Berikut sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Pater
Vittorio Peturzzi, vikaris paroki di Aprilia dari Keuskupan Albano kepada Paus
Em. Benediktus XVI, sewaktu ia menjabat sebagai seorang Paus.
Yang mulia, untuk tahun pastoral yang tidak lama
lagi akan dimulai, keuskupan kami diminta oleh Uskup untuk member perhatian
khusus pada Liturgi, dalam hal dimensi teologis dan praktik perayaan. Tema sentral
untuk refleksi pada minggu-minggu tenang yang akan dilaksanakan pada bulan
September adalah: “Rencana dan implementasi pewartaan dalam tahun Liturgi,
dalam Sakramen-sakramen, dan dalam sakramentali.” Sebagai imam, kami dipanggil
untuk merayakan “liturgi yang serius, sederhana dan indah,” meminjam rumusan
yang indah yang ada dalam dokumen “Mengomunikasikan Injil dalam Dunia Yang
berubah” oleh para Uskup Italia. Bapa suci, dapatkah Anda membantu kami
memahami bagaimana semua ini dapat diungkapkan dalam “ars celebrandi”?
ARS CELEBRANDI: Disini saya juga ingin mengatakan
bahwa terdapat dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi pertama adalah celebratio, yaitu doa dan percakapan
dengan Tuhan: Tuhan bersama kita dan kita bersama Tuhan. Maka persyaratan
pertama untuk perayaan yang baik adalah imam benar-benar masuk dalam
percakapan. Dalam mewartakan Sabda itu, ia sendiri merasakan sedang
bercakap-cakap dengan Tuhan, Ia adalah pendengar Sabda dan pengkhotbah Sabda,
dalam arti bahwa ia sendiri membuat dirinya sebagai alat Tuhan dan berusaha
untuk memahami Sabda Tuhan ini yang kemudian harus ia sampaikan kepada umat. Ia
berada dalam percakapan dengan Tuhan karena teks dari Misa Kudus bukanlah
naskah drama atau semacam itu, tetapi doa-doa, ucapan syukur bersama dengan
umat, yang kita sampaikan kepada Tuhan.
Oleh karena itu, penting untuk masuk dalam
percakapan itu. St. Benediktus dalam “Peraturan"nya mengatakan kepada para
rahib, ketika berbicara tentang pendarasan Mazmur, “Mens corcodat voci.” Vox kata-kata,
sebelumnya memenuhi pikiran kita. Masalahnya tidak selalu demikian: Orang harus
berpikir kemudian pikiran itu akan menjadi kata-kata. Tetapi disini, perkataan
datang lebih dahulu. Liturgi yang kudus memberikan kepada kita
perkataan-perkataan itu; kita harus masuk ke dalam perkataan itu, menemukan
suatu keselarasan dengan realitas ini yang mendahului kita.
Ditambah lagi, kita juga harus belajar memahami
struktur Liturgi dan mengapa struktur itu disusun seperti itu. Liturgi itu dibangun dalam dua millennium dan
bahkan setelah reformasi, bukan sesuatu yang disusun oleh hanya beberapa ahli
Liturgi. Liturgi tetap merupakan kesinambungan dari penyembahan dan
pewartaan yang sedang berjalan.
Maka, agar dapat serasi, sangat pentinglah memahami
struktur Liturgi yang telah dibangun selama sekian waktu dan masuk dengan
pikiran kita kedalam suara Gereja. Ketika kita sudah menghayati dan memahami
struktur ini, memadukan kata-kata Liturgi, kita dapat masuk ke dalam kedalaman
dari keserasian ini dan dengan demikian tidak hanya berbicara kepada Tuhan
sebagai individu, tetapi masuk kedalam “kekitaan” Gereja, yaitu berdoa. Dan
dengan demikian, kita mengubah “keakuan” kita dengan cara ini, dengan masuk
kedalam “kekitaan” Gereja, dengan memperkaya dan memperluas “keakuan” ini,
dengan berdoa bersama Gereja, dengan kata-kata Gereja, kita benar-benar berada
dalam percakapan dengan Allah.
Inilah syarat pertama: Kita sendiri harus menghayati
struktur, kata-kata Liturgi, dan Sabda Tuhan. Maka, perayaan kita benar-benar
menjadi sebuah perayaan “bersama” Gereja: Hati kita diperluas, dan kita tidak
melakukan apa pun kecuali melakukannya “bersama” Gereja, dalam percakapan
dengan Tuhan. Menurut pendapat saya umat benar-benar merasakan bahwa kita
bercakap-cakap dengan Tuhan, dengan mereka, dan dalam doa yang sama ini kita
menarik orang lain, dalam persekutuan dengan anak-anak Allah kita menari orang
lain, atau jika tidak, kita hanya melakukan sesuatu yang dangkal.
