0 komentar

7 Pesan Terakhir Kristus Dikayu Salib


Kalau seseorang yang kita kasihi meninggal, maka kita mencoba mengingat pengalaman-pengalaman bersama dengan orang tersebut, baik pengalaman suka maupun duka. Namun, terutama kita mencoba mengingat apa yang diucapkan pada saat-saat menjelang ajalnya, karena pesan pada saat-saat terakhir adalah penting dan penuh makna.

Dalam tulisan ini, maka kita akan melihat tujuh pesan Yesus yang diucapkan-Nya pada saat Dia tergantung di kayu salib, saat-saat akhir hidup-Nya. Dari pesan terakhir ini, kita akan dapat menangkap hal-hal yang terpenting yang ingin disampaikan-Nya kepada kita. Tujuh pesan Yesus terdiri dari: (a) Luk 23:34 “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.“; (b) Luk 23:43 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (c) Yoh 19:26-27 “Ibu, inilah, anakmu!” dan “Inilah ibumu!“; (d) Mar 15:34 “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?“; (e) Yoh 19:28 “Aku haus!“; (f) Yoh 19:30 “Sudah selesai“; (g) Luk 23:46 “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.

Dari pesan ini, kita melihat bagaimana Yesus ingin membawa keselamatan bagi semua orang dengan memberikan pengampunan kepada umat manusia, sehingga manusia dapat bersatu dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga, sama seperti Yesus membawa pencuri di sebelah kanan-Nya ke Firdaus. Bagaimana cara untuk mencapai Kerajaan Sorga? Yesus menunjukkan agar kita dapat menerima Maria sebagai bunda kita, senantiasa berharap pada Allah dalam kesulitan, haus akan jiwa-jiwa untuk diselamatkan, serta terus setia terhadap panggilan kita sampai akhir hayat kita, sampai tiba saatnya kita menyerahkan nyawa kita kepada Bapa dan kemudian memulai kehidupan baru di dalam Kerajaan Sorga.

1. Luk 23:34 “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Pada saat Yesus tergantung di kayu salib, di tahta-Nya yang dipandang hina oleh banyak orang, Dia melihat dengan jelas drama kehidupan kehidupan manusia, mulai dari serdadu yang kejam, murid-muridnya yang pengecut, kaum Farisi yang iri hati, orang-orang yang tidak melakukan apapun ketika mereka melihat ketidakadilan. Di kayu salib dan juga dalam permenungan-Nya di taman Getsemani, Kristus juga melihat dosa-dosa seluruh umat manusia, mulai dari Adam dan Hawa sampai manusia terakhir. Ini berarti Dia juga melihat semua dosa kita. Inilah yang menyebabkan Yesus meneteskan keringat darah.

Santo Tomas Aquinas menyatakan bahwa ada tiga pengetahuan di dalam Kristus dalam kodrat-Nya sebagai manusia, yaitu: 1) pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman/ pembelajaran (acquired knowledge), 2) pengetahuan yang ditanamkan dari Allah (infused knowledge); dan 3) pandangan kesempurnaan surgawi (beatific vision). Acquired knowledge ini adalah sama seperti pengetahuan yang kita dapatkan dari kita belajar kehidupan sehari-hari maupun mendapatkan pengetahuan tentang pengetahuan-pengetahuan yang lain. Hal ini dinyatakan di dalam Alkitab ketika dituliskan “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.“(Luk 2:52). Infused knowledge adalah pengetahuan seperti yang diperoleh oleh nabi-nabi maupun para malaikat. Allah sendiri memberikan inspirasi dan dengan akal budi mereka, para nabi mengekspresikannya dengan ungkapan dan kata-kata mereka sendiri. Bagaimana dengan beatific vision? Pengetahuan inilah yang dipunyai oleh Kristus sejak Dia dikandung dan sampai selama-lamanya. Pengetahuan ini memungkinkan Kristus senantisa berada dalam persatuan dengan Allah Bapa walaupun Dia mengambil kodrat manusia. Pada saat yang bersamaan, pengetahuan ini memungkinkan Kristus dapat memilih untuk membawa seluruh umat manusia dalam doaNya di taman Getsemani.

