Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73
kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru
terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73
kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab
Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab
nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran,
Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal
seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini
adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat
atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa
dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering
disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum
Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis
Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik
dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab
ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi
Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.
Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam
Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama
kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan
membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab
Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui
secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum
kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik
mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya
ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi
setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di
berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam
bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh
karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan
seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria
berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani.
Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuaginta, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir.
Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuaginta, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir.
Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para
pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada
sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia,
Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili
Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard)
Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab
Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di
Palestina.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja Kristen tidak menerima hasil
keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuaginta. Pada
konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja
secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima
secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh
konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church Fathers) sebagai
kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama.
Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya
disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St.
Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada abad-abad
pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian
Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab
yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika
(second-listed), atau kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan dalam
kanon Kitab Suci setelah melalui banyak perdebatan.
GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN
BARU
Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama,
Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah
hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4
kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul
Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan
Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil
yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yaitu Injil Matius sampai kitab
Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun.
Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita
ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia
tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan
oleh-Nya. Melainkan Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala
bangsa" (Matius 28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia
mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).
Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka
persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah
kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan menpertobatkan
mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa
rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan
melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari
mulut ke mulut.
Demikianlah para Rasul mengajar generasi
seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh
karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada
generasi-generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para
Rasul.
Tidak satu barispun dari kitab-kitab
Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus.
Yesus disalibkan pada circa tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama
ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi.
Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar
90-100 Masehi.
Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting
disini: Gereja dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan.
Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan
missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi
seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa
pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini
karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang
kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah
melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen
pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para
misionaris.
GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN
BARU
Ke-27 kitab diterima sebagai Kitab Suci
Perjanjian Baru baik oleh umat Kristen Katolik maupun Kristen lain.
Pertanyaannya adalah: Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai
kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Allah? Kita tahu bahwa Alkitab tidak
jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada
setiap kita-kitab tersebut?
Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab
yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada
tahun 175 Masehi; [2] Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185
Masehi; [3] Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.
Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh
Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun
393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun
397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak pihak non-Katolik
sebagai yang menentukan bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.
Paus Santo Innocentius I (401-417) pada
tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan
menutup kanonisasi Alkitab.
Jadi kanonisasi Alkitab telah ditetapkan
di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus pada masa
itu. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang
beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat
Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Allah.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi
seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan
Clement adalah hasil inspirasi Allah. Keputusan resmi wewenang Gereja Katolik
menyelesaikan hal diatas sampai sekitar 1100 tahun kemudian. Hingga jaman
Reformasi Protestan, praktis tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam
Alkitab.
Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan
wibawa dan kuasanya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam
Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil
inspirasi Allah. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan
dapat mengetahui yang mana yang benar.
KITAB VULGATA - KARYA SANTO YEREMIA *
Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas
dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab
Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan
Ethiopia bagi umat Kristen perdana di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di
Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa
Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat
di Italia.
Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan
oleh karya besar yang dibuat oleh Santo Yeremia dalam bahasa Latin yang disebut
"Vulgata" pada abad ke-empat. Pada masa itu ada kebutuhan besar akan
Kitab Suci dan ada bahaya karena variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu
sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar,
atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengoreksi versi-versi yang ada dalam
bahasa Yunani.
Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404,
dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani
(jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang
direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang
diakui resmi oleh wewenang Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut
para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai
pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgata inilah dihasilkan terjemahan dalam
bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.
HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI
Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun
1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip.
Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad
ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu
terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang
ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya
kitab-kitab asli tersebut:
Beberapa ratus tahun pertama adalah
masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas
Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa
mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara
berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan
menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan
disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan
kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Alasan lainnya: media yang dipakai untuk
menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak
tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih
tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang disebutkan dalam 2 Yohanes
1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen perdana, setelah membuat salinan
Alkitab, juga tampak tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya.
Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN
Segenap umat Kristen berhutang budi kepada
para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak,
memelihara dan menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan
adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama
mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat
penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di
abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri.
Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.
Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.
Untuk menyalin satu Alkitab lengkap,
diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang
mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini
menjelaskan mengapa orang banyak tidak mampu memiliki setidaknya satu set
Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka.
Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.
Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.
Alkitab pada abad pertengahan umumnya
ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan
untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu
buta huruf, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa
Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca
lebih menyukai membaca Vulgata, versi Latin dari Alkitab.
Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN
Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan
kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon
Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang
adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa
tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab
aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut terutama karena
sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru menguatkan
doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru
yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.
