0 komentar

Ajaran Gereja Katolik tentang kontrasepsi dan aborsi

Salah satu klaim yang sering menjadi keberatan beberapa umat non-Katolik dan bahkan umat Katolik beraliran liberal adalah “kontrasepsi akan mengurangi aborsi”, argumen yang mereka pakai dalam memerangi ajaran Gereja Katolik adalah dengan memakai kontrasepsi maka tidak akan muncul kasus aborsi, tidak hanya itu pertumbuhan penduduk diperkirakan akan turun secara signifikan. Jawaban dari klaim ini pada dasarnya adalah salah. Sering orang diluar Gereja Katolik bahkan didalam Gereja Katolikpun berpikir bahwa kontrasepsi adalah cara efektif dalam melakukan hubungan seks secara aman. Padahal dalam kenyataannya kontrasepsi malah membawa anak muda jaman sekarang dalam bencana yang lebih besar lagi seperti terjadi relasi seksual diluar ikatan pernikahan.


Sebagaimana yang dikatakan oleh Pater Paul Marx O.S.B, seorang imam yang pro-life dan mendukung penuh ajaran Gereja Katolik yang memandang kontrasepsi dan aborsi sebagai suatu yang sangat jahat, mencatat bahwa pengesahan aborsi telah mengundang beberapa Negara secular untuk mempromosikan kontrasepsi bagi warga negaranya. Di Amerika Serikat, presiden Barrack Obama menyetujui penggunaan alat-alat kontrasepsi bahkan melegalkan perkawinan sesama jenis.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae menulis:
"Kedua-duanya berakar dalam mentalitas hedonistis yang tidak mau menerima tanggung jawab dalam perkata-perkata mengenai seksualitas, dan keduanya juga menyiratkan sebuah konsep kebebasan yang berpusat pada diri sendiri, yang menganggap prokreasi sebagai sebuah halangan menuju pencapaian pribadi. Dengan demikian, kehidupan yang terlahir sebagai akibat dari relasi seksual menjadi musuh yang dihindari entah apa pun bayarannya, dan aborsi menjadi satu-satunya tanggapan pasti yang mungkin terhadap kontrasepsi yang gagal (EV 13)."
Panggilan terdalam manusia sebagai manusai adalah untuk mencintai Allah. Hal ini juga berarti untuk mencintai satu sama lain sebagai sesame manusia, yang diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya. Kristus mengatakan bahwa mencintai Allah dan sesama merupakan hukum yang terbesar dari segala hukum (Mrk 12:29-31). Cinta dalam pernikahan merupakan sebuah realitas nyata yang menggambarkan jenis cinta yang ada dalam Allah sendiri dan yang karenanya kita diciptakan oleh Dia, supaya kita dapat mengambil bagian dalam cinta kasih-Nya.Didalam perjanjian lama, perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel dilambangkan sebagai sebuah gambaran dari pernikahan dan perjanjian ini digambarkan dengan begitu indah khususnya oleh Kitab Kidung Agung. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, pernikahan mengungkapkan relasi intim antara Kristus dengan Gereja (Ef 5:22; Why 21:2, 9). Katekismus Gereja Katolik menulis bahwa penikahan sebagai sebuah sakramen yang diarahkan menuju persekutuan (no. 1534-35). Hal ini berarti pernikahan diarahkan menuju keselamatan orang lain. Sakramen-sakramen lainnya memberikan sumbangan dalam beragam cara bagi pribadi yang menerima sakramen-sakramen tersebut. Sedangkan sakramen-sakramen yang diarahkan menuju persekutuan, ketika seseorang menerimanya, ditujukan kepada keselamatan orang lain. 