Bayangkan ketika orang tua merenungkan dosa-dosa yang diperbuat oleh anaknya. Dalam keterbatasan melihat dosa-dosa anaknya, hati mereka dapat menjerit dan merasakan kepedihan yang mendalam. Inilah yang dialami oleh Musa, ketika dia mengetahui bahwa bangsa Israel akan mengalami kehancuran karena telah menyembah berhala. Dia berkata “31 …”Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. 32  Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu–dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.” (Kel 32:32)

Sekarang coba bayangkan, apa yang dialami oleh Yesus, ketika Dia melihat secara jelas seluruh dosa-dosa manusia, dari manusia pertama sampai manusia yang terakhir. Dan gambaran seluruh dosa-dosa manusia lebih jelas dibandingkan dengan kejelasan Musa melihat dosa-dosa umat Israel. Dengan beatific vision-Nya, Kristus melihat kesombongan manusia, orang-orang yang meninggalkan Gereja-Nya, orang-orang yang memecahkan diri dari Tubuh Mistik Kristus, orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka dan lupa akan Tuhan yang telah memberikan rejeki kepada mereka. Dia juga melihat dosa-dosa yang kita lakukan, yaitu saat kita lebih memilih kesenangan kita dibandingkan dengan mengikuti perintah Allah, atau saat kita egois, atau saat kita marah dan mengeluh ketika ada percobaan datang. Namun, pada saat yang bersamaan, selain dosa-dosa kita, Kristus juga melihat perbuatan kasih yang kita lakukan. Ini berarti pada saat kita melakukan perbuatan kasih, maka kita juga menghibur Kristus pada saat Dia berdoa di taman Getsemani. Pada waktu Kristus berdoa inilah, segala yang terjadi di masa lalu maupun masa depan, dihadirkan oleh Kristus. Dengan demikian, jika kita berdoa dan melakukan perbuatan kasih di masa kini, kita menemani dan menghibur Kristus pada saat Dia mengalami penderitaan di Taman Getsemani. Kita mengikuti apa yang diperintahkan oleh Kristus sendiri, ketika Dia mengatakan “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” (Mat 26:38). Jangan biarkan kita lengah sehingga Kristus menegur kita dengan mengatakan “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat 26:40).

Bagaimana dengan pengetahuan manusia seperti kita? Kita dapat mempunyai pengetahuan eksperimental atau kalau Tuhan menghendaki, seseorang juga dapat mempunyai infused knowledge. Bahkan dengan seijin Tuhan, Rasul Paulus mungkin mengalami beatific vision ketika dia mengatakan bahwa dia mengenal seseorang yang diangkat ke tingkat ketiga dari Sorga (lih. 2Kor 12:2-4). Namun, menjadi kodrat dari manusia untuk belajar secara bertahap. Pengetahuan manusia akan Tuhan didapatkan secara bertahap. Hal ini berbeda dengan para malaikat yang mendapatkan pengetahuan secara lengkap secara langsung. Inilah sebabnya Tuhan dapat mengampuni dosa manusia dan memberikan kesempatan kepada manusia berulang-ulang untuk memperbaiki dosanya, namun kepada malaikat yang berdosa, Tuhan tidak dapat memberikan kesempatan kedua, mengingat kesempurnaan pengetahuan yang telah diberikan kepada mereka. Kita ketahui bahwa sebagian dari para malaikat memilih untuk menolak dan melawan Tuhan.

Dengan melihat kodrat manusia ini, Kristus berdoa “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (lih. Luk 23:34). Kristus tahu bahwa manusia memang berdosa karena dipengaruhi oleh kelemahan-kelemahannya akibat dosa asal. Dengan demikian, apa yang diperbuat oleh manusia bisa saja terjadi karena ketidaktahuannya. Namun tidak semua ketidaktahuan mengakibatkan orang terbebas dari dosa. Ketidakketidaktahuan yang tak terhindari (invincible ignorance) membuat orang tidak berdosa, namun ketidaktahuan yang disebabkan oleh ketidakpedulian orang itu sendiri (culpable ignorance) menyebabkan seseorang tetap bersalah. Rasul Petrus mengerti bahwa orang-orang yang menyalibkan Yesus bertindak karena ketidaktahuan mereka, sehingga dia mengatakan “Hai saudara-saudara, aku tahu bahwa kamu telah berbuat demikian karena ketidaktahuan, sama seperti semua pemimpin kamu.” (Kis 3:17)

