Hari Minggu Prapaskah I adalah permulaan memasuki Masa Suci terhormat selama 40 hari berpuasa seperti Yesus. Hal ini nyata dalam teks Doa Pembuka, Doa Persembahan, dan Prefasi hari Minggu yang bersangkutan.
Apa yang dikenal di masa lampau dengan Minggu Sengsara
(Dominica de Passione) kini menjadi
Minggu Prapaskah V. Masa lampau dilihat sebagai persiapan dekat menjelang
saat-saat penting sengsara dan wafat Tuhan, sehingga bacaan Misa lebih
dikaitkan dengan kisah sengsara Tuhan. Namun, kini setelah Konsili Vatikan II
seluruh masa Prapaskah sudah diatur rapi sebagai langkah-langkah perjalanan
Tuhan melalui sengsara dan wafat menuju kebangkitan-Nya, sehingga tidak secara
eksklusif menampilkan lagi sebagai hari Minggu sengsara, tetapi Minggu
Prapaskah V seperti pada ritus Ambrosiana (bdk. PTLPL No. 88).
Kebiasaan menyelubungi Salib dan semua patung tetap
dianjurkan. Kebiasaan ini muncul sejak Abad XIII dan diberi arti oleh Uskup
Wilhelmus Durand (Uskup Mende, Perancis) sebagai tanda bahwa Kristus pada saat
sengsara-Nya menyembunyikan keilahian-Nya sesuai dengan isi bagian terakhir
dari Injil hari Minggu itu: “…akan tetapi
Yesus menyembunyikan diri dan keluar dari kenisah” (Rationale Divinorum Officiorum No. 34). Para
penerbit Misale Schott sebelum
Konsili Vatikan II melihat dasar pemahamannya pada kenyataan betapa Tuhan kita
sedemikian merendahkan diri dan sekaligus mengajak kita sekalian meresapkan di
hati misteri Sang Penebus yang tersalib. Calendarium
Romanum pada bagian komentar menjelaskan:
“Mulai sekarang dan seterusnya, Salib dan lukisan/patung orang kudus tidak diselubungi, kecuali bagi wilayah-wilayah keuskupan yang merassa bermanfaat memelihara kebiasaan ini; pada hari-hari terakhir Masa Prapaskah hendaknya umat beriman dibimbing untuk berkontemplasi mengenai misteri penderitaan Tuhan.”
Penegasan setelah Konsili Vatikan II dikemukakan
dalam surat edaran “Perayaan Paskah dan Persiapannya”, 16 Januari 1988 (Seri
Dokumen Gereja No. 71) sebagai berikut:
“Kebiasaan memberi selubung kepada salib-salib dalam gereja sejak Minggu Prapaskah ke-5, dapat dipertahankan, bila diperintahkan demikian oleh Konferensi Waligereja. Salib- salib tetap terselubung sampai akhir liturgi Jumat Agung, tetapi patung dan gambar sampai awal perayaan Malam Paskah.” (PPP No.26).
Hari-Hari
Minggu selama Masa Prapaskah
Tata Bacaan Injil yang didukung oleh Bacaan I dan II
serta rumusan doa-doa dan nyanyian merupakan kesatuan tematis yang sengaja
disusun sedemikian ruma untuk menyukseskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
Gereja bagi umat berimannya selama Masa Prapaskah. Tema pengaturan yang
mendukung penghayatan ini nyata sebagai berikut: Tahun A lebih mengenai tahap-tahap pembaptisan; Tahun B lebih bercorak Kristosentris dan
Tahun C lebih diarahkan kepada
pertobatan. Namun, demikian kemungkinan memilih bacaan dari Tahun A sangat
diajurkan bagi paroki yang mengadakan tahap-tahap akhir masa katekumenat, sebab
isi bacaan (Minggu III-IV-V) merupakan renungan khusus tentang Sakramen
Pembaptisan yang berasal dari Sacramentum
Gelasium Vetus, Abad VIII (bdk. PPP, No. 71). Urutan tema sebagai berikut:
Minggu Prapaskah III: Dialog antara Yesus dan
perempuan Samaria di sumur Yakob. “Barangsiapa
minum air … tak pernah akan haus lagi.” Teks ini mau menjelaskan tentang
dinamika hidup sebagai ciptaan baru berkat Sakramen Pembaptisan (bdk. Yoh 4:5-42).
Minggu Prapaskah IV: Orang yang lahir buta (bdk. Yoh
9:1-41). Para katekumen yang hidup dalam kegelapan mendapatkan terang. Tuhanlah
yang memilih mereka dan menerangi mereka.
Minggu Prapaskah V: Pembangkiitan Lazarus (bdk. Yoh
1:1-45). Setiap orang yang dibaptis akan dibangkitkan oleh Kristus ke dalam
hidup baru.
Vivit Dominus in cuius conspectu sto (Allah hidup dan di Hadirat-Nya aku berdiri). Disadur dari "Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun" karya Pater Bosco da Cunha O.Carm