Sebagai orang Katolik, kita pasti dituntut untuk mempertanggung jawabkan
iman kita. Ini bearti kita sewaktu-waktu terlibat dalam perdebatan. Bagaimana
seharusnya kita bersikap dalam perdebatan itu? Ssaya mencoba mensarikan dari
beberapa artikel. Mari kita bersiap-siap.
Poin-poin di bawah ini harus dicamkam dengan dalam-dalam:
1.
Bila tidak yakin, jangan terlibat perdebata, diskusi, tukar pikiran atau
apa pun namanya. Gereja Katolik adalah Tubuh Mistik Kristus yang didirikan oleh
Kristus sendiri. Kebenaran ini tidak perlu dibela. Jangan merasa terbeban untuk
membela atau menjelaskan, kendati keadaan diri sendiri tidak memungkinkan,
kemudian masuk ke pertempuran tanpa persiapan.
2.
Tidak ada keharusan untuk selalu menjawab undangan berdebat. Bila kita
bukan tipe orang yang dapat berpikir dengan cepat dan memiliki ingatan yang
langsung dapat me-recall ayat Kitab Suci, atau bila kita bukan tipe
orang yang bermental kuat dan dengan cepat goyah terkesima dengan gaya bicara
orang lain yang meyakinkan, mungkin debat/diskusi langsung bukan untuk kita.
Diskusi tetap bisa berlangsung lewat email atau surat. Jangan memaksa dan
jangan terpaksa.
3.
Kehidupan orang Katolik yang benar adalah kehidupan penuh doa, menjalin
hubungan yang erat dengan Tuhan Yesus dan BundaNya. Kitab Suci harus menjadi
pegangan yang tidak dapat ditawar. Pengetahuan mengenai Para Bapa Gereja,
Tradisi Suci dan sejarah Gereja adalah tambahan yang bagus.
4.
Berdoa sebelum, saat dan sesudah diskusi. Catat nama orang tersebut
sehingga dapat didoakan setelah diskusi selesai. Tujuan akhir sebuah diskusi
bukan tampil menang tak terbantah sementara pihak lain marah terluka dendam.
Tujuan diskusi bukanlah mengubah pola pikir orang lain, yang hanya akan berubah
dengan kehendak Roh Kudus. Untuk ini, doa sangat penting. Jangan pikir diskusi
akan berbuah pertobatan dan pindah agama. Itu terlalu muluk-muluk. Cukup pihak
seberang mengerti bahwa tindakan dan doktrin Gereja Katolik masuk akal,
berdasar dan sesuai, bila tidak mau diakui sebagai ke benaran.
5.
Baca Kitab Suci. Mulailah dari suatu kitab dan baca terus dengan teratur
perlahan-lahan hingga seluruh Kitab Suci habis. Ulangi dan ulangi. Perjanjian
Baru harus “dikuasai”. Tetapi ingat bacalah Kitab Suci secara keseluruhan.
Jangan memotong-motong ayat kemudian menjadikannya kliping. Suatu ayat harus
dimengerti dalam konteks pembicaraan, suatu perikop harus dimengerti sebagai
bagian dari suatu kitab, dan suatu kitab harus dimengerti bahwa dia berhubungan
dengan kitab lain dalam Kitab Suci.
6.
Gunakan perikop atau ayat tertentu sebagai bantuan meditasi.
7.
Kadang sebuah perikop Kitab Suci harus dimengerti dalam konteks yang
sesuai. Misalnya pernyataan Yesus bahwa “DiriNya telah ada sebelum Abraham”
harus diterima sebagai proklamasi KeAllahanNya karena pernyataan itu memancing
reaksi luar biasa ganas dari orang Yahudi yang ingin merajamNya. Bila
“sambungan” ayat ini tidak diikutkan, pernyataan Yesus akan kehilangan makna.
Demikian pula pernyataan Yesus mengenai “makan TubuhNya” harus dimengerti
dengan kenyataan mengapa murid-murid meninggalkan Ia bila seandainya Yesus
menggunakan kiasan dan cuma bercanda?