Pernikahan menyucikan kedua pasangan dan menempakatkan mereka pada sebuah martabat khusus. Mereka dipanggil untuk memenuhi tugas-tugas tertentu (KGK no. 135). Apakah tugas ini? Tugas ini terletak pada inti pernikahan itu sendiri yaitu relasi seksualitas, saling bersekutu, memberi diri sepenuhnya satu sama lain dan panggilan untuk beranakcucu dan bertambah banyak (Kej 1:28). Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya, Familiaris Consortio menjelaskan:
"Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Ia memanggil manusia menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya sekaligus untuk mencintai. Allah itu cinta kasih dan didalam Diri-Nya. Ia menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar pribadi. Seraya menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya sendiri, dan tiada hentinya melestarikan keberadaannya, Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi pria maupun wanita panggilan, dank arena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Oleh karena itu, cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia, dan sudah tertera dalam kodratnya (no.11, penekanan asli, catatan dihilangkan)." Sumber: Faith Facts vol. 1
Mengenai tugas yang diemban oleh setiap pasangan ini maka dari itu Gereja Katolik menolak penggunaan kontrasepsi terlebih lagi aborsi. Gereja Katolik menolak penggunaan alat-alat kontrasepsi karena baik alat maupun mentalitasnya untuk menghilangkan semata-semata peranan Allah dalam penciptaan manusia. Manusia diciptakan tidak hanya semata-mata karena adanya hubungan antara suami-istri namun karena adanya campur-tangan Allah sebagai sumber kehidupan. Maka dengan kontrasepsi manusia secara sengaja menutup-nutupi kemungkinan terjadinya karya penciptaan dan menolak tatanan ilahi yang berasal dari Allah. Kontrasepsi bukanlah suatu hal yang baru muncul pada abad modern, bentuk terkuno dari kontrasepsi adalah ramuan-ramuan penghambat kehamilan sampai coitus interuptus (membuang sperma diluar tubuh wanita setelah bersenggama) dan perbuatan ini pernah dilakukan oleh Onan (kata dasar dari onani) yaitu ketika ia diperintahkan oleh ayahnya untuk berhubungan dengan janda kakaknya supaya rumah tangga kakaknya memiliki keturunan, namun Onan tahu bahwa keturunannya itu tidak akan menjadi miliknya lalu ia membuang spermanya agar tidak membuahi rahim Tamar. Atas perbuatan ini Onan dibunuh oleh Allah. Tertulianus (thn 197) dalam “Apologeticum” menegaskan hal serupa, “mencegah kelahiran adalah melakukan pembunuhan; tidak banyak bedanya apakah orang membinasakan kehidupan yang telah dilahirkan ataupun melakukannya dalam tahap yang lebih awal. Ia yang bakal manusia adalah manusia.” Pada tahun 300, Konsili Elvira, konsili gereja lokal di Spanyol, dengan tegas mengutuk aborsi (Kanon 63).


Sedangkan aborsi adalah suatu perbuatan dengan membunuh janin bayi entah dengan memakai pil-pil pengugur kandungan atau menjatuhkan sendiri dengan sengaja. Gereja Katolik menegaskan bahwa kehidupan muncul sejak pembuahan maka janin adalah suatu yang hidup dan apabila janin tersebut dibunuh (aborsi) sama hal dengan membunuh sesame manusia dan ini merupakan pelanggaran atas perintah Allah yang ke-enam. St. Basilus dalam sepucuk suratnya kepada Uskup Amphilochius (thn 374) dengan tegas menyatakan ajaran Gereja: “Seorang wanita yang dengan sengaja membinasakan janin haruslah diganjari dengan hukuman seorang pembunuh” dan “Mereka yang memberikan ramuan atau obat-obatan yang mengakibatkan aborsi adalah para pembunuh juga, sama seperti mereka yang menerima racun itu guna membunuh janin.”

Gereja menyarankan metode KB Alami (KBA) bagi setiap pasangan Katolik karena hal ini tidak berlawanan dengan hukum moral Gereja. Seringkali terdapat kebingungan bagi pasangan Katolik dalam membandingkan kontrasepsi dan KB Alami sehingga beberapa pasangan seringkali menganggap bahwa KBA sama saja dengan kontrasepsi dan merasa tidak berdosa dengan menggunakan pil-pil KB, kondom dan alat-alat sterilisasi lainnya. Didalam teologi moral Katolik dijelaskan bahwa suatu tindakan apabila didasari oleh ‘niat’ yang bermoral dan ‘tindakan/cara’ yang bermoral adalah sah dan kedua hal tersebut harus seimbang dimana ada niat yang bermoral dan disertai dengan cara yang bermoral. Dengan praktek kontrasepsi, meski sepasang suami-isti memiliki ‘niat’ yang baik dan memiliki motif tertentu (Humanae Vitae, Paus Paulus VI) namun dilakukan dengan ‘cara’ yang jahat maka hal ini bertentangan dengan moral.

Praktek aborsi
Sedangkan lain halnya dengan metode KBA, yang tidak bertentangan dengan moral. KBA merupakan kodrat insane dari manusia itu sendiri yang telah dirancang oleh Allah sedemikian rupa. Allah menciptakan wanita dengan juga memberikan masa tidak subur bagi wanita yang menunjukkan bahwa manusia tidak dirancang untuk selalu berketurunan namun tidak boleh pula memiliki sikap dan mental kontraseptif. Dilain pihak, meski KBA tidak bertentangan dengan moral Katolik dapat pula memiliki mental kontraseptif. Contohnya apabila suatu pasangan mampu memiliki 3-4 anak namun hanya memiliki 2 anak saja dengan alasan agar hidup berkecukupan, ini adalah tindakan yang membawa dosa besar. 

Dominus illuminatio mea!
 
Toggle Footer
Top