ketidakpuasan massal. Namun [sebelum Photius] tidak pernah
terpikirkan oleh siapapun untuk menuduh seluruh bahwa Barat terlibat dalam bidah
yang sangat merusak.
Sebelumnya kasus-kasus yang terjadi adalah penolakan
terhadap penggunaan otoritas kepausan dalam kasus-kasus individu yang tak
berhubungan. [Namun pada masa Photius] gagasan baru [si Patriakh Constantinople
tersebut] membawa peperangan ke kemah sang musuh dengan sebuah perasaan dendam.
Enam tuduhan Phoitus [kepada Roma] cukup konyol, sebegitu konyolnya sehingga
kita bisa heran mengapa seorang pelajar yang besar seperti Photius tidak
memikirkan sesuatu yang lebih cerdik lagi, paling tidak di permukaannya saja.
Namun tuduhan Photius tersebut merubah situasi sehingga keuntungan berada di
pihak Timur. Ketika Photius menyebut kaum Latin "pembohong-pembohong,
pelawan-pelawan Allah, pelayan-pelayan Antikristus", masalahnya bukan lagi
pelecehan terhadap superior kegerejaannya [ie. Paus adalah superior dari
Photius]. Sekarang Photius mendapatkan peran yang lebih efektif, dia adalah
kampiun ortodoksi yang tidak puas terhadap si bidat.
Setelah Photius, John Bekkos mengatakan bahwa ada "perdamaian
sempurna" antara Timur dan Barat. Namun perdamaian tersebut hanya di
permukaan. Agenda-agenda Photius tidaklah mati. Agenda-agenda tesebut masih
belum terlihat pada faksi yang dia tinggalkan, faksi yang masih membenci Barat,
dan yang siap untuk memutuskan kesatuan sekali lagi dengan berlandaskan alasan
palsu apapun. Faksi yang masih ingat akan tuduhan bidat kepada kaum Latin dan
siap untuk membangkitkan tuduhan itu kembali. Pastilah sejak masa Photius,
kebencian dan kejijikan kepada kaum Latin merupakan sebuah warisan dari banyak
klerus Byzantine.
Bagaimana mengakarnya dan bagaimana luas sebarannya bisa
dilihat dengan ledakan besar yang absolute 150 tahun kemudian dibawah
[ke-patriakh-an] Michael Caerularius (1043-58). Bahkan pada saat ini tidak ada
bayangan apapun atas sebuah alasan palsu. Tidak ada seorang pun yang
mempertanyakan hak Caerularius sebagai Patriakh; sang Paus tidak mencampuri
urusan Caerularius sama sekali. Lalu tiba-tiba pada 1053 dia mengirimkan sebuah
deklarasi perang, lalu menutup semua gereja Latin di Constantinople,
melontarkan sejumlah tuduhan-tuduhan tak jelas, dan mempertunjukkan dengan
berbagai cara bahwa dia menginginkan suatu skisma, tampaknya hanya dikarenakan
dia telah merasakan nikmatnya tidak bersekutu dengan Barat.
Caerularius
mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah sejumlah agresi tak terkendali, yang
tak pernah ada duanya dalam sejarah gereja, setelah dia mulai mencoret nama
Paus dari diptych-nya [ie. dua tatakan dari batu yang ada
ukirannya], para duta kepausan meng-ekskomunikasinya (16 Juli 1054). Namun pada
saat itu masih belum ada pemikiran akan terjadinya suatu ekskomunikasi umum
atas Gereja Byzantine, ataupun bahkan ekskomunikasi semua [Gereja] Timur. Para
duta kepausan dengan hati-hati menghindari hal tersebut dalam Bulla mereka.
Mereka mengakui bahwa sang Kaisar (Constantine IX, yang sangat terganggu oleh
keseluruhan pertikaian tersebut), dewan Senator, dan mayoritas penduduk kota
[Constantinople] adalah [orang yang] "sangat saleh dan ortodoks".
Mereka meng-ekskomunikasi Caerularius, Leo dari Achrida dan pengikut-pengikut
mereka.
Pertikaian inipun sebenarnya tidak perlu menghasilkan sebuah kondisi skisma
yang lebih permanen sebagaimana pula bila terjadi ekskomunikasi uskup yang
memberontak. Tragedi yang sebenarnya adalah bahwa secara gradual semua Patriakh
Timur berpihak kepada Caerularius. Mereka mematuhinya dengan mencoret nama Paus
dari diptych [ie. dua tatakan dari batu yang ada ukirannya] mereka, dan memilih
atas kerelaan mereka sendiri untuk berbagai dalam skisma yang [dilakukan
Caerularius]. Pada awalnya mereka tampaknya tidak ingin berlaku seperti itu.