Bagaimana dengan kita yang telah menerima Kristus? Kita tidak mempunyai alasan lagi bahwa kita tidak tahu. Oleh karena itu, tanggung jawab kita lebih berat, karena barang siapa diberi banyak akan dituntut lebih banyak (lih. Luk 12:48). Menyadari bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri tidak dapat menjalankan semua perintah Allah, Kristus menyediakan Diri-Nya sendiri untuk disalibkan, sehingga rahmat yang berlimpah dapat mengalir kepada kita umat Allah. Bahkan kesalahan-kesalahan yang dibuat umat Allah dapat dihapuskan dengan melakukan pengakuan dosa. Dan kalau seseorang tidak mensyukuri dan menggunakan semua kemudahan untuk mendapatkan pengampunan dosa, maka orang tersebut tidak lagi mempunyai alasan apapun kalau sampai dia kehilangan keselamatan kekal.

2. Luk 23:43 “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
Keselamatan kekal bagi manusia adalah yang menjadi alasan bagi Kristus untuk turun ke dunia, rela menanggung sengsara, menerima semua kesengsaraan dan penderitaan, serta taat kepada Bapa untuk mati di kayu salib. Seluruh kehidupan-Nya ditujukan untuk mengemban misi ini, dan Kristus telah melaksanakannya dengan sempurna. Bahkan sampai pada menjelang akhir wafat-Nya, Dia tidak membuang kesempatan sedikitpun untuk menyelamatkan pencuri yang disalibkan bersama-Nya.

Uskup Agung Fulton Sheen mengatakan bahwa dalam peristiwa penyaliban, terjadilah suatu drama dari keinginan (wills) dari dua pencuri yang disalibkan bersama dengan Yesus.[1] Ada begitu banyak hal yang terjadi di luar diri kita, yang sering terjadi di luar kontrol kita. Namun, satu hal yang dapat kita kendalikan adalah keinginan kita. Di luar mungkin saja terjadi sesuatu yang begitu menyesakkan, membuat marah, namun kita tetap dapat memutuskan untuk tetap tenang. Bagi umat Katolik, ketenangan ini bersumber dari Kristus yang menderita, wafat dan bangkit. Oleh sebab Kristus telah mengatasi segalanya, maka kita dapat tetap tinggal tenang, sebab tak ada sesuatupun yang dapat terjadi di luar rencana Allah.

Menjadi sesuatu yang umum, bahwa pada saat seseorang disalibkan, maka dia akan menyumpahi orang yang menyalibkannya, bahwa menyumpahi dirinya, menyumpahi Tuhan dan hari kelahirannya. Namun, dua pencuri yang disalibkan mendengarkan seseorang yang disalib di tengah-tengah mereka mengatakan, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Pengampunan ini mendatangkan rahmat. Paling tidak salah satu dari pencuri ini menyambut rahmat Allah. Bahkan ketika pencuri di sebelah kiri mengatakan “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Luk 23:39), maka pencuri di sebelah kanan Yesus menjawab “40 Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? 41  Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.” (Luk 23:40-41)

Percakapan ini mungkin terlihat sepele. Namun, kita jangan melupakan bahwa setiap kata yang keluar dari orang yang disalibkan adalah merupakan suatu penderitaan, karena setiap tarikan nafas menjadi suatu siksaan. Pencuri di sebelah kanan, yang menurut tradisi bernama Dimas, dalam keterbatasannya telah memberikan nyawanya untuk Kristus, dan dia juga menaruh pengharapan di dalam Kristus, sehingga dia memohon kepada Yesus “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Luk 23:42) Sungguh suatu ungkapan pengharapan dan iman yang begitu sederhana dan dalam. Terhadap ungkapan iman dan kasih ini, Yesus menjawab “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43)

