0 komentar

Katolisisme Tidak Sama Dengan Latinisme


“Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa Latinisme dan Katolisisme tidak lagi bersifat sinonim, bahwa Kekatolikan harus terbuka kepada setiap kebudayaan, setiap semangat, dan setiap bentuk organisasi yang selaras dengan kesatuan iman dan cinta kasih. Pada saat yang sama, dengan teladan kita sendiri, kita harus mendesak Gereja Ortodoks untuk mengakui bahwa persatuan […] dengan Tahta Petrus dapat dicapai tanpa membuat mereka meninggalkan Ortodoksi- 

Yang Terberkati Maximos IV
Patriarkh Antiokhia, Alexandria dan Yerusalem untuk Gereja Katolik Melkite

Beberapa bulan ini saya telah membaca buku “Gereja Melkite Dalam Konsili Vatikan II” yang berisi berbagai pidato, intervensi, dan catatan Patriarkh Maximos sejak masa persiapan Konsili sampai pada penutupannya. Dalam masa-masa itu Maximos menunjukkan visinya yang tegas bahwa Katolisisme harus universal, Gereja Katolik tidak identik dengan Gereja Latin.


Memang benar bahwa dari 1,1 milyar umat Katolik, hampir seluruhnya adalah anggota Gereja Latin, dan Pengganti St. Petrus menggembalakan sebuah Keuskupan Ritus Latin dan pada umumnya ia menggunakan ritus Latin untuk merayakan Liturgi Suci yang dipimpinnya. Tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa Ritus Latin adalah Ritus utama Gereja, hal itu juga tidak berarti bahwa Gereja Latin adalah “Gereja utama” dalam Gereja Katolik. Sebaliknya, yang benar ialah Gereja Latin adalah satu dari 22 Gereja sui-iuris (otonom) yang membentuk Gereja Katolik dengan Uskup Roma sebagai kepala persekutuan.


Sejak berakhirnya Konsili Fireze (Florence) telah terjadi ketidakadilan dalam Gereja Katolik yang dimulai dengan penempatan para Kardinal Romawi secara lebih terhormat daripada para Patriarkh dalam Konsili-konsili dan dalam upacara-upacara resmi Gereja Katolik (pada Konsili Firence sendiri para Patriarkh masih diberi kehormatan lebih tinggi, namun sesudahnya barulah kekacauan itu dimulai).


Kekacauan ini kemudian merambat dari atas ke bawah dan berakhir pada Latinisasi besar-besaran terhadap Gereja-gereja Timur yang bersekutu dengan Roma. Seringkali Latinisasi ini terjadi karena sebagian Uskup dan Imam yang menjadi misionaris di daerah-daerah Timur secara salah menganggap bahwa Katolisisme identik dengan Latinisme dan mencurigai apa saja yang berbau Timur.


Kita bersyukur bahwa Roh Kudus tidak tinggal diam, perlahan-lahan para Paus bertindak menghentikan Latinisasi. Saat yang paling menentukan adalah Paus Leo XIII dengan ensiklik Orientalium Dignitas yang menjadi awal titik balik yang mencapai puncaknya pada Konsili Vatikan II yang memberi mandat kepada Gereja-gereja Timur untuk kembali kepada tradisinya yang asli dan memeliharanya.


Semua Paus pasca-Vatikan II menunjukkan penghormatan dan pengakuan terhadap tradisi-tradisi Timur; Paulus VI mengizinkan untuk tidak menggunakan “filiouqe” (dan Putera) pada Pengakuan Iman Nicaea-Konstantinopel yang dinyanyikan di Gereja-gereja Timur, Yohanes Paulus II menulis ensiklik Orientale Lumen yang mengakui kekayaan warisan rohani Gereja-gereja Timur dimana sebagai orang Polandia ia cukup dekat dengan Gereja-gereja Katolik Ritus Byzantine yang ada di negaranya.


Kembali ke Konsili Vatikan II, pada masa Konsili itu para Patriarkh Timur masih juga ditempatkan dalam urutan kehormatan sesudah para Kardinal Romawi. Patriarkh Maximos menentang urutan ini dan meminta agar tatanan kehormatan yang tradisional dan kuno dikembalikan. Sejumlah Uskup Latin menentangnya dan mengatakan bahwa Gereja Katolik Timur adalah ‘buatan’ Paus dan karenanya para Patriarkhnya tidak layak diperlakukan seperti yang diatur dalam Konsili-konsili kuno. Patriarkh Maximos menjawab mereka (dengan perkataan yang merupakan perkataan favorit saya):


“5. Akhirnya, keberatan yang diajukan adalah saat yang wajar untuk mengakui keutamaan para Patriarkh Timur sebagaimana mereka miliki sebelum skisma adalah saat para Patriarkh “sejati” yaitu para Patriarkh Ortodoks menyetujui untuk membicarakan persatuan. Tetapi para Patriarkh Timur yang sekarang hadir di Konsili ini adalah buatan baru dari Tahta Suci, dan karenanya memberikan tingkatan dan kuasa itu tidaklah tepat.


- Konsep ini, yang menyangkal bahwa para Patriarkh Katolik Timur adalah pengganti yang legitim dari para pendahulu mereka di tahta masing-masing, adalah senjata baru para “latinis” yang digunakan untuk menentang para Katolik dari Ritus-ritus Timur. Malang bagi mereka, karena walaupun konsep ini mungkin akan diterima oleh para Ortodoks yang terpisah dari Roma, namun tidak dapat diterima oleh orang Katolik dan secara mutlak bertentangan dengan pemikiran para Paus sendiri.


