0 komentar

Diskusi Apologetik, Bagaimana Caranya?

Sebagai orang Katolik, kita pasti dituntut untuk mempertanggung jawabkan iman kita. Ini bearti kita sewaktu-waktu terlibat dalam perdebatan. Bagaimana seharusnya kita bersikap dalam perdebatan itu? Ssaya mencoba mensarikan dari beberapa artikel. Mari kita bersiap-siap.

Poin-poin di bawah ini harus dicamkam dengan dalam-dalam:

1.      Bila tidak yakin, jangan terlibat perdebata, diskusi, tukar pikiran atau apa pun namanya. Gereja Katolik adalah Tubuh Mistik Kristus yang didirikan oleh Kristus sendiri. Kebenaran ini tidak perlu dibela. Jangan merasa terbeban untuk membela atau menjelaskan, kendati keadaan diri sendiri tidak memungkinkan, kemudian masuk ke pertempuran tanpa persiapan.

2.      Tidak ada keharusan untuk selalu menjawab undangan berdebat. Bila kita bukan tipe orang yang dapat berpikir dengan cepat dan memiliki ingatan yang langsung dapat me-recall ayat Kitab Suci, atau bila kita bukan tipe orang yang bermental kuat dan dengan cepat goyah terkesima dengan gaya bicara orang lain yang meyakinkan, mungkin debat/diskusi langsung bukan untuk kita. Diskusi tetap bisa berlangsung lewat email atau surat. Jangan memaksa dan jangan terpaksa.

3.      Kehidupan orang Katolik yang benar adalah kehidupan penuh doa, menjalin hubungan yang erat dengan Tuhan Yesus dan BundaNya. Kitab Suci harus menjadi pegangan yang tidak dapat ditawar. Pengetahuan mengenai Para Bapa Gereja, Tradisi Suci dan sejarah Gereja adalah tambahan yang bagus.

4.      Berdoa sebelum, saat dan sesudah diskusi. Catat nama orang tersebut sehingga dapat didoakan setelah diskusi selesai. Tujuan akhir sebuah diskusi bukan tampil menang tak terbantah sementara pihak lain marah terluka dendam. Tujuan diskusi bukanlah mengubah pola pikir orang lain, yang hanya akan berubah dengan kehendak Roh Kudus. Untuk ini, doa sangat penting. Jangan pikir diskusi akan berbuah pertobatan dan pindah agama. Itu terlalu muluk-muluk. Cukup pihak seberang mengerti bahwa tindakan dan doktrin Gereja Katolik masuk akal, berdasar dan sesuai, bila tidak mau diakui sebagai ke benaran.

5.      Baca Kitab Suci. Mulailah dari suatu kitab dan baca terus dengan teratur perlahan-lahan hingga seluruh Kitab Suci habis. Ulangi dan ulangi. Perjanjian Baru harus “dikuasai”. Tetapi ingat bacalah Kitab Suci secara keseluruhan. Jangan memotong-motong ayat kemudian menjadikannya kliping. Suatu ayat harus dimengerti dalam konteks pembicaraan, suatu perikop harus dimengerti sebagai bagian dari suatu kitab, dan suatu kitab harus dimengerti bahwa dia berhubungan dengan kitab lain dalam Kitab Suci.

6.      Gunakan perikop atau ayat tertentu sebagai bantuan meditasi.

7.      Kadang sebuah perikop Kitab Suci harus dimengerti dalam konteks yang sesuai. Misalnya pernyataan Yesus bahwa “DiriNya telah ada sebelum Abraham” harus diterima sebagai proklamasi KeAllahanNya karena pernyataan itu memancing reaksi luar biasa ganas dari orang Yahudi yang ingin merajamNya. Bila “sambungan” ayat ini tidak diikutkan, pernyataan Yesus akan kehilangan makna. Demikian pula pernyataan Yesus mengenai “makan TubuhNya” harus dimengerti dengan kenyataan mengapa murid-murid meninggalkan Ia bila seandainya Yesus menggunakan kiasan dan cuma bercanda?

