Bahasa Latin adalah bahasa asli dari tradisi Liturgi
Gereja Katolik Roma.
Walaupun Konsili Vatikan II telah memberi kelonggaran
dalam penggunaan bahasa pribumi, namun Gereja Universal mengisyaratkan agar
bahasa Latin masih harus tetap diindahkan. Harapan Gereja tersebut dituangkan
dalam beberapa kaidah yang berhubungan dengan hal bahasa Latin dalam perayaan
Liturgi, sebagai berikut:
(Bahasa Liturgi)
Ayat
(1) Penggunaan bahasa Latin hendaknya
dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus
tetap berlaku.
(Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam Perayaan
Ekaristi)
Sesuai dengan artikel 36 Konstitusi ini, dalam Misa Suci yang dirayakan bersama umat, bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan “doa umat”, dan sesuai dengan situasi setempat—juga dalam bagian-bagian yang menyangkut umat. Tetapi, hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa Latin, juga bagian-bagian Misa yang tetap menyangkut mereka. Namun, bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa tampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan artikel 40 Konstitusi ini. Dimana bahasa pribumi sudah dipakai dalam Perayaan Ekaristi, para Waligereja setempat hendaknya meemutuskan apakah bermanfaat mempertahankan satu Perayaan Ekaristi atau lebih dalam bahasa Latin khususnya Perayaan Ekaristi dengan nyantian—di gereja-gereja tertentu, terutama di kota-kota besar, dimana banyak orang beriman dari dari berbagai bahasa datang berhimpun.
Bahasa Latin yang digunakan dalam Liturgi dan dalam
nyanyian-nyanyian Gregorian, serta juga banyak dipakai dalam nyanyian-nyanyian
polifoni gerejawi yang selaras dengan jiwa Liturgi, mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam tradisi Liturgi Gereja Katolik Roma. Namun, dengan suatu “penafsiran” mengenai pemberian
kelonggaran dalam penggunaan bahasa masing-masing bangsa atau suku bangsa
seperti diuraikan pada pasal-pasal di atas, sangat disayangkan akhir-akhir ini nyanyian-nyanyian Gregorian dan
polifoni dengan bahasa Latin sudah semakin memudar dalam Perayaan Ekaristi
Gereja Katolik (Indonesia), karena keengganan dan sikap kurang mendukung dari
beberapa kalangan Gereja sendiri, dengan alas an “Umat tidak mampu menyanyi,
tidak biasa mendengar atau mengucapkan kata-kata atau tidak mengerti bahasa
asing (Latin).” (Bandingkan dengan umat dari agama-agama Islam, Buddha,
Hindu, dll. yang tetap mempertahankan bahasa asli dan tradisi mereka dalam
beribadat dengan nyanyian-nyanyian.)
Bahasa Latin hamper ditinggalkan dengan tidak benar
dan seolah-olah akan dihilangkan dari keberadaannya dalam kehidupan Gereja. Misalnya,
nyanyian-nyanyian Ordinarium dalam Bahasa Latin seperti Kyrie-Gloria-Sanctus-Agnus Dei; juga Credo (syahadat); Pater
Noster (Bapa Kami), hampir dan seolah-olah sudah dianggap tidak diperlukan
lagi, malah sering digantikan dengan Ordinarium yang bernuansa bangsa/etnis
tertentu yang secara umum dirasakan tidak tepat, dalam Liturgi yang sedang
dirayakan bersama umat dari berbagai macam bangsa (bdk. PUMRB, 41).
Kalau di daerah-daerah terpencil/misi, memang
merayakan Perayaan Ekaristi dengan nyanyian menggunakan bahasa Latin agak sulit
penerapannya. Oleh karena itu, masih perlu pengenalan dan pembelajaran lebih
lanjut.
Marilah kita perhatikan hal berikut yang dinyatakan
dalam Instruksi tentang musik didalam Liturgi-MUSICAM SACRAM bahwa,
Para gembala jiwa, sambil mempertimbangkan daya guna
pastoral dan ciri khas bahasa mereka sendiri, hendaknya meneliti apakah
bagian-bagian dari warisan musik ibadat
yang ditulis dalam abad-abad yang silam untuk teks Latin, cocok juga digunakan bukan hanya dalam
perayaan-perayaan liturgis dalam bahasa Latin, tetapi juga dalam bahasa
pribumi. Sama sekali tidak dilarang bahwa bagian-bagian dalam satu Misa yang
sama dinyanyikan dan bahasa
yang berbeda.
Sebenarnya, kalau kita membaca pasal-pasal di atas
dengan teliti, Konstitusi tentang Liturgi Suci masih mengharapkan dan
menganjurkan agar Misa Kudus dengan bahasa Latin masih bisa dan boleh
dilaksanakan, walaupun harus diadakan penyesuaian dengan penggunaan bahasa
Indonesia/daerah sesuai dengan Konstitusi tentang Liturgi Suci (KL) pasal 36
(2).
Hal-hal mengenai keberadaan bahasa Latin dalam Ritus
Romawi, mari kita perhatikan harapan Paus Benediktus XVI dalam Anjuran
Apostolik Pasca Sinode SACRAMENTUM CARITATIS, 22 Februari 2007, no.62,
… Untuk mengungkap lebihjelas kesatuan dan universalitas Gereja, saya ingin mendukung usulan yang dibuat oleh Sinode Para Uskup, selaras dengan arahan-arahan dari Konsili Ekumenis Vatikan II bahwa, dengan kekecualian pada bacaaan-bacaan homi dan doa umat, Liturgi-liturgi seperti itu dapat dirayakan dalam bahasa Latin.
Demikian juga, doa-doa yang cukup dikenal dalam tradisi Gereja hendaknya didaras dalam bahasa Latin dan kalau mungkin, hendaknya dilagukan beberapa nyanyian Gregorian terpilih. Berbicara secara lebih umum, saya minta agar imam-imam yang akan datang, sejak masa pendidikan mereka di seminari, memperoleh persiapan yang diperlukan untuk memahami dan merayakan Misa dalam bahasa Latin, dan juga untuk menggunakan teks-teks Latin serta melaksanakan nyanyian Gregorian; hendaknya mereka tidak lupa bahwa kaum beriman dapat diajar untuk mendaras doa-doa Latin dapat diajar untuk mendaras doa-doa Latin yang cukup lazim, dan juga melagukan bagian-bagian Liturgi dengan lagu Gregorian.
Hal ini bisa dipahami, karena bahasa tradisi Gereja ini telah digunakan dan diresmikan
penggunaannya dalam Misa Kudus sejak Konsili Trente pada abad ke-16, yang
dikenal dengan sebutan Misa Tridentine.
Layak untuk selalu disadari bahwa bahasa Latin
adalah bahasa asli ibadat Grejea yang memiliki nilai tradisi sejarah Gereja dan
nilai spiritual yang tinggi.
Vivit Dominus in cuius conspectus sto.
Karya Ambrosius Andi Kosasi yang dipublikasikan di
Katolisitas Indonesia.