Mari, dalam Pekan Suci ini, kita bersama-sama merenungkan, bahwa kita yang telah menerima baptisan sakramental, seharusnya mempunyai sikap seperti yang ditunjukkan oleh Dimas, bahkan dituntut lebih. Mengapa? Karena kita telah menerima rahmat Allah yang begitu istimewa dalam Sakramen Baptis, seperti: (a) rahmat pengudusan, (b) menjadi anak-anak Allah dan dipersatukan dalam Tubuh Mistik Kristus, (c) menerima tiga kebajikan ilahi (iman, pengharapan dan kasih), (d) menerima tujuh karunia Roh Kudus seperti yang disebutkan di dalam Yes 11:2-3 (kebijaksanaan, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengenalan, kesalehan, dan takut kepada Allah). Dengan rahmat-rahmat ini kita dimampukan untuk mengikuti perintah Kristus, yang menuntun kita kepada keselamatan kekal.

3. Yoh 19:26-27 “Ibu, inilah, anakmu!” dan “Inilah ibumu!”
Dengan penebusan-Nya di kayu salib, Kristus telah membuka jalan keselamatan bagi semua orang. Dia telah memberikan Diri-Nya dengan sehabis-habisnya. Dia telah memberikan Tubuh dan Darah-Nya di kayu salib, yang telah diantisipasi dalam Perjamuan Suci (lih. Mat 26:26-29, Mar 14:22-25, Luk 22:19-20). Namun rupanya ini tidak cukup. Memandang dari kayu salib, Kristus melihat dua orang yang dikasihi-Nya, yaitu Ibu-Nya, Bunda Maria dan murid-Nya yang terkasih, rasul Yohanes. Dengan sisa-sisa nafas-Nya, Kristus memberikan pesan yang begitu penting kepada kita, yaitu pesan ketika Kristus memandang Ibu-Nya dan murid-Nya dan berkata “Ibu (RSV = Woman), inilah, anakmu!.. dan inilah ibumu” (Yoh 19:26-27). Dalam bukunya, uskup agung Fulton Sheen mengatakan bahwa dengan menyebut woman (perempuan) dan bukan ibu, maka Kristus menginginkan bahwa Bunda Maria bukan hanya menjadi bunda Kristus saja, namun dia menjadi bunda seluruh umat beriman. Inilah sebabnya Kristus menyerahkan ibu-Nya kepada  kepada murid yang dikasihi-Nya – tanpa nama, untuk menyatakan bahwa perintah ini ditujukan kepada semua murid Kristus.

Sebaliknya Kristus juga menyerahkan murid-Nya untuk menjadi putera Bunda Maria. Satu-satunya anak Maria memang tidak tergantikan, yaitu Kristus. Namun, Kristus ingin memberikan hubungan yang baru antara Maria dengan seluruh umat beriman. Kristus menginginkan agar Maria dapat menerima seluruh umat beriman sebagai anaknya, karena Kristus sendiri hadir dan bersatu dalam diri setiap umat beriman, sama seperti Kristus sendiri mengumpamakan DiriNya sebagai pokok anggur dan seluruh ranting-ranting bersatu dengan-Nya (lih. Jn 15:5). Ini berarti, Kristus menginginkan agar Bunda Maria turut berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus dan memperlakukan seluruh umat beriman sebagai anaknya. Suka atau tidak suka, Kristus menginginkan hal ini dan memberikan Maria sebagai bunda bagi seluruh umat beriman. Kalau Kristus tidak berkeberatan untuk dididik oleh Maria dan Maria dipandang baik oleh Kristus sebagai Bunda Allah, maka siapakah kita yang memandang bahwa kita tidak perlu menghormati Bunda Maria, bahkan ada yang menyingkirkan Bunda Maria dari kehidupannya? Apakah ada seorang pria yang merasa bahwa pacarnya terlalu berlebihan karena dia menghormati ibunya juga?