John III dari Antiokia jelas menolak ber-skisma atas ajakan Caerularius.
Namun,
lambat laun, kebiasan meminta perintah-perintah [ie.keputusan-keputusan] kepada
Constantinople terbukti terlalu kuat. Sang kaisar ([pada saat ini yang
menjabat] bukan Constantine IX, tapi penerusnya) berada di pihak patriakh-nya
dan mereka [i.e semua Patriakh Timur] telah belajar dengan baik untuk
menganggap kaisar sebagai Tuan mereka dalam perkara-perkara spiritual. Sekali
lagi, adalah pengambilalihan otoritas oleh Constantinople, Erastianisme [ie.
pandangan bahwa Gereja hrus tunduk kepada negara] kaum Timur yang mengubah
sebuah pertikaian pribadi menjadi sebuah skisma besar. Kita juga melihat
bagaimana gagasan Photius untuk menyebut kaum Latin sebagai bidat telah
dipelajari.
Caerularius mempunyai sebuah daftar, yang lebih panjang dan lebih
parah, mengenai tuduhan-tuduhan seperti [yang dibuat Photius]. Poin-poin
[tuduhan Caerularius] berbeda dari Photius; dia telah melupakan Filioque,
dan telah menemukan sebuah bidaah baru berkenaan dengan penggunaan roti azyme oleh
kaum Latin. Namun tuduhan yang sesungguhnya [sebenarnya] tidak begitu penting,
[yang penting adalah] gagasan menyatakan bahwa kaum Latin adalah orang yang
mustahil karena mereka adalah bidat, merupakan gagasan yang dirasa sangat
berguna [bagi kaum Timur]. [Tuduhan bidat tersebut] sangat menghina dan
[tuduhan tersebut] memberi kepada para pemimpin-pemimpin yang skismatik kesempatan
memperoleh peran paling efektif, yaitu peran sebagai pembela Iman sejati.
IV. SETELAH CAERULARIUS
Dalam satu arti, skisma tersebut telah komplit. Apa yang pada awalnya
adalah dua bagian dari Gereja yang sama, apa yang telah menjadi dua entitas
yang siap untuk pecah, sekarang adalah dua Gereja rival. Namun, sebagaimana
sebagaimana ada skisma-skisma sebelum Photius, begitu pula ada reuni-reuni
setelah Caerularius. Pada konsili Lyons Kedua pada 1274 dan [pada] Konsili
Florence pada 1439 tercapai reuni yang diharapkan orang-orang untuk [menyatukan
perpecahan] selamanya. Sayangnya, kedua reuni tersebut tidak abadi, keduanya
tidak mempunyai basis yang kuat atas pihak Timur. Faksi anti-Latin yang laten
sejak dahulu dan kemudian dibentuk dan diorganisasi oleh Photius, sekarang
telah menjadi Gereja "Orthodox" secara keseluruhan dibawah
Caerularius. Proses tersebut bersifat gradual, namun sekarang telah komplit.
Pada awalnya Gereja Slavia (Rusia, Servia [Serbia], Bulgaria etc.) tidak melihat
adanya suatu alasan mengapa mereka mesti memutus persekutuan dengan Barat
karena seorang Patriakh Constantinople marah terhadap Paus. Namun kebiasaan
merujuk kepada ibukota kekaisaran lambat laun mempengaruhi mereka juga. Mereka
menggunakan ritus Byzantine, mereka adalah Timur; jadi mereka berpihak kepada
Timur. Caerularius dengan cerdik telah berhasil menyajikan persoalannya sebagai
persoalan kaum Timur; tampaknya persoalannya adalah permasalahan mengenai
Byzantine versus Latin, meskipun ini sangat tidak adil.
Pada Konsili Lyons, dan lagi pada Konsili Florence, reuni (bagi pihak
timur) adalah sebuah perpanjangan tindakan politis dari Pemerintahan [Timur].
Sang Kaisar menginginkan kaum Latin untuk berperang bagi dirinya melawan bangsa
Turki. Jadi dia sudah siap untuk memasrahkan apapun — sampai bahaya berlalu.
