Kini telah menjadi hal yang lumrah terutama didalam
Masa Prapaskah ini, praktek Devosi dicampuraduk dengan Perayaan
Ekaristi. Sebagai contoh, ketika Ibadat Jalan Salib dijadikan sebagai pengganti
Pembukaan dan Liturgi Sabda; melihat kondisi dimana Ibadat Jalan Salib
diselipkan didalam Perayaan Ekaristi merupakan praktek yang jelas sangat salah.
Karena dengan dihilangkannya bagian Pembukaan dan Liturgi Sabda, malah membuat
Perayaan Ekaristi menjadi tidak valid dan membuat Perayaan Ekaristi seolah-olah
menjadi lumpuh. Analogi yang dapat digunakan ialah bahwa kita manusia memiliki
2 kaki, bayangkan saja kaki kanan kita adalah Liturgi Ekaristi dan kaki kiri
kita adalah Liturgi Sabda, ketika kaki kiri kita dipotong apakah kita mampu berjalan
seperti biasanya? Miris mungkin bila melihat beberapa paroki telah menerapkan
praktek yang keliru ini, namun hendaklah kita berprinsip membiasakan yang benar
ketimbang membenarkan kebiasaaan.
Praktek Devosi yang kemudian dilanjutkan dengan
Perayaan Ekaristi sebenarnya memiliki dua interpretasi yang berbeda. Pertama,
ketika praktek Devosi yang dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi namun
menghilangkan bagian Pembukaan dan Liturgi Sabda, hal ini adalah perbuatan yang
salah; namun ketika praktek Devosi yang dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi
dan format Perayaan Ekaristi tetap utuh, ini adalah penerapan praktek yang
sangat terpuji bahkan begitu dianjurkan untuk diterapkan oleh tiap paroki.
Hingga sekarang, paroki yang saya ketahui menerapkan praktek yang benar ini
ialah Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus, Keuskupan Banjarmasin.
Secara umum, pencampuran keliru antara praktek
Devosional kedalam Perayaan Ekaristi didasari oleh dua hal:
- Demi menarik minat umat untuk hadir dalam praktek Devosional.
- Demi mempersingkat waktu yang ada.
Dua argumen yang saya kemukakan diatas, didasari
pada kebiasaan dan minat umat yang pada umumnya tertarik pada Perayaan Ekaristi
apalagi durasi Perayaan Ekaristi telah dipersingkat dengan dihilangkannya
Pembukaan dan Liturgi Sabda.
Romo Edward McNamara, L.C., Professor Liturgi
Universitas Regina Apostolorum dalam sebuah artikel tanya jawab di situs Zenit
telah mengutip Dokumen Gereja yang berjudul “DIRECTORY ON POPULAR PIETY AND THE LITURGY PRINCIPLES AND GUIDELINES (silahkan klik link untuk membaca dokumen ini lebih lengkap)” yang isinya sbb:
“DIRECTORY ON POPULAR PIETY AND THE LITURGY PRINCIPLES AND GUIDELINES”
13. The objective difference between pious exercises and devotional practices should always be clear in expressions of worship. Hence, the formulae proper to pious exercises should not be commingled with the liturgical actions. Acts of devotion and piety are external to the celebration of the Holy Eucharist, and of the other sacraments.
On the one hand, a superimposing of pious and devotional practices on the Liturgy so as to differentiate their language, rhythm, course, and theological emphasis from those of the corresponding liturgical action, must be avoided, while any form of competition with or opposition to the liturgical actions, where such exists, must also be resolved. Thus, precedence must always be given to Sunday, Solemnities, and to the liturgical seasons and days.
Since, on the other, pious practices must conserve their proper style, simplicity and language, attempts to impose forms of "liturgical celebration" on them are always to be avoided.
Terjemahan bebas:
13. Perbedaan tujuan antara latihan kesalehan dan praktik-praktik devosional harus selalu jelas dalam ekspresi ibadah. Oleh karena itu, formula yang tepat untuk praktik kesalehan dan devosional tidak boleh dicampurkan dengan tindakan Liturgi. Tindakan devosi dan kesalehan adalah eksternal terhadap Ekaristi Kudus dan Sakramen-sakramen lainnya.
Di satu sisi, melapisi praktek kesalehan dan devosional kedalam Liturgi sehingga untuk membedakan bahasa mereka, ritme tentu saja, dan penekanan teologis dari orang-orang dari tindakan liturgis yang sesuai haruslah dihindari, sementara segala bentuk kompetisi dengan atau oposisi terhadap tindakan liturgis, dimana bila hal itu telah eksis, juga harus diatasi. Dengan demikian, hal yang lebih utama harus lebih diberikan kepada hari Minggu, Hari Raya, dan untuk Musim Liturgi dan hari.
Karena, disisi lain, praktek kesalehan harus melestarikan bentuk yang tepat, kesederhanaan dan bahasa, upaya untuk memaksakan bentuk “Perayaan Liturgi” pada mereka harus selalu dihindari.
Maka
dari itu, konklusi/kesimpulan yang dapat ditarik adalah TIDAK TEPAT untuk
menyelipkan/menggabungkan praktik devosional kedalam Perayaan Ekaristi dengan
tujuan seperti dua argumen diatas. Praktik Devosional seperti doa Rosario atau
Jalan Salib amat disarankan dilakukan sebelum atau sesudah Perayaan Ekaristi.
Namun apabila dilakukan sebelum Perayaan Ekaristi, hendaklah praktik Devosi
tetap berada pada bentuk yang tepat dan sama sekali tidak dicampurkan atau
menghapus bagian yang pada umumnya adalah Pembukaan dan Liturgi Sabda yang ada
didalam Perayaan Ekaristi. Paroki-paroki lain dapat pula mencontoh penerapan
yang telah dilakukan oleh Paroki Hati Yesus Yang Maha Kudus, Banjarmasin.
Dominus
illuminatio mea!