Gelar Santa “Maria Berdukacita”
diberikan kepada Bunda Maria dengan menitikberatkan pada dukacita dan
sengsaranya yang kelewat batas selama menjadi Ibunya Kristus. Menurut tradisi
Gereja, Dukacita Maria meliputi 7 peristiwa. 7 Dukacita tersebut adalah
Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir, Yesus yang masih kanak-kanak yang hilang
dan diketemukan di Bait Allah, Nubuat Simeon, Bunda Maria berjumpa dengan Yesus
dalam perjalanan-Nya menuju Kalvari, Bunda Maria berdiri di dekat kayu salib
ketika Yesus disalibkan, Bunda Maria memangku jenazah Yesus setelah Ia
diturunkan dikayu salib dan terakhir ketika Ia dimakamkan.
Setiap dukacita yang diterima oleh Bunda Maria, Ia selalu
menghadapinya dengan kepercayaan sepenuhnya kepada Allah, Ia selalu menerima
apa yang Allah kehendaki untuk terjadi dalam hidupnya Bunda Maria. “Jadilah
padaku menurut kehendak-Mu.” Itulah kata-kata yang sangat menyentuh (bahkan
saya sendiri), kata-kata yang menyerahkan segala-galanya pada kehendak Allah,
kata-kata yang percaya bahwa kehendak Allah-lah yang paling sempurna. Apakah
kita sebagai umat beriman sudah menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada kehendak
Allah atau malah sebaliknya, seperti seorang yang berpegang pada rumput saat
terjadi bencana Tsunami?
Peringatan Santa Perawan Maria
Berdukacita mulai ada sejak abad keduabelas. Pada abad keempat belas dan
kelimabelas, peringatan ini mulai tersebar luar di kalangan umat beriman. Pada
tahun 1727, Paus Benediktus XIII memasukkan peringatan Santa Perawan Maria
Berdukacita pada penanggalan Gereja Katolik, yang jatuh pada Jumat
sebelum Minggu Palma.
Namun peringatan ini kemudian
ditiadakan dengan pengubahan penanggakan yang diterbitkan dalam Missale Romawi
pada tahun 1969. Pada tahun 1814, guna menghormati Tujuh Dukacita Maria maka
Paus Pius X menetapkan tanggal yang permanen, yaitu tanggal 15 September
sebagai hari umat beriman untuk merayakan hari Santa Perawan Maria Berdukacita.
Dominus Illuminatio Mea!