Cukup jelas pada saat-saat ini motivasi agama hanya menggerakkan pihak Latin.
Kita [ie. pihak Latin] tidak untung apapun; kita tidak mau apapun dari mereka
[ie. pihak Timur]. Kaum Latin punya banyak hal yang bisa ditawarkan, mereka
[ie.kaum Latin] siap untuk memberi bantuan.. Yang mereka minta sebagai balasan
adalah berakhirnya tontonan yang memprihatinkan dan aib akan suatu kekristenan
yang terpecah.
Pihak Byzantine tidak peduli terhadap motivasi agama; atau lebih
tepatnya, bagi mereka agama berarti terus melanjutkan skisma. Mereka begitu
sering memanggil kita [ie. kaum Latin] sebagai bidat sehingga mereka mulai
meyakininya. Reuni [bagi mereka] adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan
dan memalukan supaya tentara [bangsa] datang dan melindungi mereka. Umat-umat
awam Timur sudah begitu terlatih dalam kebencian mereka akan Azymite [color-darkred][catatan
DeusVult: "tak beragi," maksudnya roti tak beragi. Gereja Timur
menggunakan roti beragi][/b][/color]. dan perubah-syahadat, sehingga semangat
mereka terhadap apa yang mereka anggap Orthodoksi menang atas ketakutan mereka
terhadap bangsa Turki.
Ungkapan "lebih baik turban sang Sultan daripada
tiara sang Paus" mencerminkan dengan tepat pemikiran mereka. Ketika uskup-uskup
yang menandatangani dekrit reuni pulang, mereka setiap kali disambut dengan
badai seruan ketidakpuasan sebagai pengkhianat iman Orthodox. Setiap kali reuni
berakhir secepat dibuatnya [reuni tersebut]. Tindakan skisma terakhir adalah
ketika Dionysius I dari Constantinople (1467-72) memanggil sinode dan secara
formal menolak persatuan (1472). Sejak saat itu tidak pernah ada interkomuni;
sebuah Gereja "Orthodox" yang luas terbentuk, tampaknya puas dengan
kondisi skisma dengan uskup yang mereka masih akui sebagai patriakh pertama
ke-kristen-an [ie.Paus Roma].
V. ALASAN-ALASAN ATAS SKISMA SAAT INI
Dalam kisah yang memprihatinkan ini kita mencatat beberapa poin. Adalah
lebih mudah untuk memahami bagaimana suatu skisma berlanjut daripada bagaimana
skisma itu bermula. Skisma gampang dibuat; namun sangatlah sulit untuk
diperbaiki. Insting religius sikapnya selalu konservatif; ada kecenderungan
kuat untuk melanjutkan kondisi yang telah berlangsung. Pada awalnya para
skismatik adalah para innovator [ie. pihak yang memunculkan sesuatu yang baru
yang belum pernah ada sebelumnya] yang ceroboh; kemudian dengan berlalunya abad
alasan mereka tampak sebagai alasan yang lebih kuno; alasan lebih kuno yang
merupakan iman sejati para Bapa Gereja.
Umat Kristen Timur khususnya mempunyai
insting konservatif ini secara kuat. Mereka takut kalau reuni dengan Roma
berarti suatu pengkhianatan terhadap Iman lama, pengkhianatan atas Gereja
Orthodox, pengkhianatan terhadap apa yang telah mereka pegang secara heroik
selama berabad-abad ini. Bisa dikatakan bahwa skisma Timur berlanjut karena
daya inersia [ie. dari istilah fisika yang berarti kecenderungan suatu benda
untuk tetap pada kondisi sebelumnya. Kalau kondisi sebelumnya diam, maka benda
akan cenderung diam. Kalau bergerak, maka benda akan cenderung bergerak].
Pada asal muasalnya kita harus membedakan antara kecenderukan skismatik dan
peristiwa actual atas meledaknya kecenderungan tersebut. Namun alasan atas
keduanya sudah tidak ada lagi saat ini. Kecenderungannya adalah kecemberuan
yang disebabkan oleh naiknya posisi Tahta Constantinople. Perkembangan posisi
Constantinople telah berakhir sejak dulu sekali. Pada tiga abad terakhir
Constantinople telah kehilangan hamper semua tanah yang dulunya dimiliki. Tidak
ada yang lebih ditolak oleh umat Kristen Ortodoks modern daripada naiknya
otoritas apapun oleh patriakh ekumenis diluar ke-patriakh-annya yang mengecil.