4. Mrk 15:34 “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Disaksikan oleh Bapa-Nya di Sorga dan ibu-Nya di kaki kayu salib, Yesus berkata “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kalimat yang berkesan keputusasaan. Mungkin jeritan yang sama, sering kita teriakkan dalam kesesakan dan penderitaan kita. Kita mengetahui bahwa Kristus adalah sungguh sama seperti kita, yang telah mengecap semua yang kita alami, termasuk penderitaan. Namun, di dalam penderitaan-Nya, Dia telah menunjukkan adanya suatu kepercayaan yang kokoh akan rencana Allah. Perkataan Eli, Eli Lamasabakthani, merupakan permulaan dari Mazmur 22, yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
1  Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. (22-2) Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.
2 Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.
3 Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.
4 Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.
5 Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.
6 Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.
7 Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:
8 “Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?”
9 Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.
10 Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.
11 Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.
12 Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku;
13 mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum.
14 Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku;
15 kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku.
16 Sebab anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku.
17 Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.
18 Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.
19 Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!
20 Lepaskanlah aku dari pedang, dan nyawaku dari cengkeraman anjing.
21 Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!
22 Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:
23 kamu yang takut akan TUHAN, pujilah Dia, hai segenap anak cucu Yakub, muliakanlah Dia, dan gentarlah terhadap Dia, hai segenap anak cucu Israel!
24 Sebab Ia tidak memandang hina ataupun merasa jijik kesengsaraan orang yang tertindas, dan Ia tidak menyembunyikan wajah-Nya kepada orang itu, dan Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya.
25 Karena Engkau aku memuji-muji dalam jemaah yang besar; nazarku akan kubayar di depan mereka yang takut akan Dia.
26 Orang yang rendah hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya! 
27 Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya.
28 Sebab Tuhanlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa.
29 Ya, kepada-Nya akan sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di hadapan-Nya akan berlutut semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup.
30 Anak-anak cucu akan beribadah kepada-Nya, dan akan menceritakan tentang TUHAN kepada angkatan yang akan datang.
31 Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya.

Bagi umat Yahudi, kalau seseorang memulai kalimat pertama dari Mazmur, maka berarti orang bermaksud untuk menyelesaikannya. Dan dalam kondisi tersalib, sungguh tidak mungkin untuk menyelesaikan pengucapan keseluruhan Mazmur tersebut. Ini berarti, bahwa kalimat pertama dari Mazmur 22 harus dimengerti dalam konteks keseluruhan, yaitu untuk mempercayai dan menggantungkan segala sesuatunya ke dalam tangan Bapa, yang pada akhirnya akan membawa kemuliaan, di mana seluruh ujung bumi akan mengingat dan berbalik kepada Tuhan (lih. Mzm 22:27). Ini adalah suatu pengajaran dari Kristus yang harus diikuti oleh seluruh murid Kristus tentang bagaimana menaruh pengharapan di dalam Tuhan dalam kondisi apapun. Cara dan sikap dalam menghadapi penderitaan adalah salah satu perbedaan antara orang yang mengenal Kristus dan yang tidak mengenal Kristus. Bahkan rasul Paulus mengatakan “3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, 4  dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. 5  Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rom 5:3-5)

Kalau seseorang menjadi murid Kristus, maka dia akan mengikuti apa yang dilakukan oleh Kristus, termasuk adalah cara menghadapi permasalahan dan penderitaan. Karena dengan penderitaan-Nya, Kristus dapat memenangkan belenggu dosa, maka dengan menyatukan segala penderitaan kita dengan Kristus, kita akan memperoleh kemenangan, yaitu kemenangan yang menyelamatkan, yang mengantar kita pada  kehidupan kekal. Kuncinya adalah menghadapi permasalahan dengan terus bertekun dalam doa yang didasarkan iman, pengharapan dan kasih, seperti yang dilakukan oleh Kristus.

Mungkin ada yang bertanya, kalau Yesus memang Tuhan, mengapa pada saat disalib, Dia berdoa? Sebenarnya, Yesus berdoa tidak hanya terbatas pada waktu Yesus disalib, namun Yesus berdoa dalam berbagai kesempatan (lih. Mt 16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). Santo Thomas Aquinas membahas tentang definisi doa, dimana dia mengatakan bahwa doa adalah membuka keinginan kita kepada Tuhan, sehingga Dia dapat memenuhinya.”[2] Karena di dalam Kristus (satu pribadi) ada dua kehendak, yaitu kehendak manusia dan kehendak Tuhan, maka menjadi hal yang wajar, kalau Yesus berdoa karena Dia mempunyai kodrat manusia. Sama seperti kita sebagai orang beriman, kita menyatakan keinginan/ kehendak kita di hadapan Allah.