8.      Bila dihadapkan dengan suatu pertanyaan yang tak terjawab, katakan dengan baik-baik bahwa kita tidak tahu jawabannya. Pertanyaan itu akan menjadi pekerjaan rumah bagi kita dan kita akan bertemu lagi di lain waktu. Tidak perlu marah-marah, ngotot, menghina dan mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan, konyol, dan tak berdasar.

9.      Tetapi jangan membuat pertanyaan itu tidak direspon. Selalu respon pertanyaan meski jawabannya tidak diketahui. Dengan jujur katakan bahwa kita belum tahu jawabannya.

10. Jangan memberikan data palsu atau yang diragukan kebenarannya meski data itu nampaknya membela iman Katolik. Ini hanya akan menjadi bumerang. Seandainya pun dihadapkan pada fakta sejarah mengenai tindakan Gereja yang “tercela”, jangan takut. Selalu pandang fakta sejarah secara menyeluruh, sesuai konteks zaman saat itu dan yakinlah Gereja memiliki alasan kuat untuk memutuskan sesuatu. Seandainya pun terbukti keputusan ini salah, ingat selalu Gereja secara keseluruhan dikuduskan oleh Roh Kudus meski terdiri dan dipimpin oleh manusia yang tentunya berdosa. Ini fakta yang tak terbantahkan.

11. Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Kalahkan kejahatan dengan kebaikan. Meski pihak seberang melontarkan sarkasme dan hinaan, jangan pedulikan. Anggaplah itu hinaan yang pantas ditanggung sebagai anggota Gereja sejati.

12. Tuhan menentang orang sombong, walau mereka benar. Jangan pernah berlagak, mentang-mentang Gereja katolik adalah Gereja sejati dengan doktrin yang tidak pernah salah.

13. Hindari jargon dan istilah teknis. Bahkan sesama Katolik memiliki pengertian berbeda-beda mengenai mediatrix, transubstantiasi, co-redemtrix, invincible ignorance dan kosa kata aneh lainnya.

14. Jangan melebar ke mana-mana. Itu hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu. Sebelum diskusi dimulai, tentukan apa pertanyaan yang dibahas dan tetap berada di jalur. Jangan mau terpancing untuk pindah ke pokok bahasan lain.

15. Boleh bertanya saat diskusi. Tidak ada keharusan kita selalu bertahan. Kita boleh juga memberikan pertanyaan atau membalik pertanyaan. Itu sah-sah saja.

16. Kita boleh dengan terang-terangan menolak suatu asumsi yang menjebak. Misalnya “mari kita membatasi jawaban hanya pada Kitab Suci”. Asumsi ini berbahaya. Ada banyak doktrin yang mencapai kejelasan yang sempurna bila dilihat dengan kacamata Bapa Gereja dalam Tradisi Suci dan Wewenang Mengajar Gereja. Lagi pula Kitab Suci dengan jelas menyatakan dirinya sebagai bukan satu-satunya dasar pengajaran (1 Tim ). Sebaliknya Kitab Suci dengan tegas mengatakan bahwa sumber Kebenaran adalah Gereja (1 Tim 3:15)

17. Anggap semua orang yang diajak berdiskusi tidak mengerti apa-apa. Gunakan penjelasan sederhana. Buang kosa kata tidak jelas. Hindari bahasa teknis.

18. Sekali-kali bacalah literatur yang menyerang Gereja Katolik. Anggaplah ini latihan sebelum ujian sebenarnya. Cari tahu kebenaran ajaran Gereja dengan menggunakan serangan literatur itu.

19. Saya sudah menulis “berdoa”? Membaca Kitab Suci?

20. Sebagai penutup, yang penting bukanlah kesaksian dalam perdebatan tetapi kesaksian dalam perbuatan.

Sumber:Ipsa Conteret Naput Tuum dan "diterbitkan ulang dengan izin"
 
Toggle Footer
Top