Sharing Pengalaman Berkunjung Ke Kongregasi Suster Hati Kudus


Sabtu 14 September 2013, saya berkesempatan untuk mengunjungi sebuah Biara milik Kongregasi Suster Hati Kudus di Desa Pagelaran-Gondanglegi, Malang Selatan. Dengan naik mobil bersama dengan beberapa rekan dan Frater Frans Ragio, seorang Frater Diosesan, Saya berangkat dari Puncak Tidar Malang dan tiba di Desa Pagelaran sekitar pukul 16.00. 

Lokasi Biara tersebut menjadi 1 tempat dengan stasi Santo Paulus. Ini merupakan kunjungan pertama saya, sebab kunjungan ini pada awalnya diusulkan oleh Fr. Frans Ragio, karena beliau ingin bertemu dengan salah seorang suster disana yang merupakan kenalan dekat beliau. Setelah tiba di pintu gerbang, saya dikejutkan oleh bangunan gereja yang berukuran sedang namun umurnya diperkirakan sangat tua karena di atas pintu masuk gereja terdapat angka "1928" yang menandai sejarah berdirinya bangunan gereja ini. Namun apabila dilihat sekilas, bangunan gereja ini tampak masih kokoh dan baru, dan mungkin baru saja di cat.

Saya bersama dengan teman saya, segera masuk dan disambut dengan hangat oleh Sr. Yosefia HK dan Sr. Anita HK. Sembari menikmati lingkungan sekitar biara, saya dikejutkan oleh bangunan stasi yang tanpa dinding sama sekali, hanya beberapa tiang penyangga yang terbuat dari beton. Ini sangatlah unik. Altar didalam Stasi ini pun tidak dilapisi oleh kain linen putih yang menggambarkan ciri khas Altar itu sendiri (mungkin menghindari kotornya kain tersebut). Tidak ada tabernakel dan hanya sebuah Salib ukuran sedang, bangku untuk tempat duduk umat pun tidak terlihat. Sekilas pun saya menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada Altar dan saya bersama dengan teman-teman pun dipersilahkan untuk masuk kedalam Biara. 

Terlihat bahwa Biara tersebut memiliki ukuran yang relatif kecil. Setelah masuk ke dalam, Sr. Anita mengenalkan sekilas ruangan-ruangan yang ada didalam Biara. Saya penasaran dengan Kapel yang ada dalam Biara Suster Hati Kudus, dan bertanya dimana lokasi Kapel. Suster Anita mempersilahkan saya untuk masuk lebih dalam dan saya pun tiba di Kapel. Kapel tersebut berukuran kecil dan begitu sederhana karena hanya ditutupi oleh sebuah sekat. Saya pun masuk untuk mengucap syukur atas keselamatan dalam perjalanan tadi. Didalam Kapel tersebut hanya ada sebuah patung Bunda Maria yang memangku Yesus dan sebuah Tabernakel kecil yang ditudungi oleh kain putih tembus pandang. Setelah berdoa, saya bersama teman-teman dipersilahkan duduk di ruang tamu Biara. 

Saya dan Fr. Frans pun berbincang-bincang mengenai beberapa hal dan dapat diketahui bahwa hanya ada 3 orang Suster yang hidup di Biara ini, Sr. Yosefia, Sr. Anita dan Sr. Edith. Hal ini sungguh memprihatinkan dimana terjadi “krisis panggilan” yang dilanda oleh Gereja Katolik masa kini. Dimana terjadi kemerosotan panggilan hidup religius sehingga lebih banyak kaum umat ketimbang kaum religius. Setelah berbincang-bincang sekian lama, Sr. Anita pun mengajak kami untuk menyantap hidangan yang telah ada di ruang makan. Kami pun menuju ruang makan. Sembari makan, Fr. Frans berbincang-bincang dengan Sr. Anita mengenai makanan yang ada di meja. Dan diketahui bahwa Sr. Anita mendapatkan hidangan tersebut dari umat Katolik maupun Muslim di sekitar Stasi St. Paulus tersebut. Setelah menyantap hidangan. Sr. Anita mengajak kami untuk melihat situasi sekitar Stasi.



Dari foto tersebut dapat dilihat bahwa gereja ini apabila nampak depannya terlihat bagus namun apabila kita masuk kedalam lingkungan stasi ini maka kita akan mendapati sebuah bangunan gereja yang tanpa dinding dan hanya ditopang dengan beberapa tiang beton saja. Sambil berkeliling Sr. Yosefia memberitahukan kepada kami bahwa akan ada Perayaan Ekaristi pada hari Selasa nanti. Maka karena hari telah menjelang malam dan Sr. Yosefia yang juga berprofesi sebagai seorang Bidan dikunjungi oleh seorang pasien maka kami pun berpamitan untuk pulang.

Pada hari Selasa, saya pun berkunjung kembali ke stasi sekaligus Biara Suster Hati Kudus untuk ikut Perayaan Ekaristi. Kami pun berangkat dari pukul 16.00 hingga tiba disana pada pukul 17.30, setelah tiba disana suasana stasi pun terasa lebih hidup dimana Altar telah ditutupi oleh kain linen putih, beserta lilin dan beberapa hiasan bunga-bunga di sekitar Altar, sehingga membuat Altar dalam gereja tersebut terkesan anggun. Misa Kudus pun dimulai tepat pukul 16.30 yang dipimpin oleh Rev. Pater Petrus Pahala O.Carm. Hampir setengah dari umat yang hadir adalah lansia, bapak-bapak, ibu-ibu dan sebagian kecil adapula anak muda. Nampak bahwa umat yang ada di stasi ini menganggap bahwa Perayaan Ekaristi hampir setara dengan perkawinan sanak saudaranya, karena hampir seluruh dari umat yang hadir mengenakan kemeja batik dilapis dengan jas dan kebaya, saya begitu mengapresiasi tinggi terhadap umat di stasi St. Paulus Pagelaran ini dimana mereka begitu menjungjung tinggi Kristus yang hadir secara utuh dalam Perayaan Ekaristi. Dan tentu berbeda jauh dengan tren anak muda zaman sekarang dimana kaum laki-laki yang hadir memakai baju seadanya saja sedangkan kaum wanita mengenakan baju yang lebih tepat dipakai di mall ketimbang didalam Misa.