8.
Bila dihadapkan dengan suatu pertanyaan yang tak terjawab, katakan dengan
baik-baik bahwa kita tidak tahu jawabannya. Pertanyaan itu akan menjadi
pekerjaan rumah bagi kita dan kita akan bertemu lagi di lain waktu. Tidak perlu
marah-marah, ngotot, menghina dan mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan,
konyol, dan tak berdasar.
9.
Tetapi jangan membuat pertanyaan itu tidak direspon. Selalu respon
pertanyaan meski jawabannya tidak diketahui. Dengan jujur katakan bahwa kita
belum tahu jawabannya.
10. Jangan memberikan data
palsu atau yang diragukan kebenarannya meski data itu nampaknya membela iman
Katolik. Ini hanya akan menjadi bumerang. Seandainya pun dihadapkan pada fakta
sejarah mengenai tindakan Gereja yang “tercela”, jangan takut. Selalu pandang
fakta sejarah secara menyeluruh, sesuai konteks zaman saat itu dan yakinlah
Gereja memiliki alasan kuat untuk memutuskan sesuatu. Seandainya pun terbukti
keputusan ini salah, ingat selalu Gereja secara keseluruhan dikuduskan oleh Roh
Kudus meski terdiri dan dipimpin oleh manusia yang tentunya berdosa. Ini fakta
yang tak terbantahkan.
11. Jangan membalas
kejahatan dengan kejahatan. Kalahkan kejahatan dengan kebaikan. Meski pihak
seberang melontarkan sarkasme dan hinaan, jangan pedulikan. Anggaplah itu
hinaan yang pantas ditanggung sebagai anggota Gereja sejati.
12. Tuhan menentang orang
sombong, walau mereka benar. Jangan pernah berlagak, mentang-mentang Gereja
katolik adalah Gereja sejati dengan doktrin yang tidak pernah salah.
13. Hindari jargon dan
istilah teknis. Bahkan sesama Katolik memiliki pengertian berbeda-beda mengenai
mediatrix, transubstantiasi, co-redemtrix, invincible ignorance dan kosa kata
aneh lainnya.
14. Jangan melebar ke
mana-mana. Itu hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu. Sebelum diskusi
dimulai, tentukan apa pertanyaan yang dibahas dan tetap berada di jalur. Jangan
mau terpancing untuk pindah ke pokok bahasan lain.
15. Boleh bertanya saat
diskusi. Tidak ada keharusan kita selalu bertahan. Kita boleh juga memberikan
pertanyaan atau membalik pertanyaan. Itu sah-sah saja.
16. Kita boleh dengan
terang-terangan menolak suatu asumsi yang menjebak. Misalnya “mari kita
membatasi jawaban hanya pada Kitab Suci”. Asumsi ini berbahaya. Ada banyak
doktrin yang mencapai kejelasan yang sempurna bila dilihat dengan kacamata Bapa
Gereja dalam Tradisi Suci dan Wewenang Mengajar Gereja. Lagi pula Kitab Suci
dengan jelas menyatakan dirinya sebagai bukan satu-satunya dasar pengajaran (1
Tim ). Sebaliknya Kitab Suci dengan tegas mengatakan bahwa sumber Kebenaran
adalah Gereja (1 Tim 3:15)
17. Anggap semua orang yang
diajak berdiskusi tidak mengerti apa-apa. Gunakan penjelasan sederhana. Buang
kosa kata tidak jelas. Hindari bahasa teknis.
18. Sekali-kali bacalah
literatur yang menyerang Gereja Katolik. Anggaplah ini latihan sebelum ujian
sebenarnya. Cari tahu kebenaran ajaran Gereja dengan menggunakan serangan
literatur itu.
19. Saya sudah menulis
“berdoa”? Membaca Kitab Suci?
20. Sebagai penutup, yang
penting bukanlah kesaksian dalam perdebatan tetapi kesaksian dalam perbuatan.
Sumber:Ipsa Conteret Naput Tuum dan "diterbitkan ulang dengan izin"