Kitab-kitab Deuterokanonika
Pada zaman Yesus ada 2 kitab Perjanjian Lama (PL) yang digunakan.
Ada kitab PL yang mengikuti Kanon Palestina yang ditulis dalam bahasa Ibrani
yang sama persis dengan kitab PL yang digunakan orang-orang Protestan hingga
saat ini. Dan ada juga kitab PL yang mengikuti Kanon Alexandria yang ditulis
dalam bahasa Yunani yang disebut dengan Septuaginta. Kitab ini sama persis
dengan kitab PL yang digunakan oleh Gereja Katolik. Perbandingan antara
Septuaginta dan Gulungan-gulungan Laut Mati yang ditemukan pada abad ke-20
menunjukkan bahwa ada “saksimata” yang akurat bagi Septuaginta. Yesus mengutip
80% Septuaginta pada ajaran-ajaranNya yang mengacu PL. Septuaginta adalah Kitab
Suci yang digunakan pada zaman Yesus.
Septuaginta memiliki susunan kitab yang sama dengan isi Alkitab
modern, di lain pihak kanon Palestina memiliki susunan yang sangat berbeda.
Alkitab NIV (versi terjemahan New International Version) menggunakan susunan
kitab yang sama dengan Septuaginta, namun mengeluarkan beberapa kitab
(kitab-kitab deuterokanonika) yang pada mula ditemukan di situ.
Kanon Alexandria dan Palestina hampir sama kecuali Septuaginta
memiliki tujuh kitab Deuterokanonika yang oleh orang-orang Protestan disebut
Apokripa.(“Kanon” dalam hal ini berarti susunan kitab). Para rasul dan Gereja
perdana termasuk para Bapa Gereja menggunakan Septuaginta. Sinode para uskup
Hippo di Afrika (393M) dan Kartago (397M) juga menegaskan keabsahan
Septuaginta.
Orang-orang Protestan Injili lebih menyukai kanon Palestina ini
karena disahkan (diratifikasi) oleh para rabbi Yahudi pada tahun 90M dalam
sebuah konsili di Jamnia (ini bukan konsili para pemimpin kristiani!). Bagi
Gereja Katolik konsili yang dilakukan oleh para rabbi Yahudi ini tidak diikat
oleh Tuhan karena otoritas Tuhan telah diberikan kepada Gereja pada hari
Pentakosta (Kis 2:1) 60 tahun sebelumnya.
Beberapa orang mempertanyakan bagaimana jika konsili yang
sebenarnya telah dilakukan di Jamnia tersebut namun pertanyan itu tidak
mengubah pendirian Gereja. Para rabbi Yahudi itu memutuskan untuk mereview
kanonisasi kitab suci setelah kebangkitan Yesus, dan keputusan-keputusan itu
sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang-orang Kristen (Gereja).
Saya pernah mendapatkan sebuah email yang mengatakan: “St. Yeremia
pun tidak pernah memasukkan kitab-kitab tersebut (apokripa) ke dalam kitab
Vulgata-nya, namun memisahkannya dari kitab-kitab yang asli yang merupakan
wahyu ilahi. Gereja Katolik tidak pernah secara resmi menyatakan bahwa
kitab-kitab deuterokanonika ini adalah wahyu ilahi sampai tahun 1546. Gereja
Katolik memang telah memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon, akan
tetapi tidak pernah secara resmi mendeklarasikannya sebagai wahyu ilahi.”
Berikut ini adalah kutipan dari Columbia University (sebuah
institusi sekuler):
“Mengenai kitab-kitab Deuterokanonika dalam kitab PL, St. Yeremia
telah membuat terjemahan yang tergesa-gesa pada kitab Tobit, Yudit, Tambahan
kitab Daniel dan Esther; namun ia tidak menyentuh kitab lainnya, oleh karena
itu Vulgata memasukkan versi Latin Tua dari kitab-kitab tersebut.”
http://www.answers.com/topic/vulgate
Vulgata selalu memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika. Empat kitab
telah diterjemahkan oleh St. Yeremia dan sisanya menggunakan bahasa Latin Tua.
Dengan kata lain, Gereja selalu menerima kitab-kitab Deuterokanonika tersebut.
Kitab-kitab deuterokanonika tidaklah ditambahkan ke dalam Alkitab
pada Konsili Trente seperti yang dikira orang-orang yang menentangnya.
Orang-orang Kristen pada saat itu selalu menerima kitab-kitab tersebut sebagai
bagian dari Alkitab.
Alkitab berbahasa Latin yang disebut Vulgata yang ditulis oleh St.
