Rendahnya citarasa
kekudusan dan kesakralan terhadap perayaan Liturgi didalam diri umat
teristimewa kaum muda Katolik bersama dengan pastor-pastornya, itulah badai
yang saat ini dihadapi oleh Gereja. Di masa kini, tidak sedikit umat Katolik
memandang Liturgi sebagai sebuah ritual dan rutinitas belaka. Liturgi yang
dirayakan dengan baik, indah dan taat pada peraturan Liturgi menjadi suatu hal
yang mulai lenyap di masa kini, dimana Liturgi bagi beberapa umat Katolik,
kelompok kategorial dan Imam-imam tertentu merupakan sesuatu yang kering dan
bahkan membosankan. Tak sedikit, oknum-oknum yang mulai berpikir untuk
mengimprovisasi perayaan Liturgi yang
seperti itu saja dengan mengajukan laporan-laporan entah dalam hal
lagu-lagu profan yang akan dinyanyikan, menyisipkan drama, band, berbagai
ekspresi budaya popular lainnya terhadap Imam-imam tertentu (yang tidak pernah
membaca PUMR atau bahkan tidak memiliki keinginan sama sekali untuk mempelajari
tata tertib Liturgi), hanya demi menarik perhatian dan partisipasi umat untuk
hadir dalam Perayaan Ekaristi.
Perayaan Ekaristi
didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan umat. Perayaan Ekaristi
ini biasa dikenal dengan Ekaristi Orang Muda. Sayangnya, ekspresi yang
berlebihan terhadap Liturgi dengan menambahkan hal-hal profan kedalam Misa
Kudus, justru menurunkan mutu dari Liturgi itu sendiri. Dengan mengikuti metode
ini, Liturgi tidak mampu mengungkapkan secara intrinsik dan entrinsik makna
dari Liturgi itu sendiri. Yang terjadi adalah pementasan hal-hal profan dan
bukan kesakralan Perayaan Liturgi. Keliaran
kreativitas dan inovasi dalam Perayaan Ekaristi Orang Muda ini apabila kita
melihat kepada pedoman-pedoman Liturgi yang ada, hal-hal tersebut jelas
merupakan pelanggaran Liturgi.
Liturgi seolah-olah diperkosa oleh kaum muda bersama dengan pastor-pastornya. Liturgi dijadikan
sebagai wadah penampung kreativitas kaum muda. Pernah suatu kali, beberapa
orang berargumen bahwa permasalahan ini timbul setelah Konsili Vatikan II, sehingga
Konsili Vatikan II dianggap sebagai ‘biang keladinya’ pelanggaran Liturgi di
masa kini. Kardinal Burke, Hakim
Tertinggi Takhta Suci dalam topi “Hukum Liturgi dalam Misi-Misi Gereja” dalam
Konferensi Sacra Liturgia 2013 yang lalu menjelaskan bahwa ‘setelah
Konsili Vatikan II, tetapi dipastikan bukan karena pengajaran Konsili Vatikan
II yang salah, terjadi banyak pelanggaran dalam merayakan Liturgi Kudus
diberbagai tempat’. (Silahkan klik link “Kutipan Konferensi Sacra Liturgia” untuk
membaca berbagai kutipan dari pembicara-pembicara yang kredibel pada masalah
pelanggaran Liturgi).
Dari pernyataan diatas,
dapat diklarifikasi bahwa pelanggaran Liturgi muncul bukan karena Konsili
Vatikan II, namun karena kurangnya katekese yang tepat terhadap Liturgi. Namun toh katekese yang setiap kali dibacakan
sebelum Misa seperti angin lalu begitu saja, masih ada beberapa pelanggaran
Liturgi yang terjadi di beberapa paroki. Sebagai seorang muda Katolik, saya
melihat bahwa citarasa akan kekudusan dan kekhusukan dalam Perayaan Ekaristi
sudah mulai menghilang dan digantikan dengan hal-hal yang bebas dan meriah yang
sangat disenangi oleh kaum muda. Sehingga Perayaan Ekaristi-lah yang dijadikan
objek untuk pemenuhan selera ini. Padahal Misa Kudus berpusat sepenuhnya kepada
Kristus dan bukan kepada nafsu kaum muda dan kelompok kategorial tertentu. Apakah
dengan ini Gereja memalingkan wajahnya dari kaum muda? Sama sekali tidak. Uskup
Agung Rino Fisichella (Presiden Dewan Kepausan untuk promosi Evangelisasi Baru)
berkata bahwa Gereja harus mempelari bahasa kaum muda. “Seseorang tidak dapat berbicara
kepada orang-orang muda Kristus tanpa berbicara mengenai kebebasan kaum muda
sekrang yang telah ditempatkan dalam budaya mereka, tetapi kebebasan haruslah
selalu dalam hubungan dengan kebenaran karena kebenaranlah yang menghasilkan
kebebasan.”