Oleh karena alasan yang serupa, Martin
Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat
Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para
pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab
diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab Protestan. Namun demikian, tidak
kurang Martin Luther mengecam bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam
Alkitab.
Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang
terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam
Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada
surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin,
bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat".
Tidak heran kalau Martin Luther meremehkan
surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena
justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide
yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15
tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan,
bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman
itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17 "Demikian juga halnya dengan
iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya
adalah mati" dan Yakobus 2:24 "Jadi kamu lihat, bahwa manusia
dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman."
Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab
Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang
digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja
purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang
menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba?
ALKITAB KATOLIK
Bahkan sebelum pecahnya Reformasi
Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak
diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam
kasus-kasus kaum bidaah, penyeleweng ajaran gereja yang berusaha mendukung
doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang
sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja
oleh karena faktor manusia (human error), mengingat pekerjaan menyalin Alkitab
dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan
tenaga.
Oleh karena itu pada Konsili di Florence
pada abad ke lima belas, para pemimpin Gereja menguatkan keputusan yang dibuat
pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.
Setelah meletusnya Reformasi Protestan,
pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit
yang mensahkan Vulgata, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi
resmi yang diakui dan sah untuk umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus
Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.
Selanjutnya pada konsili Vatikan I,
kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan
konsili-konsili sebelumnya tentang
Alkitab. Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat beberapa
kesimpulan:
Berdasarkan sejarah, Alkitab adalah sebuah
kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis, disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen
Katolik. Kanon resmi dari kitab-kitab yang membentuk Alkitab - Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru - ditentukan secara berwibawa oleh wewenang Gereja Katolik
pada abad ke empat.
Menuruti akal sehat dan logika, Gereja
Katolik yang memiliki kuasa untuk menentukan Firman Allah yang infallible -
bebas dari kesalahan -, pasti juga memiliki otoritas yang infallible - bebas
dari kesalahan - dan juga bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat,
terlepas dari deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki
jaminan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli.
Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada wibawa
Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Adalah suatu kontradiksi bagi
seseorang untuk menerima kebenaran Alkitab tetapi menolak wibawa Gereja
Katolik. Logikanya, mereka mestinya tidak mengutip isi Alkitab sama sekali,
karena mereka tidak memiliki pegangan untuk menentukan kitab-kitab mana saja
yang asli, kecuali tentunya kalau mereka menerima wibawa mengajar Gereja
Katolik.
TANYA – JAWAB
Pertanyaan: Mengapa Alkitab umat Katolik
terdiri dari 73 kitab sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 kitab?
Jawaban: Gereja Katolik melandaskan Perjanjian
Lama pada Kanon Alexandria - lebih dari satu abad sebelum kelahiran Yesus
Kristus - yang menetapkan 43 kitab yang disebut Septuagint sebagai kitab-kitab
Perjanjian Lama. Protestan melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Palestina
yang diadakan oleh imam-imam Yahudi untuk memerangi umat Kristen, sekitar tahun
100 Masehi. Perlu dicatat bahwa baik Yesus maupun para murid-muridNya
menggunakan Septuagint yaitu berdasarkan Kanon Alexandria. Tidakkah anda
sebagai umat Kristen, mestinya memakai Kitab Perjanjian Lama yang dipergunakan
oleh Yesus dan para murid-muridNya, dan bukan malahan menggunakan versi
Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh para imam Yahudi yang ditetapkan puluhan
tahun setelah wafat dan kebangkitan Yesus?
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik
pernah melarang umat Kristen untuk membaca Alkitab dan apakah benar bahwa atas
berkat jasa Martin Luther maka umat Katolik sekarang boleh membaca Alkitab?
Jawaban: Satu-satunya kejadian dalam sejarah
Gereja menyangkut larangan kaum awam membaca/memiliki Alkitab dikeluarkan hanya
oleh beberapa uskup di Perancis pada abad ke-13 untuk memerangi kaum bidaah
Albigensian di Perancis. Larangan itu dihapuskan 40 tahun kemudian setelah
pupusnya pendukung bidaah tersebut. Jadi wewenang Gereja Katolik tidak pernah
mengeluarkan larangan kepada umat Katolik untuk membaca Alkitab. Apalagi
anggapan bahwa Martin Luther memiliki jasa apapun atas Gereja Katolik. Ada
dongeng yang mengisahkan bahwa Martin Luther-lah yang "menemukan" Alkitab.