Tahta Byzantine telah lama menjadi mainan bangsa Turki, [bagai] benda yang bisa
dijual kepada penawar tertinggi. Tentunya sekarang harga diri yang [telah menjadi
cukup] menyedihkan ini bukan lagi alasan bagi skisma oleh hamper 100,000,000
umat Kristen. Bahkan [dua] penyebab langsung dari perpecahan sudah tidak ada
lagi. [Yang pertama adalah] permasalahan akan hak-hak Ignatius dan Photius [ie.
siapa Patriakh yang sah] bahkan tidak dipedulikan lagi oleh kaum Ortodoks
setelah sebelas abad.; [sedangkan penyebab langsung kedua yaitu] ambisi dan
kelancangan Caerularius telah terkubur bersamanya. Tidak ada lagi yang tersisa
atas penyebab-penyebab asli Skisma Timur.
Tidak benar-benar ada masalah apapun yang berkenaan dengan doktrin.
Masalahnya bukan bidaah, tapi skisma. Dekrit Florence [mengantisipasi segala
perasaan tidak enak yang mungkin muncul dari mereka]. Tidak ada alasan nyata
mengapa mereka tidak menandatangani dekrit tersebut sekarang. Mereka menolak
infallibilitas Paus dan Konsepsi Tanpa Noda [ie. ajaran bahwa Perawan Maria
dikandung tanpa noda dosa asal], mereka bertikai atas Api Penyucian, atas
konsekrasi dengan menggunakan kata-kata institusi, prosesi Roh Kudus, dalam
setiap hal tersebut [mereka] salah paham terhadap dogma yang mereka tolak.
Tidak sulit untuk ditunjukkan bahwa atas semua poin-poin tersebut Bapa Gereja
mereka sendiri [ie.para Bapa Gereja Timur] sepakat dengan ajaran Gereja Latin,
Gereja yang hanya meminta mereka untuk kembali kepada ajaran kuno Gereja mereka
sendiri.
Itulah sikap yang benar terhadap Ortodoks, selalu. Mereka mempunyai
ketakutan [bahwa mereka] akan dilatinisasi., [bahwa mereka akan] mengkhianati
Iman kuno. Kita harus menekankan bahwa tidak ada pikiran untuk me-latin-kan
mereka, dan bahwa iman kuno bukanlah tidak cocok, malahan menuntut kesatuan
dengan tahta uatama yang dipatuhi para Bapa Gereja mereka sendiri. Pada hukum
kanon mereka tidak ada yang perlu diubah kecuali penyelewengan-penyelewengan
seperti penjualan posisi uskup dan Erastianisme [ie. pandangan bahwa Gereja
harus tunduk pada negara] yang dikecam teolog mereka sendiri. Selibat, roti tak
beragi, dan yang lain adalah kebiasaan Latin yang tidak pernah terpikirkan seorang
pun untuk dipaksakan kepada mereka. Mereka tidak perlu menambahkan filioquekepada
syahadat mereka; ritus terhormat mereka tidak akan disentuh. Tidak ada satu
uskup pun yang perlu dipindah dan hamper tidak ada satu hari raya pun yang
perlu diubah (kecuali perayaan St. Photius pada 6 Februari).
Yang diminta hanya
agar mereka kembali ke tempat dimana Bapa Gereja mereka berdiri, untuk
memperlakukan Roma sebagaimana Athanasius, Basil, Chrysostom memperlakukannya.
Bukan kuam Latin, tapi merekalh yang telah meninggalkan iman para Bapa Gereja
mereka. Tidak ada permaluan untuk melangkah balik ketika seseorang [memang]
telah melanglang ke jalan yang salah karena pertikaian pribadi yang telah lama
terlupakan. Mereka seharusnya juga melihat bagaimana parahnya skandal
perpecahan terhadap tujuan bersama. Mereka seharusnya juga berkeinginan untuk
mengakhiri jeritan iblis [skisma] ini. Dan kalau mereka benar-benar
menginginkannya, caranya tidak harus menjadi sulit. Karena, memang, setelah
enam abad skisma kita bisa menyadari dari sudut pandang kedua pihak bahwa
skisma bukan hanya yang kejahatan terbesar di Kekristenan, tapi juga merupakan
kejahatan paling sia-sia di Kekristenan.
Paus Benediktus bersama dengan Patriakh Bartolomeus I sumber:Nytimes.com |
sumber:Ekaristi.org