Alasan kedua adalah Yesus berdoa untuk kepentingan manusia. Yesus dapat saja berdoa dalam hati, namun Dia ingin menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai manusia kita berdoa, yaitu bahwa kita harus senantiasa tunduk kepada kehendak Allah Bapa, meskipun di dalam situasi yang paling sulit sekalipun.

Yesus berdoa tanpa henti, untuk mengajar manusia senantiasa berdoa di dalam segala kesempatan tanpa henti (lih. Mt 16:23; Mt 26:36; Mk 14:32; Lk 3:21; 6:12;Lk 9:18, 28; Lk 11:1-2; Lk 18:1). Yesus mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam doa yang terpenting adalah untukmengikuti kehendak Tuhan, seperti yang dikatakan-Nya dalam doa-Nya di Taman Getsemani, dimana Dia berkata “”Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (lih. Mt 26:36; Mk 14:32-36). Yesus mengajarkan doa yang sempurna, yaitu doa Bapa Kami, yang terdiri dari tujuh petisi (lih. Mt 6:9-13). Yesus menunjukkan bahwa di dalam setiap percobaan, maka Tuhanlah yang menjadi kekuatan dalam doa, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus di dalam drama penyaliban (Mt 27:46; Mk 15:34; Lk 23:46).

Yesus juga mengajarkan pentingnya untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus dengan berdoa “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (lih. Lk 23:34). Dan masih begitu banyak contoh yang lain, yang menyebabkan pengikut Kristus tahu bagaimana untuk berdoa, karena Tuhan sendiri – melalui Kristus – yang menunjukkan kepada manusia bagaimana seharusnya berdoa. Dengan demikian, maka kita dapat melihat bahwa doa Yesus di atas kayu salib sungguh merupakan doa yang berpengharapan yang menyelamatkan dan memberikan contoh bagi seluruh umat beriman.

5. Yoh 19:28 “Aku haus!”
Contoh apalagi yang ingin diberikan oleh Kristus sebelum dia menghembuskan nafas-Nya yang terakhir ketika Dia mengatakan “Aku haus!“? Dikatakan di ayat Yoh 19:28 bahwa perkataan Yesus “Aku Haus” adalah untuk memenuhi nubuat di dalam Kitab Suci. Ini adalah pemenuhan dari Mzm 69:21 yang mengatakan “… dan pada waktu aku haus, mereka memberi aku minum anggur asam.” Dengan demikian, pernyataan Yesus merupakan penegasan bahwa Yesus yang tersaliblah yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.

Memang dalam kodrat-Nya sebagai manusia, Yesus mengalami penderitaan dan kehausan yang begitu sangat. Namun, kehausan dalam kapasitas yang lebih dalam adalah kehausan untuk meyelamatkan jiwa-jiwa. Ini adalah drama pencarian Tuhan akan manusia. Drama di mana Tuhan yang dari Sorga turun ke dunia untuk menjangkau jiwa-jiwa yang tercerai berai. Kehausan ini mengingatkan kita akan permintaan Yesus kepada wanita Samaria “Berilah Aku minum” (Yoh 4:7). Dan percakapan ini pada akhirnya membawa keselamatan kepada wanita Samaria dan juga orang-orang di kota tersebut. Keselamatan wanita Samaria dan orang-orang di kota tersebut tidaklah cukup bagi Yesus, sehingga di atas kayu salib, Dia tetap merasa kehausan, karena Dia ingin menjangkau seluruh umat manusia, ingin menemukan dan mengantar seluruh umat manusia pada keselamatan dan pengetahuan akan kebenaran (lih. 1Tim 2:4)

Karena Tuhan senantiasa dalam pencarian akan manusia, maka sejak dari Perjanjian Lama dikatakan “13 apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, 14  Aku akan memberi kamu menemukan Aku” (Yer 29:13-14) Inilah sebabnya ketika seseorang menyadari bahwa dia memerlukan Tuhan, ketika seseorang melihat penderitaan dalam kacamata iman, ketika seseorang menerima penderitaan dengan tabah, ketika seseorang mau menyangkal dirinya dan memikul salibnya dan mengikuti Kristus, maka Tuhanlah yang sebenarnya menjadi penggerak utama dari semuanya itu. Dalam drama penyaliban, terutama perkataan Yesus bahwa Dia haus, kita menyaksikan akan drama tentang Tuhan yang sungguh mencintai manusia dengan sehabis-habisnya. Bagaimana tanggapan manusia? Bagaimana tanggapan kita?