Maka, unsur yang fundamental dari ars celebrandi yang benar adalah
keserasian ini, keselarasan antara apa yang kita katakan oleh bibir kita dan
apa yang kita pikirkan dalam hati kita. “Sursum
corda, “ , sebuah kata dari Liturgi yang sangat kuno, harus ada sebelum
Prefasi, sebelum Liturgi, sebagai “jalan” untuk percakapan kita kepada Tuhan,
bukan hanya sebagai respon ritual tetapi sebagai ungkapan hati yang diarahkan,
dan juga mengarahkan hati orang-orang lain.
Dengan kata lain, ars celebrandi tidak dimaksudkan sebagai sebuah undangan untuk
bermain drama atau pertunjukkan, melainkan dimaksudkan untuk sebuah kedalaman
jiwa yang membuat kedalaman itu sendiri dirasakan dan diterima dan jelas bagi
umat yang ikut ambil bagian. Hanya jika mereka memahami bahwa ini bukanlah ars (seni) yang diluarnya saja atau ars
(seni) yang spektakular – kita bukan para aktor! – tetapi ungkapn
perjalanan hati kita yang menarik hati mereka juga, maka Liturgi akan menjadi
lebih indah, Liturgi akan menjadi persekutuan semua umat yang hadir dengan
Tuhan.
Tentu, hal-hal yang eksternal harus juga
diasosiasikan dengan kondisi fundamental ini, yang diungkapkan dalam kata-kata
St. Benediktus: “Mens concordat voci”
– hati benar-benar diarahkan, diarahkan kepada Tuhan. Kita harus belajar untuk
mengatakan kata-kata itu dengan benar.
Kadang-kadang, ketika saya masih seorang guru di Negara
saya, anak-anak muda membaca Kitab Suci. Mereka membacanya seperti orang
membaca teks puisi yang tidak dimengerti. Tentu saja, untuk belajar mengatakan
kata-kata dengan benar, seseorang pertama-tama harus memahami teks itu dengan
dramanya, dengan kesegarannya. Hal ini berlaku juga untuk Prefasi dan Doa
Syukur Agung.
Sulit bagi orang-orang beriman mengikuti sebuah teks
sepanjang Doa Syukur Agung kita. Untuk alasan ini “penemuan-penemuan” baru
secara terus menerus muncul. Namun demikian, Doa-doa Syukur Agung yang terus-menerus
baru tidaklah menyelesaikan masalah itu. Masalahnya adalah bahwa inilah saat
untuk mengajak umat berdiam diri bersama Tuhan dan berdoa bersama Tuhan. Oleh karena
itu, akan menjadi lebih baik jika Doa Syukur Agung diucapkan dengan baik dan
dengan benar berhenti sejenak untuk hening, dan jika diucapkan dengan kedalaman
iman dan juga dengan seni berbicara
Pada saat Doa Syukur Agung diucapkan harus ada waktu
khusus untuk konsentrasi, dan harus diucapkan sedemikian rupa, sehingga umat
dapat turun terlibat. Saya pecaya kita juga harus menemukan
kesempatan-kesempatan dalam katekese, homili, dan suasana-suasana lain untuk
menjelaskan Doa Syukur Agung ini dengan baik kepada Umat Allah sehingga mereka
dapat mengikuti saat-saat yang penting itu – kata-kata konsekrasi, doa untuk
mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal, ucapan syukur kepada Tuhan,
dan epiclesis – jika komunitas benar-benar
dilibatkan dalam Doa ini.
Maka, kata-kata itu harus diucapkan dengan pantas.
Kemudian harus ada persiapan yang cukup. Para pelayan Altar harus tahu apa yang
dilakukan; para lektor harus benar-benar pembaca yang berpengalaman. Kemudian
koor, harus berlatih lagu-lagu yang akan dinyanyikan: Dan Altar harus dihias
dengan benar. Semua ini, meskipun hanya hal-hal yang praktis, adalah bagian
dari ars celebrandi.
Kesimpulan-kesimpulannya, unsure fundamentalnya
adalah seni memasuki persekutuan dengan Tuhan, yang kita persiapkan sebagai
imam sepanjang hidup kita.
Catatan:
Sursum
coda, secara harfiah “naikkan hati,” atau seperti yang kadang-kadang dikatakan “arahkan
hatimu.” Ini adalah ajakan imam pada waktu pembukaan Doa Syukur Agung dalam Misa
Kudus. “Dialog” di awal pembukaaan tetap sama sejak abad-abad awal Gereja.
Disadur oleh Katolisitas Indonesia dari Paus
Menjawab hal 91-96.