Tradisi Gereja Katolik berdevosi pada para kudus sudah
berlangsung sejak Gereja Perdana. Pada awalnya, penghormatan dilakukan bagia
para martir, orang yang wafat demi iman akan Kristus. Sejak abad ke IV, kultus
devosi itu berkembang. Gereja tak hanya menghormati para martir, melainkan juga
orang yang selama hidupnya menghayati keutamaan iman kristiani secara total dan
menjadi teladan umat beriman (pengaku iman).
St. Ulrich |
Pengakuan kekudusan seseorang ini pada mulanya hanya
membutuhkan persetujuan Uskup setempat, dan diprioritaskan bagi martir. Uskup
setempat membentuk komisi khusus untuk mengumpulkan data dan menelitui dalam
proses penggelaran kudus. Usai prose situ, Uskup merestui dan mengumumkan
penghormatan secara resmi dan umum pada umat. Dalam perkembangannya. Penggelaran
kudus akhirnya menjadi hak Takhta Suci. Secara resmi kanonisasi pertama dalam
sejarah terjadi pada zaman Paus Yohanes XV (985-996) dalam Sinode Lateran 31
Januari 993. Kala itu, Uskup Agung Augsburg Jerman, Mgr Ulrich (890-973)
dinobatkan sebagai Santo dengan Bulla
yang dipromulgasikan pada 3 Februari 993.
Hak penggelaran kudus Takhta Suci itu dilanjutkan oleh Paus Urbanus II (1088-1099), Calixtus II (1119-1124), dan Eugenius III ( 1145-1153). Meski demikian, masih banyak para Uskup yang melakukan proses penggelaran kudus. Hingga tahun 1171, Paus Alexander III (1159-1181) menetapkan hak prerogative Takhta Suci dalam penggelaran kudus dan menegor para Uskup yang masih memperaktikannya. Tahun 1200, keputusan Alexander III ini disempurnakan Paus Innosensius III (1198-1216). Pada 22 Januari 1588, Paus Sixtus V (1585-1590) mendirikan 15 kongregasi Kuria Roma dengan Bulla Immensa Aeterni Dei. Salah satunya ialah Kongregasi untuk Ritus dan Perayaan yang menangani tentang ritus, Liturgi, perayaan Sakramen, dan juga proses beatifikasi dan kanonisasi. Tak pelak, banyak Uskup masih melakukan proses beatifikasi.
Akhirnya, Paus Urbanus VIII (1623-1644) mempromulgasikan Bulla pada 1634, yang mengatur hak
istimewa untuk penggelaran kudus. Semua Uskup, kecuali Uskup Roma, dilarang
melakukan beatifikasi dan kanosasi. Aturan tentang proses beatifikasi dan
kanonisasi sudah mendekati seperti sekarang pada awal abad XX, masa kepausan
Pius X (1903-1914) dan Benediktus XV (1914-1922). Melalui Konstitusi Apostolik Sacra Rituum Congregatio pada 8 Mei
1969, Paus Paulus VI (1963-1978) membagi Kongregasi untuk Ritus dan Perayaan
menjadi dua Kongregasi, yakni: Kongregasi Liturgi Suci dan Disiplin Sakramen
dengan Kongregasi Penggelaran Kudus. Kongregasi Penggelaran Kudus pun berdiri
sendiri dengan merevisi struktur warisan Paus Pius XI (1922-1939) sejak 6
Februari 1930. Reformasi besar-besaran tentanng proses beatifikasi dan
kanonisasi baru terjadi pada zaman Paus Yohanes Paulus II (1978-2005). Ia
mempromulgasikan Konstitusi Apostolik Divinus
Perfectionis Magister pada 25 Januari 1983. Atas restu Bapa Suci, Prefek
Kongregasi Penggelaran Kudus menerbitkan Norma Dasar bagi para Uskup tentang
Proses Penggelaran Kudus (Normae
servandae in inquisitionibus ab episcopius faciendis in causi sanctorum)
pada 7 Februari 1983.
Kardinal Angelo Amato |
Dokumen terakhir yang secara signifikan menjadi rujukan
untuk Proses Penggelaran Kudus ialah Sanctorum
Mater, instruksi tentang prosedur dan tata cara penggelaran kudus. Dokumen
ini diterbitkan oleh Kongregasi Penggelaran Kudus pasca direstui Benediktus XVI
pada 23 Februari 2007. Mulai saat itu, perayaan beatifikasi tidak harus digelar
di Basilika St. Petrus Vatikan, tapi bisa dirayakan di daerah asal yang
dibeatifikasi. Kini Prefek Kongregasi Penggelaran kudus diampu oleh Kardinal
Angelo Amato SDB, dengan Sekretaris Pastor Marcello Bartolucci dan Sekretaris
Ekesekutif Mgr Boguslaw Turek, yang dibantu 23 staf. Anggota Kongregasi ini
berjumlah 34 orang (kardinal dan uskup) dan seorang Teolog Prelatus, dilengkapi
dengan lima relator dan 83 konsultar dari pelbagai disiplin ilmu - disadur oleh Katolisitas Indonesia dari Majalah Hidup edisi 34.