Tindakan indrawi sebagai simbol-simbol liturgi mencakup: mendengarkan,
melihat, menyentuh, merasakan dan membau.
a. Mendengarkan
Mendengarkan bukanlah sekadar tindakan reseptif, yang hanya menerima
saja; melainkan juga tindakan aktif. Sebab jika kita mendengarkan, kita
sebenarnya sedang membuka diri untuk menerima dengan sadar sapaan, suara, atau
kata-kata dari luar diri kita. Tindakan mendengarkan juga tindakan aktif untuk
memberi perhatian dan mau masuk ke dalam diri pribadi si pembicara serta dengan
sadar mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu.
Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, bel dan sebagainya. Secara khusus, dengan mendengarkan sabda Tuhan, kita membuka diri terhadap sapaan dan daya kuasa Allah yang hadir melalui sabda itu dan dengan demikian kita mengambil bagian di dalam karya keselamatan Allah yang dihadirkan dalam sabda itu. Maka, mendengarkan merupakan bentuk ungkapan liturgi yang menyatakan kesiapsediaan iman dan ketaatan.
b. Melihat
Melihat merupakan bentuk ungkapan liturgi untuk melihat kemuliaan Allah.
Sebab dalam wajah Kristus, kita dapat melihat kemuliaan Allah (2 Kor
4:6). Melalui penglihatan mata, kita menyadari dunia dan isinya dan kita pun
menjalin relasi dengan sesama manusia dan dunia. Demikian pula dengan
penglihatan mata dalam liturgi, kita menyadari komunikasi Allah yang terpantul
melalui berbagai simbol liturgi dan dengan demikian menjalin relasi kita dengan
Allah dan sesama jemaat. Berbagai dekorasi indah di dalam gedung gereja,
khususnya di sekitar altar, salah satunya untuk menghadirkan kemuliaan Allah
dengan melihat keindahan bunga yang dirangkai di sekitar altar, kita melihat
kemuliaan Allah sendiri.
c. Menyentuh
Liturgi juga menggunakan indra sentuhan sebagai simbol liturgi. Tindakan
menyentuh dalam liturgi mengungkapkan persekutuan kita dengan Allah dan sesama
umat beriman di dalam ikatan Roh Kudus. Misalnya, doa-doa Mazmur banyak
menyebut aspek sentuhan ini untuk mengungkapkan iman akan kebersamaan umat
dengan Allah (mis Mzm 139:10). Dalam Perjanjian Baru, Yesus berkali-kali
menunjukkan kasih-Nya dengan memeluk anak-anak, membasuh kaki para murid, dan
menyembuhkan orang-orang sakit dengan sentuhan tangan-Nya.
Dalam Liturgi, tindakan sentuhan juga kita lakukan pada saat penerimaan komuni, salam damai entah dengan berciuman pipi entah berjabat tangan, mencium altar atau Injil (oleh Imam) dan mencium salib pada hari Jumat Agung. Sentuhan juga melambangkan penganugerahan Roh Kudus kepada umat beriman. Dalam liturgi ini, tampak misalnya pada saat penumpangan tangan (Tahbisan), pengurapan dengan minyak (Krisma, Orang Sakit).
d. Merasakan
Indra Perasa juga digunakan dalam liturgi Perayaan Ekaristi merupakan
perayaan persekutuan kita dengan Tuhan yang tidak hanya terjadi secara rohani
belaka, melainkan juga menggunakan aspek “fisik”. Pada Perayaan Ekaristi, kita
menyantap, mencecap, dan merasakan tubuh dan darah Kristus dengan lidah. Dalam
Kitab Suci pengalaman akan Allah sering digambarkan dengan ide pencecapan dan
rasa ini: “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu” (Mzm 34:9; bdk. 1 Pet
2:2-3; Ibr 6:4-5). Demikian pula keselamatan eskatologis dilukiskan sebagai
suatu perjamuan meriah dengan makan dan minuman yang lezat dan sangat enak.
(bdk Yes 25:6-7; Luk 14:15-24)
e. Membau
Indra Penciuman atau membau juga digunakan dalam Liturgi. Penggunaan
dupa dan ratus yang wangi, bau minyak wangi dalam liturgi inisiasi dan tahbisan
merupakan contoh-contoh konkret. Wangi-wangian dan bau harum yang bisa dibau
itu memang sudah merupakan simbol religius yang umum. Dalam agama lain, kita
mengenal hio dan menyan dengan baunya yang khas. Dalam liturgi Kristen,
keharuman merupakan ungkapan pewahyuan Allah dan kehadiran keselamatan sendiri:
“Dengan perantaraan kami, Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di
mana-mana” (2 Kor 2:14). Keharuman juga merupakan simbol ungkapan pujian hormat
dan kurban (Mzm 141:2) sebab persembahan kurban Kristus merupakan “kurban yang
harum bagi Allah.” (Ef 5:2)
Sumber: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi oleh RD. Emanuel
Martasudjita hlm. 133-135