Kerendahan Hati yang Agung di Minggu Palma

Genderang sukacita teriakan “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” menghantar Yesus memasuki kota yang ditangisinya, Yerusalem. Dengan gembira laki-laki dan perempuan, tua, muda dan anak-anak berlari menyongsong Yesus. Mereka melambai-lambaikan tangan mereka, berloncat-loncat dengan gembira bahwa Messias telah datang dan hadir diantara mereka untuk menyelamatkan mereka. Terlihat daun palma yang mereka lambaikan ke arah Yesus, para warga yang dengan sengaja melepaskan pakaian mereka ditanah untuk dilalui oleh Yesus. 


Mereka berteriak “Hosanna” sambil melambaikan daun Palma untuk seseorang yang akan mereka salibkan lima hari kemudian. Yesus yang datang sebagai Raja memasuki kota kemenangan bukan dengan mengendarai sebuah kereta kerajaan dan kuda jantan yang perkasa., tapi seorang keledai betina. Dengan para murid yang menemaninya didalam arak-arakan kemenangan. Bukan dengan mengacungkan sebuah pedang tanda kekuatan seorang raja namun dengan ranting pohon palma. Pekan suci telah berada didepan mata; dengan memasuki Minggu Palma, Gereja telah memasuki masa sengsara Yesus.

Sukacita “Hosanna” yang ada di Yerusalem seolah-olah sirna begitu saja, ketika mereka berteriak dengan lantang “Salibkan Dia!”. Masuknya Yesus ke dalam Yerusalem menghantar Yesus pada detik-detik penderitaan yang akan dialaminya sebentar lagi. Dengan menunggangi seekor keledai Yesus masuk ke dalam Yerusalem. Dengan memikul sebuah salib beberapa hari kemudian ia menaiki puncak gunung Golgota. Yesus telah disalibkan oleh ciptaan-Nya sendiri. Dengan diiringi sorak sorai terlihatlah sekelebat wajah-wajah yang penuh kebencian dan iri hati dari para ahli-ahli Taurat dan orang Farisi yang diarahkan kepada Yesus. Mereka berpikir seakan-akan bencana telah masuk ke dalam Yerusalem.

Yesus melihat perbuatan rakyat-Nya hanya bisa tersenyum simpul dengan hati yang teriris cambukan, mendengar suara kegembiraan yang segera digantikan dengan teriakan kebencian. Dengan demikian tergenapilah yang dinubuatkan dalam kitab suci “Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda." (Zakharia 9:9). Yesus yang menunggangi seekor keledai melambangkan bahwa Ia datang sebagai Raja Damai. Didalam tradisi timur keledai merupakan lambang binatang yang damai, tidak seperti kuda, yang melambangkan binatang peperangan. Karenanya, seorang raja akan datang menunggangi kuda jika hendak berperang dan naik keledai jika hendak menunjukkan bahwa ia datang dengan damai. Ia membawa sukacita besar ketengah-tengah Yerusalem bahwa penyelamat telah tinggal diantara mereka untuk membawa pembebasan mereka dari dosa. Yesus memilih menggunakan keledai. Selain untuk menggenapkan apa yang dinubuatkan nabi Zakharia, Yesus sebenarnya menyampaikan pesan kepada orang banyak yang menyambutnya. Ia adalah Mesias tetapi Dia bukanlah mesias yang sesuai dengan harapan bangsa Israel. Yesus tidak akan memimpin bangsa itu untuk melakukan peperangan dan mengusir penjajah dari tanah Israel. Ia datang untuk memberikan keselamatan kepada manusia dan mendamaikan manusia dengan Allah. Yesus adalah utusan Bapa supaya barangsiapa yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal. Yesus memasuki Yerusalem dengan kerendahan hati.

Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi (2:6-8) menjelaskan “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Yesus sebagai Allah telah dengan bebas hadir dalam sengsara manusia, Ia menggabungkan dirinya sendiri didalam sifat lemah kita. Sehingga seolah olah jika tindakan kerendahan hati ini tidaklah cukup, Ia lebih jauh lagi merendahkan diri-Nya sendiri, menerima status sebagai seorang budak. Tindakan-Nya membungkuk untuk mencuci kaki murid-murid-Nya (Yoh 13) adalah perumpamaan dari kehadiran utuh manusia -Nya, atas tindakan ini dianggap sangat tidak bermartabat bahkan budak Israel tidak dipaksa untuk melakukannya.

Tapi bukan hanya itu. Yesus tidak dipaksa untuk melakukannya. Ia secara sukarela merendahkan diri-Nya didalam kelahiran-Nya, didalam karya pelayanan-Nya, di dalam kematian-Nya. Tidak ada seorang pun yang menggambil nyawa-Nya. Ia dengan sukarela menyerahkan nyawa-Nya sendiri (Yoh 10:18). Orang lain tidak mempunyai kesempatan untuk merendahkan diri-Nya; Ia merendahkan dirinya sendiri. Dengan kerendahan hatinya, Yesus telah menjadi Adam kedua. Ia telah memperbaiki sifat angkuh dan sombong dari Adam dan Hawa, yang tidak taat dan dengan angkuhnya ingin menjadi seperti Allah. Yesus mengundang kita untuk menjadi rendah hati seperti-Nya untuk menyadari bahwa hati yang angkuh tak akan meninggikan seseorang sedikit pun.

Dominus illuminatio mea!
 
Toggle Footer
Top