Istilah “Tertidurnya Maria” (bahasa Latin “dormire” artinya tidur) dapat menyesatkan sebab seolah lebih terfokus pada wafat dan pemakaman Bunda Maria. Keyakinan seputar tertidurnya Maria pada hakekatnya berhubungan dengan diangkatnya Santa Perawan Maria, badan dan jiwa, ke surga. Dengan jawaban pendahuluan seperti di atas, kita perlu meninjau kembali Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga dan bagaimana dogma ini berhubungan dengan “Tertidurnya Maria”.
Memang, peristiwa Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga tidak dicatat dalam
Kitab Suci. Sebab itu, banyak kaum fundamentalis yang menafsirkan Kitab Suci
secara harafiah akan mengalami kesulitan dalam memahami keyakinan ini. Namun
demikian, pertama-tama kita patut berdiam diri dan merenungkan peran Bunda
Maria dalam misteri keselamatan, sebab inilah yang menjadi dasar dari keyakinan
Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Kita percaya teguh bahwa sejak dari awal mula perkandungannya, karena kasih
karunia istimewa dari Allah Yang Mahakuasa, Maria bebas dari segala noda dosa,
termasuk dosa asal. Malaikat Agung St Gabriel mengenali Maria sebagai “penuh
rahmat,” “terpuji di antara perempuan,” dan “bersatu dengan Tuhan.” Maria telah
dipilih untuk menjadi Bunda Juruselamat kita. Dari kuasa Roh Kudus, ia
mengandung Tuhan kita, Yesus Kristus, dan melalui dia, sungguh Allah menjadi
juga sungguh manusia, “Sabda itu telah menjadi manusia, dan diam di
antara kita” (Yoh 1:14).
Sepanjang masa hidupnya, walau catatan dalam Injil amat terbatas, Maria
senantiasa menghadirkan Tuhan kita kepada yang lain: kepada Elisabet dan
puteranya, Yohanes Pembaptis, yang melonjak kegirangan dalam rahim ibundanya
atas kehadiran Tuhan yang masih berada dalam rahim BundaNya; kepada para
gembala yang sederhana dan juga kepada para majus yang bijaksana; pula kepada
warga Kana ketika Tuhan kita meluluskan kehendak BundaNya dan melakukan
mukjizat-Nya yang pertama. Terlebih lagi, Maria berdiri di kaki salib bersama
Putranya, memberi-Nya dukungan dan berbagi penderitaan dengan-Nya lewat
kasihnya seperti yang hanya dapat diberikan oleh seorang ibunda. Dan akhirnya,
Maria ada bersama para rasul pada hari Pentakosta ketika Roh Kudus turun dan
Gereja dilahirkan. Sebab itu, masing-masing dari kita dapat melihat serta
merenungkan Maria sebagai hamba Allah yang setia, yang ikut ambil bagian secara
intim dalam kelahiran, kehidupan, wafat dan kebangkitan Tuhan kita.
Karena alasan-alasan ini, kita percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan
kepada setiap kita akan keikutsertaan dalam hidup yang kekal, termasuk
kebangkitan badan, digenapi dalam diri Maria. Sebab Maria bebas diri dosa asal
dan segala konsekuensinya (salah satunya adalah kerusakan badan setelah
kematian), sebab ia ikut ambil bagian secara intim dalam hidup Tuhan dan dalam
sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dan sebab ia ada saat Pentakosta, maka
model dari pengikut Kristus ini sungguh pantas ikut ambil bagian dalam
kebangkitan badan dan kemuliaan Tuhan di akhir hidupnya.
Berdasarkan pemahaman ini, Paus Pius XII dengan khidmad memaklumkan dalam
Munificentissimus Deus tanggal 1 November 1950, bahwa “Bunda Allah yang Tak
Bernoda Dosa, Maria yang tetap perawan selamanya, sesudah menyelesaikan
perjalanan hidupnya di dunia, diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta
badan dan jiwanya.” Patut dicatat bahwa definisi khidmad tersebut tidak
menjelaskan apakah Maria wafat secara fisik sebelum diangkat ke surga atau
langsung diangkat ke surga; hanya dikatakan, “Maria, sesudah menyelesaikan
perjalanan hidupnya di dunia ….”
Jadi apakah Bunda Maria wafat terlebih dahulu sebelum diangkat ke surga?