6. Yoh 19:30 “Sudah selesai”
Setelah prajurit memberikan bunga karang yang telah dicelupkan pada anggur asam, lalu Yesus meminumnya dan berkata “sudah selesai” (lih. Yoh 19:30). Kita dapat melihat adanya tiga hal yang berkaitan dengan “sudah selesai”. Di dalam Kitab Kejadian, setelah Tuhan menyelesaikan penciptaan, maka pada hari ke tujuh, Dia mengatakan “Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan (finished His work) yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. ” (Kej 2:2) Dan Kitab Wahyu menuliskan “Semuanya telah terjadi (it is done). Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” Ini berarti, penciptan dunia dan kemenangan di Sorga hanya dapat terjadi kalau pekerjaan yang dilakukan Yesus telah selesai. Dan dalam konteks inilah Yesus mengatakan “sudah selesai” untuk menyatakan bahwa Dia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa dengan sempurna, bukan dengan keputusasaan dan kegetiran, namun dengan dasar kasih yang sempurna. Inilah yang membuat persembahan Kristus di kayu salib dapat menyenangkan hati Bapa – yaitu karena didasarkan kasih yang sempurna.

Ini juga yang seharusnya mendorong kita dalam perjalanan kehidupan kita. Sama seperti Rasul Paulus, kita juga ingin berlari ke tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan Sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (lih. Flp 3:14).

7. Luk 23:46 “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.”
Kata yang terakhir dari Yesus setelah mengatakan “sudah selesai” adalah “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku“. Dalam satu kalimat ini, kita dapat melihat hubungan yang sungguh dalam dan tak terpisahkan antara Bapa dan Putera. Bapa begitu mencintai manusia, sehingga Dia mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menebus dosa dan menyelamatkan manusia (lih. Yoh 3:16). Kristus datang ke dunia dan senantiasa melaksanakan kehendak Bapa. Dari umur duabelas tahun, Kristus telah mengatakan bahwa Dia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya (Luk 2:49). Dalam seluruh karya-Nya, Kristus senantiasa melakukan apa yang berkenan kepada Bapa (lih. Yoh 8:29). Sampai pada akhirnya, Kristus menyerahkan nyawaNya ke dalam tangan Bapa (lih. Luk 23:46). Dengan kebebasan-Nya, Kristus melakukan kehendak Bapa.

Bagaimana dengan kita? Bagaimana kita menggunakan kebebasan kita? Orang sering salah dalam mengartikan kebebasan. Orang sering mengartikan kebebasan sebagai “kebebasan dari freedom from” dan bukan “kebebasan untuk / freedom for“. Kebebasan yang lebih menekankan “kebebasan dari” merupakan ekspresi akan keinginan yang terbebas dari hal-hal yang dianggap mengikatnya, termasuk tanggung jawab. Orang yang menginginkan kebebasan untuk minum minuman keras tanpa mau dibatasi jumlahnya, cepat atau lambat akan menemukan bahwa dirinya tidak lagi bebas. Dia akan terikat akan minuman keras, dan tidak lagi mempunyai kebebasan untuk mengatakan tidak terhadap minuman keras. 

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa mengumbar kebebasan tanpa adanya batasan yang jelas dapat membuat manusia menjadi tidak bebas lagi. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan kebebasan sebagai berikut:

KGK, 1731. Kebebasan adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikanKebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan kepada Allah, kebahagiaan kita.

Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa kebebasan seharusnya juga dibarengi dengan kebenaran (truth) dan kebaikan (good). Tanpa dibarengi dengan kebenaran dan kebaikan, maka kebenaran akan menjadi suatu tindakan yang tidak bertanggungjawab. Semakin tinggi kebenaran dan kebaikan itu, maka kebebasan itu akan semakin membebaskan. Karena tidak ada kebenaran dan kebaikan yang lebih tinggi dari Tuhan -  sebab Tuhan adalah kebaikan dan kebenaran itu sendiri – maka kebebasan sejati adalah kebebasan yang didasarkan atas ketentuan dari Tuhan. Kristus sendiri, sebagai jalan, kebenaran dan hidup (lih. Yoh 14:6) telah mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan (lih. Yoh 8:32). Dengan demikian, dalam kata yang terakhir di kayu salib, Kristus telah menunjukkan bahwa Dia secara bebas menjalankan kehendak Bapa dan secara bebas memberikan nyawa-Nya untuk Bapa. Inilah kebebasan yang sejati.

Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada kaum muda seluruh dunia pada tahun 1985 mengatakan “And in this sphere Christ’s words: “You will know the truth, and the truth will make you free”, become an essential programme. Young people, one might say, have an inborn “sense of truth”. And truth must be used for freedom: young people also have a spontaneous “desire for freedom”. And what does it mean to be free? It means to know how to use one’s freedom in truth-to be “truly” free. To be truly free does not at all mean doing everything that pleases me, or doing what I want to do. Freedom contains in itself the criterion of truth, the discipline of truth. To be truly free means to use one’s own freedom for what is a true good. Continuing therefore: to be truly free means to be a person of upright conscience, to be responsible, to be a person “for others”.[3]

Mari, dalam Pekan Suci ini, kita merenungkan sejauh mana kita telah menggunakan kebebasan kita. Apakah kita telah menggunakan kebebasan kita dengan bertanggungjawab berdasarkan kebenaran dan kebaikan, sehingga dapat mengarahkan kita kepada keselamatan diri kita maupun membantu keselamatan orang-orang di sekitar kita? Jika kita telah mati dari dosa kita – karena Sakramen Baptis – yang kita terima, dan membuat kita dapat bangkit bersama Kristus, maka kita juga harus mengikuti teladan Kristus. Kita dapat menyerahkan kebebasan kita kepada Tuhan sehingga kita dapat semakin bebas untuk melaksanakan seluruh perintah Tuhan.

Melaksanakan tujuh pesan terakhir Yesus mengantar kita kepada keselamatan
Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa tujuh pesan terakhir Yesus sungguh penuh makna yang mendalam. Kalau kita terus merenungkan pesan-pesan ini sepanjang Pekan suci ini, maka kita akan semakin menghargai pengorbanan Yesus. Apapun kondisi kita, di Pekan suci ini, Kristus menawarkan pengampunan kepada kita semua. Bagi yang berdosa berat, segeralah mengaku dosa dan bagi yang berjuang dalam kekudusan, teruslah berfokus pada tujuan akhir. Yesus menginginkan agar semua manusia dapat sampai pada tujuan akhir, yaitu Sorga. Tidak ada kata terlambat. Sejauh kita masih hidup dan bertobat, sama seperti pencuri yang disalibkan di sisi kanan Yesus, maka Kristus akan memberikan janji yang sama, yaitu keselamatan kekal.

Demikian pula, Kristus menyerahkan Bunda-Nya menjadi Bunda segenap umat beriman, agar kita dapat memohon dukungan doanya agar dapat sampai kepada keselamatan. Tujuan akhir ini juga harus dihadapi dengan pengharapan akan Allah, sehingga pencobaan dan penderitaan tidak menjadikan kita perputus asa. Dalam perjalanan kita menuju Sorga, kita juga harus mempunyai semangat untuk membawa orang-orang di sekitar kita untuk memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Dan ini harus kita lakukan sampai akhir hidup kita, sampai tugas kita selesai dan sampai kita menyerahkan nyawa kita ke dalam tangan Bapa. Dengan menjalankan pesan Kristus ini, maka kita dapat mencapai tujuan akhir dengan selamat.

Semoga Trihari Suci membawa kita pada permenungan yang lebih mendalam akan misteri Paskah Kristus.

sumber:Katolisitas
 
Toggle Footer
Top