Dalam homilinya, Pater Pahala mengajak setiap umat untuk mampu meneladani Kristus yang rendah hati dan penolong tanpa pamrih. Beliau menjelaskan bahwa pelayanan terhadap sesama adalah salah satu teladan dari murid Kristus yang sejati. Kristus melayani setiap orang bukannya untuk mencari pengikut yang banyak, Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang besar meskipun Ia adalah Allah sendiri yang telah mengambil rupa menjadi seorang manusia. Yesus membaktikan hidupNya dengan melayani setiap orang yang membutuhkan uluran tangannya, Ia melakukan semua hal itu untuk menunjukkan kepada kita bahwa inilah pelayanan yang sejati, dengan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah sebagai suatu persembahan yang hidup. Di penghujung Misa, Pater Pahala memberitahukan bahwa setelah Perayaan Misa ada kebiasaan bagi umat stasi St. Paulus untuk mendengarkan Katekese yang kali itu bertemakan tentang “Aku Percaya Akan Pengampunan Dosa” yaitu salah satu bagian yang penting dalam Kredo Gereja Katolik. Misa pun ditutup dengan berkat, setelah itu beberapa umat mulai mempersiapkan material-material yang diperlukan untuk presentasi, dalam katekesenya jujur saya mengganggap bahwa materi yang dibawakan oleh Pater Pahala ini tergolong cukup berat bagi umat yang berada di stasi terutama bagi para lansia. 

Senang mendengar katekese dari Pater Pahala, beliau menegaskan kembali bahwa seringkali banyak orang diluar Gereja Katolik secara sembarangan menuduh bahwa Gereja Katolik telah menjual surat pengampunan dosa, banyak umat Katolik yang melupakan Kristus sebagai satu-satunya sumber pengampunan dengan pergi mengakukan dosanya kepada Imam Katolik yang hanyalah seorang manusia. Pater Pahala menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Gereja Katolik berdasarkan pada ayat “” sehingga karena Gereja Katolik memiliki hubungan yang tak terputuskan dari zaman Gereja Para Rasul maka setiap Uskup dan Para Imam memiliki kuasa untuk memberikan absolusi pengampunan dosa, yang mengampuni dosa adalah Kristus sendiri namun para Imam karena rahmat tahbisan yang diterima, dengan perantaraan seorang Imam, menguduskan umatNya dengan pengampunan dosa. Setelah katekese yang berlangsung sekitar 20 menit itu usai, maka seluruh umat yang hadir diajak untuk menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Suster-suster HK. 

Setelah menyantap hidangan yang ada, saya pun segera menemui Pater Pahala untuk berbincang-bincang dengan Pater Pahala mengenai sejarah berdirinya bangunan gereja ini. Pater Pahala mengatakan kepada saya bahwa bangunan gereja itu telah berdiri sejak tahun 1928 dimana pada saat itu para penjajah Belanda memaksa masuk ke dalam stasi dan merusak sebagian besar interior didalam bangunan gereja. Pada awalnya bangunan gereja ini memiliki bagian interior yang lengkap yang menggambarkan bangunan gereja seyogyanya, memiliki dinding, Salib di atas menara dan sebuah lonceng. Salib yang ada di menara tersebut konon entah siang maupun malam hari akan memancarkan sebuah sinar, sehingga karena penduduk sekitar yang mayoritas beragama islam meminta agar pihak Gereja untuk menurunkan Salib tersebut. 

Bangunan gereja itu sendiri sudah terbengkalai dalam kurun waktu hampir 30 tahun sehingga pada awal tahun sekitar 1998, Kongregasi Suster Hati Kudus datang ke stasi tersebut dan merenovasi gereja, anehnya bagian depan bangunan gereja tidak dapat dihancurkan. Sehingga bangunan Gereja pun hanya di cat ulang untuk memperindah gereja stasi ini. Saya pun membalas, mengapa pada saat renovasi tidak ada pembangunan dinding gereja. Pater Pahala berucap bahwa itu sengaja dibiarkan untuk menggambarkan realita dari Gereja Katolik itu sendiri yang terbuka bagi setiap orang untuk masuk kedalamnya yang terpenting dari gereja adalah Gereja sebagai umat bukanlah gereja sebagai gedung. Saya pun meminta restu dari Pater Pahala untuk menerbitkan artikel pengalaman sekaligus sejarah singkat dari bangunan gereja stasi St. Paulus di blog Katolisitas Indonesia.

Demikian sharing pengalaman singkat saya dalam berkunjung ke stasi St. Paulus Pagelaran dan Kongregasi Hati Kudus. Bersama dengan artikel ini, saya mengucapkan terima kasih banyak terutama atas sambutan yang begitu hangat dari Kongregasi Suster Hati Kudus dan seluruh umat dari stasi St. Paulus. Dominus illuminatio mea!
 
Toggle Footer
Top