Yeremia pada tahun 400M pun berisi kitab-kitab Deuterokanonika. Penerimaan
kitab-kitab Deuterokanonika secara resmi diteguhkan pada Konsili Trente sebagai
tanggapan terhadap gerakan reformasi yang menolak kitab-kitab ini. Pada era
gerakan reformasi inilah justru kitab-kitab ini baru ditolak.
Deuterokanonika mulai secara serius dipertanyakan oleh kaum
Protestan. Alkitab yang dicetak oleh Gutenberg pada tahun 1455 juga berisi
kitab-kitab Deuterokanonika. Alkitab yang dicetak Gutenberg ini adalah Vulgata
dan ditulis dalam bahasa Latin. Alkitab ini jauh mendahului reformasi
Protestan. Inilah hal yang kebanyakan tidak diajarkan pada orang-orang
Protestan. Tidak ada Alkitab sebelum reformasi protestan yang tidak berisi
kitab-kitab Deuterokanonika.
Saya pernah mendengar beberapa orang protestan injili mengatakan
bahwa kitab-kitab Deuterokanonika tidak dapat dimasukkan ke Alkitab karena
tidak alkitabiah. Bagi saya alasan ini hanyalah alasan berputar-putar. Martin
Luther mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika ini dari Alkitab versinya (ia
juga mau mengeluarkan kitab Yakobus dan Wahyu). Sekarang, berdasarkan kanon
yang baru itu, para protestan injili mengatakan bahwa Deuterokanonika tidak
alkitabiah.
Jika sejak awal mulanya kitab-kitab deuterokanonika sudah lama
berada di dalam Alkitab seperti yang diungkapan oleh sejarah, maka saya harus
mengatakan bahwa kitab-kitab itu pada dasarnya sangatlah alkitabiah.
Sebenarnya yang ingin dikatakan bagi mereka yang menganggap bahwa
kitab-kitab Deuterokanonika tidak alkitabiah adalah bahwa mereka menolaknya
karena kitab-kitab ini mendukung pandangan Gereja Katolik tentang Api Pencucian
dan mendoakan jiwa-jiwa orang mati di dalam Api Penyucian.
Saya pernah menanyakan kepada Dr. Art Sippo untuk menjelaskan
sedikit tentang sejarah Septuaginta yang merupakan Alkitab berbahasa Yunani
yang sering dikutip oleh Yesus.
“Tidak ada satupun kumpulan tulisan yang disebut Septuaginta
(LXX). Namun pada kenyataannya ada beberapa rumpun tulisan dan kebanyakan dari
mereka pada dasarnya adalah tulisan-tulisan kristiani sejak abad pertama. Kita
mengetahui bahwa kitab-kitab Deuterokanonika adalah sebenarnya bagian dari
kumpulan tulisan kristiani pada masa itu. Inilah hal penting yang harus
digarisbawahi. Ketika orang-orang Kristen (zaman dulu Kristen berarti Katolik
karena protestan belum lahir, red) mengumpulkan PL pada 3 abad pertama tahun
Masehi, mereka TANPA KECUALI menggunakan LXX dan memasukkan beberapa jika bukan
semua kitab Deuterokanonika dan juga kadang-kadang karya-karya lain yang kita
anggap apokripa (tidak asli).
Kami dapat mengetahui ini karena kami memiliki beberapa
kumpulan naskah kuno (kumpulan buku) dari Gereja perdana yang nampaknya telah
dibuat melalui dekrit kekaisaran persis setelah Konsili Nikea pada tahun 325.
Kami juga memiliki banyak daftar buku dari abad kedua (misalnya Muratorian
Fragment = potongan-potongan tulisan Muratoria) dan kesaksian beberapa Bapa
Gereja mulai dari Justinus Martir pada tahun 150M.
Para Bapa Gereja juga secara luas mengutip kitab-kitab
Deuterokanonika sejak dari abad pertama dan seterusnya. Sampai pada pertengahan
abad 4 Masehi, tidak ada seorang pun secara serius menentang kanon PL yang
panjang tersebut” (maksudnya kanon Alexandria di mana kitab-kitab
Deuterokanonika ada di dalamnya, red).
Saya pernah mengikuti sebuah ceramah yang dibawakan oleh Peter
Flint, penulis satu-satunya terjemahan berbahasa Inggris dari Dead Sea Scrolls
- Gulungan Laut Mati (yang diterbitkan pada tahun 1999,
www.deadseascrolls.org). Bukunya yang merupakan terjemahan dari gulungan laut
mati tersebut telah dinobatkan sebagai The Book of the Year 2003 (buku terbaik
tahun 2003) oleh the Institute of Biblical Archeology Institut Arkeologi
Alkitab di Washington DC.
