0 komentar

Relativisme Iman= Racun Bagi Iman Katolik


Gereja Katolik di masa kini menghadapi sebuah persoalan yang dimana, pemahaman keliru ini muncul akibat lemahnya katekisasi di antara umat Katolik dan juga lemahnya iman, hal itu adalah “relativisme iman”. Kardinal Joseph Ratzinger yang sekarang menjabat sebagai Paus Emeritus pernah mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik adalah tersebarnya "relativisme iman". Dalam kesempatan ini pun, Beliau juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog". Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".


Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang biasa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama! Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah suatu keyakinan bahwa tidak ada kebenaran absolut, semua kebenaran itu relatif. Sehingga membuat umat bersikap menghayati iman bukan dengan keyakinan dan kebenaran mutlak yang ada didalam Gereja Katolik melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain.

Apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi arus relativisme iman ini sebagai umat beriman? 
“We are moving toward a dictatorship of relativism which does not recognize anything as definitive and has as its highest value one’s own ego and one’s own desires… The church needs to withstand the tides of trends and the latest novelties…. We must become mature in this adult faith, we must guide the flock of Christ to this faith.” (sumber)
Seperti apa Iman dewasa didalam Gereja Katolik?
Dalam beberapa dekade terakhir ini ekspresi ‘iman dewasa‘ [fede adulta ...] telah menjadi sebuah slogan yang merebak. [Istilah ini] sering digunakan dalam hubungan dengan sikap-sikap dari mereka yang tidak lagi memperhatikan apa yang dikatakan Gereja dan Gembala-gembalanya — yaitu, mereka yang memilih bagi diri sendiri apa yang dipercayai atau apa yang tidak dipercayai bagai sebuah iman ‘do-it-yourself’. Mengekspresikan diri sendiri melawan Magisterium Gereja dipandang sebagai suatu ‘keberanian’, padahal pada faktanya tidak banyak keberanian diperlukan karena orang tersebut bisa dipastikan akan menerima pujian dari publik.

Alih-alih, keberanian diperlukan untuk memegang teguh iman Gereja, meskipun [tindakan ini] mengkontradiksi ‘tatanan’ dunia saat ini. Paulus menyebut non-konformisme ini dengan sebutan ‘iman dewasa’. Baginya, mengikuti hembusan angin dan arus waktu saat ini adalah [sesuatu yang] kekanak-kanakan.

Atas alasan ini, adalah bagian dari sebuah iman dewasa untuk mendedikasikan diri sendiri kepada ke-tak-dapat-di-ganggu-an hidup sejak dari awal, dan oleh karenanya melawan prinsip dari kekerasan dalam membela yang paling tidak berdaya. Adalah bagian dari sebuah iman dewasa untuk mengenali perkawinan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita sesuai tatanan sang Pencipta, [yang] ditetapkan kembali oleh Kristus. Sebuah iman dewasa tidak mengikuti [trend yang berlaku]. [Sebuah iman dewasa] berdiri melawan angin [trend yang berlaku].
Benediktus XVI
Homili – Vespers Pertama Pesta Santo Petrus dan Paulus
28 Juni 2009

Dengan demikian, sebagai penutup artikel ini sebuah kutipan yang hendaknya kita renungkan sebagai umat Katolik “saat Gereja Katolik mengajarkan kasih banyak umat Katolik yang menjadi senang namun saat Gereja Katolik mengajarkan kasih dalam kebenaran banyak umat Katolik yang mulai tidak setuju dan tidak senang dan inilah buah dari kediktatoran relativisme iman."

Dominus Illuminatio Mea!
 
Toggle Footer
Top