Hidup peribadatan kita tidak dapat
dipisahkan dari hidup iman kita. Ibadat kita adalah sebuah pengakuan iman.
Liturgi Gereja mengungkapkan ibadah sejati umat Allah, sebagai tubuh mistik
Kristus. Perubahan- perubahan dalam liturg mencerminkan sebuah perubahan dalam
iman atau sebuah perubahan dalam pemahaman mengenai iman. Ibu Gereja
memperlakukan hal ini dengan sangat serius. Untuk melindungi liturgi-liturgi dari penyimpangan, Gereja menetapkan:
1.Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut
kaidah hukum para Uskup.
2.Berdasarkan kuasa yang diberikan oleh
hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara Liturgi dalam batas-batas
tertentu juga ada pada pelbagai macam konferensi Uskup sedaerah yang didirikan
secara sah.
3.Maka dari itu tidak seorang lainnya pun,
meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam
liturgi atas prakarsa sendiri. (SC 22)
Pengarahan ini telah selalu diulangi
oleh pelbagai kongregasi dari Kuria Roma dan oleh Paus dalam pelbagai dokumen
semenjak penerapan Sacrosanctum Concillium. Yang paling turut dicatat adalah yang
berikut ini.:
Umat beriman memiliki hak atas Liturgi yang sejati, yang berarti Liturgi yang diinginkan dan ditetapkan oleh Gereja, yang pada kenyataanya, telah menungjjukan dalam hal mana penyesuaian-penyesuaian boleh dibuat sebagaimana dituntut oleh kristeria-kriteria pastoral ditempat-tempat yang berbeda-beda. Percobaan dan perubahan-perubahan yang tidak semestinya justru membingungkan umat beriman. Penggunaan teks-teks yang tidak resmi berarti terputusnya hubungan yang niscaya antara lex orandi (tata aturan dalam berdoa) dengan lex orandi (tata aturan dalam beriman).
disadur dari Faith Facts karya Leon j suprenant, Jr dan Philip C.L Gray pada halaman 64