Profesor Flint, yang ternyata BUKAN SEORANG KATOLIK membuat sebuah
pernyataan yang sangat kuat. Beliau menyatakan, “Anda sekalian tidak mungkin
mempunyai Alkitab tanpa Gereja (Katolik, red).” Ketika saya menanyakan hal ini
pada saat saya minta beliau menandatangani bukunya setelah ceramah tersebut,
beliau berkata kepada saya, “Tanpa Gereja, Anda hanya memiliki sebuah kumpulan
buku. Dengan Gereja Anda memiliki sebuah Alkitab.”(ceramah, 13 Februari 2004,
Ottawa, Kanada)
Bagi saya, seorang yang beralih kepada iman Katolik, ini adalah
pernyataan yang sangat penting dari seorang pakar (sarjana) seperti Prof. Flint
oleh karena implikasi dari pernyataannya itu. Khususnya karena beliau bukan
seorang Katolik.
Jika Alkitab membutuhkan Gereja untuk menentukan kanon mana yang
digunakan (kanon = daftar kitab), maka saya kira proses untuk memutuskan kanon
mana yang digunakan mestinya merupakan inspirasi ilahi. Menurut hemat saya,
Rahmat Tuhan yang sama itu pun dibutuhkan untuk memutuskan kitab-kitab mana
yang harus dimasukkan ke dalam kanon seperti halnya Rahmat tersebut bekerja
ketika kitab-kitab tersebut ditulis untuk yang pertama kalinya.
Bagi saya hanya ada 4 kemungkinan:
1. Tuhan sama sekali tidak menginspirasi pembuatan keputusan
kanonisasi Alkitab,
2. Tuhan telah memberikan bangsa Yahudi Rahmat-Nya itu pada abad
2M ketika mereka memilih Kanon Masoretik (setelah mereka menolak Putra-Nya,
Sang Mesias),
3. Tuhan memberikan Rahmat-Nya itu kepada gerakan Reformasi pada
tahun 1546, atau
4. Tuhan memberikan Rahmat-Nya itu kepada Gereja Katolik di
Kartago pada tahun 397M.
Saya tidak bisa membayangkan Tuhan sepakat dengan adanya dua kanon
yang berbeda ini terus mengambang, jadi saya menyingkirkan kemungkinan #1. Saya
juga tidak bisa membayangkan Tuhan harus menunggu 1550 tahun untuk
menginspirasi gerakan reformasi memutuskan kanon mana yang dipakai.
Jadi saya juga menyingkirkan kemungkinan #3. Ini meninggalkan saya
2 opsi yaitu apakah bangsa Yahudi-lah yang telah diberikan Rahmat ilahi untuk
memutuskan kanon kitab PL di Jamnia, Palestina pada abad 2M ataukah Gereja
Katolik-lah yang telah diberikan Rahmat ilahi itu di Kartago. Saya lebih sulit
mengimani opsi #2 bahwa Tuhan telah memberikan Rahmat-Nya kepada bangsa Yahudi
tersebut setelah mereka menolak Putra-Nya, sang Mesias daripada opsi #4 bahwa
Rahmat itu justru diberikan kepada orang-orang Kristen awal yang menggunakan
kitab-kitab deuterokanonika.
Jadi, saya yakin bahwa Rahmat telah diberikan kepada orang-orang
Kristen awal yang menggunakan kitab-kitab deuterokanonika itu dan meresmikan
peneguhan kitab-kitab tersebut sebagai bagian dari Kanon Alkitab pad tahun 397M
di Kartago.
Demikianlah penjelasan Katolik mengenai mengapa kitab-kitab
deuterokanonika merupakan bagian dari Alkitab sejak Gereja perdana. Saya
sendiri telah mendapatkan sangat banyak inspirasi melalui kitab-kitab tersebut.
Secara khusus, saya sangat terkejut setelah membaca kitab Tobit, Susanna,
Kebijaksanaan, dan Yudit. Jika Anda belum membaca kitab-kitab tersebut, saya
anjurkan untuk membacanya dan silahkan member penilaian sendiri. Martin Luther
sendiri sangat menyukai kitab Tobit. Kitab tersebut membentuk bagian dari
Alkitab Luther.
Ikhtisar Waktu Penetapan Kanon Alkitab
Tahun 51-125M: Kitab Perjanjian Baru ditulis.
