Ex Cathedra dan dogma Infallibilitas

Paus Fransiskus pada kursi Keuskupannya di Katedral Agung Basilika Lateran
Istilah ex cathedra  berasal dari kata-kata bahasa Latin yang berarti “dari takhta Uskup”. Dari kata ini munculah kata Katedral, yang berarti kursi Uskup Diosesan/takhta Uskup yang berada di salah satu gedung gereja di sebuah Keuskupan. Istilah Katedral sudah ada sejak zaman Gereja perdana. Istilah ini sebenarnya hendak menggambarkan wewenang mengajar tertinggi didalam Gereja yang dimiliki oleh Paus selaku pemimpin dari para Uskup sedunia.

Dengan bertindak sebagai imam agung didalam Gereja, Paus adalah yang pertama dari antara yang sederajat (Primus Inter Pares) dan jabatan Paus sebagai penerus Apostolik dari St. Petrus meneruskan jabatan Petrus sendiri selaku pemimpin dari para Rasul. Sehingga ketika Paus mendeklarasikan ajaran iman dan moral secara ex cathedra maka ajaran ini harus dilindungi dengan karunia Infallibilitas Paus. Infallibilitas Paus adalah ketidakdapatan sesat Paus selaku Wakil dari Yesus Kristus (Vicarius Christi) dan Imam Agung dari Gereja Universal dalam mendeklarasikan ajaran iman dan moral kepada umat beriman.

Karunia agung ini tidak hanya terletak pada jabatan Paus namun juga pada Magisterium (Kuasa Mengajar Gereja) salah satu dari pilar iman Gereja Katolik. Kristus sendirilah yang menganugerahkan karunia ini kepada GerejaNya. Kristus memberikan karunia ini secara istimewa untuk melindungi GerejaNya dari alam maut/kesesatan kepada Petrus dan para Rasul dengan kuasa “mengikat dan melepaskan” (Mat 16:18).

Infabillitas Paus menurut definisi dari Konsili Vatikan I dan II
Ungkapan ex cathedra digunakan oleh Konsili Vatikan  I dalam merumuskan Infallibilitas Paus: “Oleh karena itu, dengan setia berpegang pada tradisi yang diterima dari awal agama Kristiani … kami mengajarkan dan merumuskan bahwa adalah suatu dogma yang diwahyukan Allah bahwa, apabila berbicara ex cathedra, Imam Agung Romawi memiliki Infabillitas yang dijanjikan kepadanya dalam diri Santo Petrus dan dengan itu Penebus ilahi mau membantu GerejaNya dalam merumuskan ajaran iman dan moral. Imam Agung Romawi ini berbicara ex cathedra apabila ia mengamalkan tugasnya sebagai gembala dan guru semua orang Kristiani dan dengan wewenang apostolic tertinggi serta bantuan ilahi, merumuskan suatu ajaran iman dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh Gereja. Oleh karena itu pernyataan-pernyataan Imam Agung Romawi seperti itu sedari hakikatnya tidak dapat diubah dan tidak tunduk pada persetujuan Gereja. “ (Konstitusi Dogmatis, Pastor Aeternus, Bab IV, paragraph 11).

Sedangkan Konsili Vatikan II didalam dokumen Lumen Gentium nomor 25 mengajarkan:

“Adapun ciri tidak dapat sesat itu, yang atas kehendak Penebus Ilahi dimiliki Gereja-Nya dalam menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan, meliputi seluruh perbendaharaan Wahyu Ilahi, yang harus dijagai dengan cermat dan diuraikan dengan setia. Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, Kepala Dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap Umat beriman, yang meneguhkan  saudara-saudara beliau dalam iman (lih. Luk 22:32), menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif.”

“Akan tetapi, bila Imam Agung di Roma atau badan para Uskup bersama dengan beliau menetapkan ajaran, itu mereka kemukakan sesuai dengan Wahyu sendiri, yang harus dipegang teguh oleh semua orang yang menjadi pedoman hidup mereka. Wahyu itu secara tertulis atau melalui secara tradisi secara utuh diteruskan melalui pergantian para Uskup yang sah, dan terutama berkat usaha Imam Agung di Roma sendiri. Berkat cahaya Roh Kebenaran wahyu itu dalam Gereja dijaga dengan cermat dan diuraikan dengan setia.”