Tapi kalau anda membaca buku-buku sejarah gereja yang berbobot, maka anda akan
menemukan bahwa justru Martin Luther-lah yang bertanggung jawab menghapuskan
kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama, dan bahkan nyaris
menghapuskan lebih banyak lagi kitab-kitab dari dalam Alkitab.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik
mempersulit umat Kristen untuk membaca Alkitab dengan hanya menyediakan
terjemahan dalam bahasa Latin?
Jawaban: Pada waktu itu, orang yang mampu
membaca, juga mampu membaca Latin. Karena Latin adalah bahasa internasional
pada jaman itu. Lebih jauh lagi, Vulgata, versi Latin dari Alkitab hasil karya
Santo Yeremia amat digemari oleh umat Kristen. Jadi tidak ada kebutuhan yang
mendesak untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai bahasa. Namun demikian ada
juga terjemahan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa setempat.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik
pernah membakar Alkitab?
Jawaban: Selama berabad-abad Gereja dilanda oleh
berbagai bidaah (heresy). Para pendukung bidaah menggunakan Alkitab yang sudah
diselewengkan isinya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka sendiri. Gereja
Katolik sebagai penjaga keaslian Alkitab juga berhak dan berwibawa untuk
memastikan bahwa umat Kristen memiliki Alkitab yang isinya tidak dikorupsi demi
kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu otoritas Gereja Katolik
memusnahkan alkitab-alkitab yang isinya mengandung kesalahan ini dan sebagai
gantinya menyediakan Alkitab yang murni isinya. Martin Luther bukan
satu-satunya orang yang pernah mengubah isi Alkitab.
Pertanyaan: Jika penggunaan Alkitab meluas
pada abad-abad pertengahan, mengapa hanya sedikit kitab-kitab kuno ini yang
tertinggal?
Jawaban: Ada beberapa
alasan. Pertama, ada banyak terjadi peperangan sehingga banyak
manuskrip-manuskrip kuno ini ikut musnah. Kedua, media yang dipergunakan mudah
rusak dan tidak tahan lama. Ketiga, pengrusakan besar-besaran yang dilakukan
dengan sengaja seperti pada masa pecahnya reformasi Protestan. Kaum pendukung
reformasi Protestan menghancurkan segala hal yang berbau Katolik.
Gereja-gereja, biara-biara, tempat-tempat ziarah beserta penghuni dan semua
isinya yang bernilai tinggi menjadi korban pergolakan.
Pertanyaan: Mengapa kitab-kitab yang
ditolak dari Perjanjian Lama oleh imam-imam Yahudi itu disebut sebagai
Deuterokanonika?
Jawaban: Deuterokanonika artinya kira-kira kanon
kedua. Disebut demikian karena disertakan setelah melalui banyak perdebatan.
Santo Yeremia sendiri pernah mengutarakan kekhawatirannya akan keaslian
kitab-kitab tersebut. Akan tetapi keputusan konsili-konsili Gereja Katolik dan
para Paus menghentikan perdebatan dan menghapus kekhawatiran para ahli teologi
pada masa itu. Santo Agustinus dari Hippo - salah satu Bapa dan Pujangga Gereja
- pernah mengatakan begini: "Aku tidak akan meletakkan imanku pada kitab
Injil, jika bukan karena otoritas Gereja Katolik yang mengarahkan aku untuk
berbuat demikian." Bahwa keputusan Gereja Katolik untuk tetap
mempertahankan kitab-kitab Deuterokanonika dan mengabaikan Kanon Palestina,
menunjukkan bimbingan Roh Kudus yang membawa kepada segala kebenaran (Yohanes
16:13).
Ketika Gulungan-gulungan Laut Mati (Dead
Sea Scrolls) ditemukan di Qumran, tepi barat sungai Yordan pada abad ke-20 ini,
diantaranya terdapat sebagian salinan-salinan asli dalam bahasa Ibrani atas
sejumlah kitab-kitab Deuterokanonika.
Pertanyaan: Mengapa disebutkan
bahwa Deuterokanonika terdiri dari tujuh kitab sedangkan dalam Alkitab bahasa
Indonesia yang saya miliki ada sepuluh bagian dalam Deuterokanonika?
Jawaban: Tujuh kitab-kitab
tersebut adalah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1
Makabe dan 2 Makabe. Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan Daniel tentunya
dimasukkan kedalam kitab-kitab yang bersangkutan sedangkan Surat Nabi Yeremia
dimasukkan sebagai pasal 6 dari kitab Barukh. Dalam Alkitab bahasa Indonesia
terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, kitab-kitab Deuterokanonika diletakkan
ditengah, jadi tidak sesuai urutan yang semestinya.