Tahun 140M: Marcion, seorang pengusaha di Roma, mengajarkan bahwa
ada 2 Tuhan: Yahweh, Tuhan yang kejam dalam Perjanjian Lama, dan Abba, Bapa
yang baik dalam Perjanjian Baru. Marcion menghapus Perjanjian Lama sebagai
Kitab Suci dan, oleh karena dia seorang anti-semit (anti Yahudi), Marcion hanya
menggunakan 10 epistola Paulus dan 2/3 Injil Lukas (dia menghilangkan semua
teks yang berhubungan dengan keyahudian Yesus). Kitab Perjanjian Baru versi
Marcion, ketika pertama kali dikumpulkan, memaksa Gereja untuk memutuskan kanon
inti kitab PB: keempat Injil dan Surat-surat Rasul Paulus.
Tahun 200M: batasan luar kanon belum ditentukan. Berdasarkan satu
daftar yang dikumpulkan di Roma pada tahun 200M (Kanon Muratorian), Perjanjian
Baru terdiri daru 4 injil, Kis, 13 surat Rasul Paulus (Ibrani tidak termasuk);
3 dari ketujuh Surat-surat umum (1-2 Yohanes dan Yudas); dan juga Apokalips
Petrus.
Tahun 367M: daftar kitab PB terpanjang pertama yang jumlah dan
urutannya persis sama dengan yang kita miliki saat ini ditulis oleh St.
Athanasius, Uskup Alexandria, dalam surat Festal #39 tahun 367M.
Tahun 382M: Konsili Roma (di mana melalui konsili ini Paus Damasus
mulai menggulirkan ide untuk menentukan kanon universal bagi semua Gereja
kota). Konsili ini menentukan daftar kitab-kitab Perjanjian Baru yang jumlah
dan urutannya sama dengan kitab PB saat ini.
Tahun 393M: Pada Konsili Hippo mulai ada yang menentang kanon
Alkitab yang ditawarkan oleh Uskup Athanasius.
Tahun 397M: Konsili Kartago menyaring kembali kanon Alkitab bagi
Gereja Barat, lalu mengirimnya kepada Paus Inosensius untuk diratifikasi
(disahkan). Sementara itu di Timur, proses kanonisasi terhambat oleh lahirnya
sejumlah skisma (khususnya di dalam Gereja Antiokia). Akan tetapi, hal ini
akhirnya dapat diatasi.
Tahun 787M: Konsili Ekumenis di Nikea II yang mengadopsi Kanon
Alkitab yang dibuat pada Konsili Kartago tahun 393M. Pada titik ini, Latin di
Barat dan Yunani/Bizantium di Timur memiliki kanon yang sama. Namun demikian
bangsa-bangsa bukan Yunani seperti aliran monofisit, gereja-gereja Nestorian di
Timur (seperti Koptik, Etiopia, Siria, Armenia, Siro-malankar, kaldea, dan
Malabars) masih tertinggal di belakang. Namun akhirnya, gereja-gereja ini
sampai pada persetujuan kanon yang sama pada tahun 1442 di Florence.
Tahun 1442M: Pada Konsili Florence, seluruh Gereja mengakui 27
kitab. Konsili ini menegaskan kembali Kanon Alkitab yang dikeluarkan oleh
Gereja Katolik Roma melalui pengesahan Paus Damasus I seribu tahun sebelumnya!
Jadi, mulai pada tahun 1439 seluruh Gereja Katolik telah secara hukum terikat
pada kanon yang sama. Ini telah terjadi 100 tahun sebelum gerakan reformasi
Protestan!
Tahun 1536M: dalam melakukan terjemahan Alkitab dari bahasa Yunani
ke Bahasa Jerman, Luther memindahkan 4 kitab Perjanjian Baru (Ibrani, Yakobus,
Yudas, dan Wahyu) dan menempatkannya ke dalam sebuah appendix oleh karena
menurutnya kitab-kitab tersebut tidak /kurang kanonis.
Tahun 1546: Pada Konsili Trente, Gereja Katolik menegaskan sekali
lagi dan selamanya daftar penuh ke 27 kitab PB. Konsili ini juga menegaskan
penggabungan kitab-kitab Deuterokanonika yang telah selalu menjadi bagian dari
Kanon Alkitab sejak Gereja Perdana dan telah diteguhkan pada Konsili-konsili
ekumenis Gereja pada tahun 373, 393, 787, dan 1442M. Di Trente, Roma, Gereja
pada hakekatnya mendogmatisasi kanon yang sudah ada, membuatnya lebih dari
sekedar masalah hukum kanon, dan untuk itu selamanya masalah kanon Alkitab mana
yang benar dinyatakan selesai.
sumber:Gereja
Katolik Facebook