Secara sederhana, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu pernyataan Paus dapat dipandang ex cathedra dan dilindungi oleh Infallibilitas Paus yaitu:
1. Pernyataan tersebut harus universal, yakni dibuat oleh Paus sebagai gembala agung dan guru untuk seluruh Gereja, bukan hanya untuk sebagian dari Gereja.
2. Pernyataan tersebut harus berkaitan dengan masalah iman dan moral.
3. Pernyataan tersebut harus diajarkan secara definitif.

Beberapa kesalahpahaman dalam memahami dogma Infallibilitas
Infallibilitas bukanlah suatu ajaran yang beraliran tenang dalam artian bahwa setiap orang menerimanya, tidak jarang bahwa Infallibilitas sering kali disalahartikan bahkan disalahgunakan oleh sejumlah pihak yang membenci Gereja Katolik. Infallibility (ketidakdapatan sesat) seringkali disalahartikan dengan impeccability (ketidakdapatan berdosa). Mereka mengartikan bahwa Paus yang tidak dapat salah dalam mengajarkan dogma iman dan moral didalam Gereja maka secara otomatis ia pun tidak dapat berdosa atau dilindungi dari dosa karena jabatannya sebagai seorang Paus. Kesalahpahaman ini sebenarnya menyinggung masa kegelapan yang pernah dilintasi oleh Gereja Katolik di masa lalu dimana tidak sedikit Paus, yang berbuat buruk dan tidak bermoral. Sebagai contoh yaitu Paus Alexander VI yang dikenal sebagai Paus yang hidup berfoya-foya, memperkaya dirinya sendiri dan keponakannya Alexander Borgia bahkan sampai memiliki istri dan memperoleh beberapa anak.

Gereja Katolik secara terbuka mengakui dan sadar akan perbuatan buruk yang dilakukan oleh beberapa Paus namun apabila ditelaah kembali, ketika beberapa Paus yang berbuat bejat tersebut mendeklarasikan ajaran iman dan moral, tak pernah sekalipun ajaran tersebut jatuh dalam kesesatan atau didalamnya tercantum suatu kalimat yang salah sehingga mengacu pada konsep pemahaman yang keliru. Ini semua sebagai bukti bahwa Paus itu bisa salah contohnya salah menghitung, berkata-kata dan terutama berbuat dosa karena Paus bukanlah Tuhan, beliau adalah manusia. 

Namun ketika Paus mengumumkan suatu ajaran tentang iman dan moral secara ex cathedra maka perbuatannya itu berada dibawah naungan dari Roh Kudus sendiri, sehingga ajaran tersebut tidak dapat salah. Dilain kesempatan pula, dogma ini tak luput juga dari serangan beberapa kaum yang sebenarnya tidak memahami secara keseluruhan dari dogma ini. Salah satu diantaranya adalah penentangan St. Paulus terhadap St. Petrus (Galatia 2:11-15) harus diperhatikan bahwa sikap Paulus dalam menentang St. Petrus ini bukanlah karena ajaran Petrus yang tidak sesuai dengan Iman Kristen, tetapi sikapnya yang tidak konsisten dalam menerapkan keputusan Konsili Yerusalem mengenai kesamaan kedudukan kaum Yahudi yang bersunat dan sebaliknya. Sebab sebagai manusia Petrus dan penerusnya (para Paus) bisa salah, namun yang tidak bisa salah adalah ketika ia mendeklarasikan ajaran iman dan moral secara definitif yang berlaku untuk Gereja Universal.

Perlu diketahui pula bahwa tidak seluruhnya dari semua pernyataan ex cathedra dimaklumkan sebagai dogma, dalam beberapa dekade terakhir hanya ada dua dogma yang dirumuskan oleh Paus yaitu dogma Maria Dikandung Tanpa Noda oleh Paus Pius IX pada tahun 1854 dan dogma Maria Diangkat Ke Surga, yang ditetapkan oleh Paus Pius XII pada tahun 1950. Dengan demikian sebagai umat Katolik, kita tidak perlu ragu dalam mempercayai seluruh dogma yang ada didalam Gereja Katolik, karena seluruh dogma yang ada didalam Gereja Katolik berasal dari inspirasi dari Roh Kudus sendiri dan kita harus percaya pula bahwa Kristus tidak akan pernah membiarkan Gereja yang didirikan-Nya sendiri jatuh dalam kesesatan (Mat 16:18) karena Ia akan membimbing Gereja-Nya sampai pada akhir zaman (Mat 28:20).

Dominus illuminatio mea!
 
Toggle Footer
Top