Ini untuk memudahkan penerbit yang sama
menerbitkan Alkitab versi Protestan, yaitu tanpa Deuterokanonika. Jika anda
membeli Alkitab dalam bahasa Inggris seperti di Amerika contohnya, kitab-kitab
Deuterokanonika dimasukkan dalam urutannya yang alami. Perlu juga disebutkan
disini bahwa versi-versi Alkitab Protestan pada awalnya - seperti versi asli
King James Bible - masih memiliki Deuterokanonika di dalamnya.
Pertanyaan: Ada berapakah versi Alkitab
dalam bahasa Inggris?
Jawaban: Dalam bahasa
Inggris, ada beberapa versi Alkitab baik bagi umat Katolik maupun Protestan.
Bagi umat Katolik ada versi RSVCE (Revised Standard Version Catholic Edition)
yang dipakai sebagai terjemahan resmi. Ada NAB (New American Bible) yaitu yang
merupakan Alkitab yang populer di kalangan umat Katolik di Amerika Serikat. Ada
juga NJB (New Jerusalem Bible) yaitu Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa
Ibrani dan dipakai oleh sebagian kalangan Gereja Katolik dari ritus-ritus
Timur.
RSVCE adalah versi yang paling serupa
dengan bahasa asli kitab suci karena merupakan terjemahan kata-demi-kata.
Sedangkan NAB dan NJB serta beberapa versi lainnya merupakan terjemahan yang
sudah disesuaikan dengan pemakaian bahasa Inggris pada masa kini, jadi
penekanan pada segi arti dari kata-kata/kalimat yang dipakai pada bahasa asli
kitab suci. Beberapa versi Alkitab Protestan, diantaranya adalah: RSV (Revised
Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version),
Tyndale Bible dan Zonderfan Bible.
Untuk mengenalinya mudah saja, di dalamnya
tidak terdapat kitab-kitab Deuterokanonika. Sebetulnya ada juga yang
menyertakan kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu yang diterbitkan oleh
penerbit-penerbit sekuler seperti Oxford dan lain-lain. Namun mereka menyebut Deuterokanonika
dengan sebutan Apokrif (Apocripha). Alkitab-alkitab Katolik juga memiliki
Imprimatur dan Nihil-Obstat yang dapat anda temukan pada bagian muka dari
Alkitab tersebut.
Ini praktisnya adalah tanda bahwa buku
yang bersangkutan telah diperiksa oleh Gereja Katolik, apakah itu imam ataupun
uskup. Jika anda ingin memiliki Alkitab Katolik bahasa Inggris, silakan membeli
salah satu versi Katolik yang telah disebutkan diatas. Alkitab NAB selalu
memiliki catatan kaki yang membantu memperjelas ayat-ayat dan perikop-perikop
dalam Kitab Suci. NAB study-bible terbitan Oxford juga dilengkapi dengan
penjelasan-penjelasan sejarah PL dan PB. Harga Alkitab NAB bahasa Inggris
bervariasi sekitar US$7 sampai US$24.
Pertanyaan: Ada sementara orang yang
percaya bahwa di dalam Alkitab umat Kristiani telah terjadi salah terjemahan
yang sangat fatal: yaitu kata "Lord" dalam bahasa Inggris
diterjemahkan sebagai "Tuhan" dalam bahasa Indonesia, padahal kamus
Inggris-Indonesia menyebutkan bahwa kata "lord" mestinya diterjemahkan
sebagai "tuan", bukan "Tuhan". Dengan demikian hal ini
mendukung teori agama mereka yang mengatakan bahwa Yesus jelas bukan Tuhan dan
sekedar manusia biasa.
Jawaban: Pertama-tama perlu ditegaskan
disini, bahwa Alkitab bahasa Indonesia tidaklah diterjemahkan dari Alkitab
bahasa Inggris. Lihatlah pada bagian awal Alkitab dimana tertulis bahwa
"Teks Perjanjian Lama diterjemahkan dari Bahasa Ibrani. Teks Perjanjian
Baru diterjemahkan dari Bahasa Yunani. Teks Deuterokanonika diterjemahkan dari
Bahasa Yunani". Kedua, perlu diketahui bagi orang Indonesia yang jelas
bukan native English speaker - bahwa kata "Lord" dalam Alkitab
berarti "God" atau "Tuhan". Kata "Lord" bukan
hanya digunakan pada Yesus, tetapi juga pada Allah Bapa dalam ayat-ayat
Perjanjian Lama.