Apakah ia “tertidur”? Apakah ia dimakamkan? Gereja tidak mengikat kita pada
suatu jawab tertentu sebab tradisi mengenainya kurang jelas. Dalam suatu
kumpulan kisah apokrif berjudul Transitus Mariae (Perjalanan Maria), yang
dianggap sebagai tulisan Uskup St. Melito dari Sardis (wafat ±thn 200), Bunda
Maria wafat dihadapan para rasul di Yerusalem, dan kemudian menurut kisah tersebut,
tubuhnya menghilang begitu saja, atau dimakamkan dan kemudian menghilang.
St Yohanes Damaskus (wafat 749) juga menuliskan suatu kisah yang menarik
sehubungan dengan SP Maria Diangkat ke Surga, “St Juvenal, Uskup Yerusalem,
dalam Konsili Kalsedon (451), memberitahukan kepada Kaisar Marcian dan
Pulcheria, yang ingin memiliki tubuh Bunda Allah, bahwa Maria wafat di hadapan
segenap para rasul, tetapi bahwa makamnya, ketika dibuka atas permintaan St
Thomas, didapati kosong; dari situlah para rasul berkesimpulan bahwa tubuhnya
telah diangkat ke surga.”
Namun demikian, kisah-kisah ini janganlah lebih diutamakan dari dasar
teologis mengenai keyakinan kita akan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Sebaliknya, patutlah kita ingat bahwa para Bapa Gereja membela dogma SP Maria
Diangkat ke Surga dengan dua alasan: Sebab Maria bebas dari noda dosa dan tetap
perawan selamanya, ia tidak mengalami kerusakan badan, yang adalah akibat dari
dosa asal, setelah wafatnya. Juga, jika Maria mengandung Kristus dan memainkan
peran yang akrab mesra sebagai BundaNya dalam penebusan manusia, maka pastilah
juga ia ikut ambil bagian badan dan jiwa dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya.
Namun demikian, kisah-kisah saleh mempopulerkan istilah “tertidur,”
merenungkan bahwa Maria di akhir hidupnya “tertidur” dan kemudian diangkat ke dalam
kemuliaan surga. Kaisar Byzantine Mauritius (582-602) menetapkan perayaan
Tertidurnya Santa Perawan Maria pada tanggal 15 Agustus bagi Gereja Timur demi
memperingati wafat dan diangkatnya Santa Perawan Maria ke surga. (Sebagian ahli
sejarah menyatakan bahwa perayaan ini telah tersebar luas sebelum Konsili
Efesus pada tahun 431.) Pada akhir abad keenam, Gereja Barat juga merayakannya
dengan nama SP Maria Diangkat ke Surga.
Entah kita mempergunakan istilah “tertidur” atau “diangkat ke surga,”
keyakinan dasarnya tetap sama. Katekismus, dengan mengutip Liturgi Byzantine,
memaklumkan, “Terangkatnya Perawan tersuci adalah satu keikutsertaan yang
istimewa pada kebangkitan Putranya dan satu antisipasi dari kebangkitan
warga-warga Kristen yang lain. `Pada waktu persalinan engkau tetap
mempertahankan keperawananmu, pada waktu meninggal, engkau tidak meninggalkan
dunia ini, ya Bunda Allah. Engkau telah kembali ke sumber kehidupan, engkau
yang telah menerima Allah yang hidup dan yang akan membebaskan jiwa-jiwa kami
dari kematian dengan doa-doamu'” (No 966).
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga memberikan kepada
masing-masing kita pengharapan besar sementara kita merenungkan satu sisi ini
dari Bunda Maria. Maria menggerakkan kita dengan teladan dan doa agar bertumbuh
dalam rahmat Tuhan, agar berserah pada kehendak-Nya, agar mengubah hidup kita
melalui kurban dan penitensi, dan mencari persatuan abadi dalam kerajaan surga.
Pada tahun 1973, Konferensi Waligereja Katolik dalam surat “Lihatlah Bundamu”
memaklumkan, “Kristus telah bangkit dari mati; kita tidak membutuhkan kepastian
lebih lanjut akan iman kita ini. Maria diangkat ke surga lebih merupakan suatu
pengingat bagi Gereja bahwa Tuhan kita menghendaki agar mereka semua yang telah
diberikan Bapa kepada-Nya dibangkitkan bersama-Nya. Dalam Maria diangkat ke
dalam kemuliaan, ke dalam persatuan dengan Kristus, Gereja melihat dirinya
menjawab undangan dari Mempelai surgawi.” (Yesaya)