Karena kami tidak dapat menyajikan begitu banyak teks-teks kepausan yang mendukung pandangan kami, kami hanya membatasi dengan mengajukan teks-teks yang berkaitan dengan Kepatriarkhan Antiokhia kami sendiri, yang saat dijabat oleh Cyril VI Tanas menyatakan persatuan dengan Roma tahun 1724. Saat utusan Paus menahtakannya pada tanggal 25 April 1730, utusan Paus mengakui dia sebagai “Patriarkh Antiokhia yang legitim.” (Masi, Vol 46. col, 189) Sementara itu Paus Benediktus XIV, dalam pidatonya pada konsistori 3 februari 1744, mengakui Cyril VI sebagai satu-satunya pejabat Tahta Ortodoks yang sejati di Antiokhia, dan mengatakan tentang Patriarkh tandingganya Sylvester “ia telah merampas tahta patriarchal” dan megatakan kepada para Melkite bahwa didalam mereka “sisa-sia terhormat dari Gereja Antiokhia, yang sebelumnya terkubur, telah bangkit kembali kepada kehidupan” (Ibid., col. 340)


Dalam surat tanggal 29 Februari 1744, yang ditujukan juga kepada Patriarkh Cyril, Benediktus XIV mengungkapkan dirinya dengan cara ini: “Sementara kami mengakui bahwa Gerea Antiokhia Yunani yang terhormat, telah terpisah dari tahta Roma untuk waktu yang lama karena sksma yang mengerikan dan dikendalikan oleh para Patriakh yang terjangkit wabah skisma, sekarang akhirnya telah diserahkan kepadamu hai saudara, untuk kau jaga sebagai gembalanya yang sah.” (Ibid. col. 341) Dan Paus melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia sungguh bergembira karena ia kini dapat sekali lagi memasukkan nama Patriarkh Antiokhia ke dalam diptychs Gereja Roma. Dari semua ini, jelaslah bahwa, bagi para Paus, Kepatriarkan Katolik Melkite Yunani adalah kelanjutan yang sah dari suksesi Tahta Antiokhia. Karenanya hak dan keistimewaan yang sama adalah hak bagi para Patriarkhnya sebagaimana para pendahulu kuno mereka.

Keberatan lain dapat diajukan, dan akan mudah untuk menjawabnya. Jantung utama dari permasalahan ini adalah: haruskah Gereja Katolik pada masa kita secara murni dan sederhana mengakui perkembangan yang hanya terjadi dalam lingkungan Latin Barat yang memunculkan Kekardinalan, atau harusnya sekali lagi diadakan penyelarasan berbagai institusi modern Barat dengan institusi yang lebih kuno di Timur? Dengan kata lain, apakah Katolisisme adalah perluasan Latinisme yang bersifat menaklukkan? Ataukah Katolisime adalah institusi ilahi, supra-regional, supra-nasional dimana tradisi Timur dan Barat memiliki hak yang pada dasarnya sama? Masalah tingkatan para Patriarkh Timur bukanlah masalah keutamaan dan kemuliaan kosong. Tetapi, menunjukkan suatu pengembalian kepada konsep eklesiologi yang lebih otentik dan apostolik. 


Paus Pius XII dengan Patriarkh Antiokia, Maximos IV
Dalam sesi-sesi Konsili selanjutnya urutan kehormatan para Patriarkh dipulihkan dan terjadi perkembangan yang positif. Namun, sesudah Vatikan II terjadilah suatu perkembangan yang sangat negatif yaitu diangkatnya para Patriarkh Timur menjadi Kardinal. Pengangkatan ini pada umumnya disambut dengan ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan Timur, walaupun jalan tengah dapat diambil yaitu para Kardinal Patriakh tidak menerima gelar berupa dekanat, Paroki, atau Keuskupan di sekitar Roma.

Secara tradisional para Kardinal adalah pembantu Paus sebagai Patriarkh Gereja Latin. Dewan Kardinal terdiri terutama dari 6 orang Uskup yang menangani keuskupan-keuskupan pinggiran kota Roma yang pada awal abad pertengahan memiliki banyak penduduk dan para Uskupnya memiliki peranan penting namun pada masa ini enam keuskupan itu hanya menjadi daerah pinggiran yang sepi dan secara nyata tidak memiliki peran apa-apa. Selebihnya para Kardinal terdiri dari para Pastor di Paroki-paroki besar di kota Roma, dan para Diakon yang memimpin diskateri-diskateri (komisi-komisi) Keuskupan. 


Sementara saya tidak keberatan seorang Patriarkh Timur mengikuti konklaf (sementara beberapa orang Katolik Timur merasa aneh jika Patriarkh mereka harus terlibat dalam pemilihan Patriarkh Gereja Roma) dan bahkan merasa sangat perlu para Patriarkh Timur mengikuti konklaf, sangatlah tidak tepat jika mereka diangkat menjadi Kardinal Romawi. Tampaknya jauh lebih tepat dan lebih baik jika aturan konklaf (pemilihan Paus) diubah menjadi konklaf diikuti oleh para Kardinal Romawi dan semua kepala Gereja-gereja sui iuris dalam Gereja Katolik. Dibalik persoalan Kardinal ini, masalah sebenarnya adalah sama seperti yang diungkapkan Patriarkh Maximos yaitu eklesiologi yang terlalu berorientasi kepada Gereja Latin.


Pidato Maximos IV dan pengangkatan para Patriarkh sebagai Kardinal menunjukkan bahwa kesetaraan antara Gereja Latin dan Gereja-gereja Timur sebagai sesama Gereja otonom dalam persekutuan Gereja Katolik belum dicapai sepenuhnya.


Ditulis ulang dari tulisan Frater Daniel Pane.CSE dengan beberapa penambahan.
 
Toggle Footer
Top