Tak dapat dipungkiri bahwa kebebasan telah menjadi bagian
utuh dari orang muda Katolik sekarang ini. Gereja telah mempelajari ini dan
menetapkan Evangelisasi Baru (New Evangelization) yang secara umum dimaksudkan
untuk memperbaharui kembali Iman Kristiani yang sudah pernah umat Katolik
terima. Kebebasan yang ada bukanlah kebebasan mutlak, kebebasan ada batasnya terutama
dalam Misa Kudus. Sekarang, orang muda Katolik tidak dapat semena-mena menuntut
Gereja untuk mempelajari budaya kaum muda namun dengan sadar bertanya, “Apakah
saya sendiri sudah menaati, apa yang dituntut oleh Gereja kepada saya?”
Liturgi begitu istimewa
karena umat Allah mengalami perjumpaan dengan Kristus. Paus Yohanes Paulus II menjelaskan 4 poin penting dalam Liturgi.
1. Kristus hadir dalam
Gereja yang berkumpul dan berdoa dalam Nama-Nya.
2. Kristus hadir dan
bertindak dalam pribadi para pelayan tertahbis yang merayakan Liturgi. Imam oleh
karena tahbisannya bertindak sebagai Kristus sendiri (in persona Christi).
3. Kristus hadir dalam
sabda-Nya yang dibacakan, yang dijelaskan dalam homili.
4. Kristus hadir dan
bertindak oleh kuasa Roh Kudus dalam Sakramen-sakramen Gereja dan dalam cara
yang khas, Ia hadir dan bertindak dalam Perayaan Ekaristi dalam rupa roti dan
anggur yang dikonsekrasi.
Dari keempat poin
diatas, saya ingin membahas poin kedua. Dalam poin tersebut dituliskan bahwa
Imam memiliki peranan penting dalam Perayaan Ekaristi. Namun bagaimana apabila
Imam yang juga memiliki peranan penting sebagai penjaga Liturgi malah
membiarkan “musuh” masuk ke dalam. Seharusnya Uskup bersama para Imam lebih
tegas terhadap Liturgi dan bukan malah berbalik mendukung terjadinya
pelanggaran Liturgi. Uskup Peter Elliott
(Uskup Auksilier Melbourne) mengatakan "Selebran seharusnya tidak pernah
mempunyai ide bahwa suara-suara atau musik-musik yang tidak berguna mesti hadir
dalam sebuah liturgi atau umat akan menjadi bosan ketika menghadirinya. Nah,
pada saat ide itu ada maka label jahat dari "penampilan atau
pertunjukkan" mulai mengambil alih." Maka baik kaum tertahbis
(Uskup dan Imam) dan kaum muda Katolik tak memiliki hak untuk mengubah Perayaan
Ekaristi seturut selera pribadi. Salah kutipan penting dalam Homili Nuncio
Vatikan untuk Indonesia, Uskup Agung
Filipazzi yaitu: “Secara khusus, para Uskup dan Imam, yakni
para pelayan Liturgi Suci, bukan pemilik Liturgi, maka mereka tidak boleh
mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri Liturgi di setiap
Gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan Liturgi dalam kesatuan
dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh
Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus
Petrus dan dipimpin oleh para Uskup.”
Dan juga Mgr. Ignacio Barreiro Carambula (Kepala
Organisasi Internasional Hak dan Martabat Kehidupan Manusia) mengatakan "Manusia
yang tidak menyembah Allah secara benar dalam Liturgi tidak menghargai
nilai-nilai penting yang Allah berikan secara cuma-cuma yaitu Kehidupan."
Liturgi adalah kehidupan inti Gereja, Allah mengaruniakan Liturgi kepada
Gereja, sebagai tanda kasih Allah yang menyelamatkan. Dengan merenungkan
kutipan dan Mgr. Ignacio Barreiro Carambula, mari kita memohon rahmat dari
Allah agar kita mampu disadari akan pentingnya Liturgi didalam Gereja.
Dominus illuminatio
mea!
Katolisitas Indonesia, Orang Muda Katolik dengan Spiritualitas Karmel dari Keuskupan Banjarmasin.
Katolisitas Indonesia, Orang Muda Katolik dengan Spiritualitas Karmel dari Keuskupan Banjarmasin.