Misa Latin Tradisional/Usus Antiquor/Tridentina |
Pelanggaran Liturgi, sesuatu yang tak luput
dibicarakan oleh umat beriman di masa sekarang yang sekaligus tantangan bagi
Gereja Katolik sendiri dalam mengendalikan bahtera Liturgi. Ketika anak muda
memandang Ekaristi sebagai rutinitas yang perlu dilakukan pada hari minggu,
bahkan tak jarang pula ditemukan anak muda yang memandang Perayaan Ekaristi
sebagai kepunyaan mereka yang telah kering dan harus di renovasi.
Sehingga munculah istilah “Improvisasi Liturgi dan Inkulturasi Liturgi yang kebablasan”, sebuah kegiatan memasukkan hal-hal profan dan asing dalam Perayaan Ekaristi yang kudus dan baku oleh kaum muda bersama dengan pastor yang tidak pernah ‘membaca’ literatur Liturgi Gereja dan didukung oleh kehendak kelompok kategorial yang mengingini agar Liturgi Gereja juga menampung budaya setempat. Sehingga Perayaan Ekaristi berubah orientasi, yang pada awalnya berpusat pada Kristus malah berubah menjadi tempat unjuk bakat dan penampung selera umat dan berakibat fatal dengan melecehkan nilai-nilai kekudusan yang terkandung dalam Perayaan Ekaristi.
Sehingga munculah istilah “Improvisasi Liturgi dan Inkulturasi Liturgi yang kebablasan”, sebuah kegiatan memasukkan hal-hal profan dan asing dalam Perayaan Ekaristi yang kudus dan baku oleh kaum muda bersama dengan pastor yang tidak pernah ‘membaca’ literatur Liturgi Gereja dan didukung oleh kehendak kelompok kategorial yang mengingini agar Liturgi Gereja juga menampung budaya setempat. Sehingga Perayaan Ekaristi berubah orientasi, yang pada awalnya berpusat pada Kristus malah berubah menjadi tempat unjuk bakat dan penampung selera umat dan berakibat fatal dengan melecehkan nilai-nilai kekudusan yang terkandung dalam Perayaan Ekaristi.
Titik tolak masalah pelanggaran Liturgi itu sendiri
terletak pada konsep penghayatan dan pemahaman dari umat. Permasalahan utamanya
adalah pada masa kini Ekaristi dianggap sebagai penampung selera dari umat dan
terutama kaum muda sebagai sebuah acara yang harus mampu mengikuti selera dari
jiwa kaum muda dan malahan diperparah oleh kaum religius terutama Imam selebran
yang liberal terhadap rambu-rambu dan aturan baku Misa Kudus. Disini tentu yang
menjadi penentu terjadinya pelanggaran Liturgi terletak pada bahu Imam selebran
itu sendiri.
Menarik bahwa Nuncio
Vatikan bagi Indonesia memperingati setiap Imam dalam tanggung jawab mereka
sebagai pelayan Liturgi:
“Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjunk-petunjuk Liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para Uskup dan Imam, yakni para pelayan Liturgi suci, bukan pemilik Liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri Liturgi di setiap Gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan Liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para Uskup.”
Paus Emeritus Benediktus XVI pun mengungkapkan kegelisahannya dalam melihat situasi Liturgi Gereja pada masa kini, ia pernah berkata “perlakuan terhadap Liturgi menentukan nasib iman dan Gereja Katolik”. Perayaan Ekaristi harus dipahami sebagai doa resmi Gereja kepada Allah dan merupakan jantung dari Iman Katolik sendiri, sebab didalam Perayaan Ekaristi “sumber dan puncak kehidupan Kristiani terletak didalamnya” (KGK 1324) yang tentu mempunyai rambu-rambu dan aturan yang baku. Malah sebaliknya, Perayaan Ekaristi yang begitu kudus telah diubah menjadi sesuatu yang profan dan seturut budaya populer jaman sekarang.
Liturgi suci adalah puncak dan sumber kehidupan dan
misi Gereja, demikian kutipan dari Kardinal Ranjith dalam Konferensi Sacra
Liturgia bulan Juni 2013 lalu. Ia menekankan bahwa keindahan dan keagungan
Perayaan Ekarisi tidak terletak pada seberapa menarik dan memuaskannya Perayaan
Ekaristi terhadap diri kita namun bagaimana Perayaan Ekaristi mampu membawa
kita mengalami perjumpaaan dengan Allah sendiri. Perayaan Ekaristi menentukan
proses dari pertumbuhan iman, transformasi dan pengudusan yang sejati dari
kehidupan umat beriman. Oleh karena itu, setiap umat Katolik maupun kaum religius
selaku pelayan Liturgi memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai
kekudusan yang termuat dalam Perayaan Ekaristi dan mampu memahami dan
menghayati Perayaan Ekaristi sedemikian rupa. Pada akhirnya, kita semua harus
sadar bahwa ada hubungan abadi antara Iman dan Liturgi yang diungkapkan dalam
kalimat “Lex Orandi, Lex Credendi” yang berarti “Hukum Doa sama dengan Hukum
Iman” sehingga apabila Perayaan Ekaristi yang merupakan puncak dari segala
peribadatan kepada Kristus dicederai oleh Pelanggaran Liturgi maka secara tidak
langsung kita telah mencederai Iman kita sendiri.
Artikel ini ditulis sebagai bentuk penolakan situs Katolisitas Indonesia terhadap Ekaristi Kaum Muda dan Perayaan inkulturasi kebablasan yang selalu identik dengan pelanggaran Liturgi.
Dominus illuminatio mea!