Terima Kasih Paus Emeritus Benediktus XVI!



Disini Katolisitas Indonesia akan mengarsipkan beberapa buah video terakhir yang telah dipersembahkan oleh Paus Emeritus Benediktus XVI kepada seluruh umat beriman misalnya dalam bentuk Audiensi, doa Angelus, Misa Kudus. 


Memang perlu disadari bahwa usia Beliau sudah sangat lanjut, dan kita harus tahu bahwa memegang tugas sebagai seorang Paus bukanlah sebuah tugas yang bisa dianggap enteng, Beliau bukan hanya menggembalakan umat Kristus yang Katolik namun juga harus memimpin negara Vatikan sebaik mungkin. 


Terkadang kita harus bersedih mengapa seorang Paus yang amat brilian ini bisa mengundurkan diri, namun kita juga harus bangga! Karena kita umat Katolik dan seluruh dunia adalah saksi nyata pengunduran diri seorang Paus dalam rentang waktu hampir 600 tahun.

















Dominus Illuminatio Mea!

Paus Emeritus Benediktus XVI: Saya Pergi Tetapi Kamu Harus Tetap Riang Gembira Dalam Iman!


Oleh Rev.Pater Markus Solo SVD

Cuaca di kota Roma hari ini tidak seperti biasanya. Rabu, 27 Pebruari 2013, sebuah hari musim dingin yang sangat indah. Matahari bersinar cerah sejak pagi. Inilah sebuah hari penting di dalam sejarah Gereja Katolik: Sri Paus Benediktus XVI tampil ke publik dalam upacara audiensi umum untuk terakhir kali setelah pengumuman pengunduran dirinya dua pekan lalu. 


Sejak pukul 07.00 pagi waktu Roma, peziarah-peziarah sudah memenuhi Via della Conciliazione, ruas jalan panjang membujur dari Lapangan Santo Petrus hingga sungai Tiber. Di ruas jalan itu pula sudah dipasang beberapa layar lebar. Di situ terdapat beberapa titik kontrol, selain dari arah Porta Santa Anna, tepi barat, dan Porta Sant’Angelo dari tepi arah timur Vatikan. Ribuan polisi dan aparat keamanan pun siaga sekeliling Vatikan. Para peziarah berjuang masuk ke Lapangan Santo Petrus dan mengambil tempat paling depan supaya bisa melihat Sri Paus dari dekat dan mengucapkan kata-kata pisah yang bisa didengar oleh Bapa Suci sendiri. Dari saat ke saat Lapangan Santo Petrus seperti digenangi lautan manusia. Mereka melambai-lambaikan berbagai bentuk dan ragam spanduk dengan tulisan bermacam-macam, seperti “Grazie Santo Padre” (Terima kasih Bapa Suci), atau “Arrivederci” (Sampai jumpa lagi), atau “Perga per noi” (doakan kami), dan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Mereka pula tidak henti-hentinya meneriakkan yel-yel “Benedetto”, nama Sri Paus dalam bahasa Italia. Kadang pula terdengar teriakan “Viva il Papa” dan diikuti oleh paduan suara campur yang menggetarkan suasana pagi ini. Tepat pkl. 10.35 pagi waktu Roma, Papa Mobil meluncur pelan, masuk ke Lapangan Santo Petrus dari samping kanan Basilika. Di belakangnya duduk sekretaris pribadi, Mgr Georg Gaenswein, yang sudah ditahbiskan beliau sendiri menjadi Uskup Agung tanggal 6 Januari lalu dan merangkap Kepala Rumah Tangga (prefettura) Sri Paus. 


Ketika melihat Papa Mobil, massa semakin kuat dan ramai meneriakkan yel-yel seraya bertepuk tangan meriah. Setelah melewati beberapa blok untuk menyalami massa dan disaluti oleh Musik Militer dari wilayah kelahirannya, Bavaria, Jerman, beliau naik ke Singgahsana, sebuah Kursi putih yang sudah akrab dengannya sejak 8 tahun ini. Seperti biasa, sebelum duduk, beliau merentangkan kedua tangan ke arah para hadirin, seolah-olah ingin merangkul mereka satu persatu. Di saat itu keharuan mulai terasa. 

Setelah rangkaian salam dan pembacaan dari Kitab Suci, beliau mulai membacakan wejangannya yang terakhir. Hadirin hening dan mendengar dengan penuh perhatian. Sering juga hadirin menyela Sri Paus dengan tepukan tangan panjang dan yel “Benedetto”, terutama ketika beliau mengungkapkan kata-kata peneguhan dan pujian yang masuk hingga ke lubuk hati pendengar.

Pertama-tama Sri Paus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah memilih dan mempercayakan tugas ini kepadanya. Kata paus, ”Delapan tahun lalu, ketika sudah jelas bahwa diri saya terpilih menjadi Paus, pertanyaan yang dominan di dalam hati saya adalah: Tuhan, apa yang Kau inginkan dariku? Mengapa Engkau memilih saya? Saya tahu bahwa sejak itu saya memikul beban berat di bahuku.” 

Lanjut paus, “Delapan tahun yang lalu adalah tahun-tahun yang indah dan penuh arti. Tetapi juga masa-masa penuh tantangan, sehingga Gereja ibarat bahtera para rasul yang terombang-ambing di danau Genesaret. Badai dan gelombang menerjang menimbulkan rasa takut dan panik, dan Tuhan tidur di buritan. Tetapi syukur, Tuhan tidak meninggalkan bahtera ini, karena bahtera ini bukan milik kita manusia atau milik saya pribadi, tetapi milik Tuhan sendiri.”

Mendengar kalimat itu, massa bertepuk tangan ramai sambil meneriakkan nama Sri Paus. Beliau sadar bahwa selama masa bakti, Tuhan senantiasa dekat dengan umat-Nya dan menganugerahkan segala yang perlu untuk kemajuan Gereja-Nya. 

Sri Paus juga mengungkapkan terima kasih kepada para pekerjanya di Tahta Suci Vatikan dan seluruh umat yang tersebar di seluruh dunia. Selama masa jabatannya, beliau betul merasakan dukungan dan kedekatan umat Katolik sejagad, sekalipun banyak dari mereka yang belum pernah berjumpa dengannya secara langsung.

Menjelang sambutannya yang berdurasi kurang lebih 20 menit itu, beliau meneguhkan hati dan iman umat Katolik sedunia. Kata paus nya dalam nada getar, “Saya pergi. Itu keputusan yang saya ambil dengan sukarela. Tetapi kamu harus tetap riang gembira di dalam iman. Saya pergi bukan untuk urusan pribadi. Saya pergi untuk membaktikan diri kepada doa untuk Gereja kita yang kita cintai ini. Tuhan yang memanggil kita ke dalam satu komunitas iman, akan tetap bersama kita, memenuhi hati kita dengan harapan dan menyinari kita dengan kasih-Nya tanpa batas.”

Usai sambutan terakhir ini, hadirin yang saat itu sudah membludak hingga ujung Via della Conciliazione berdiri, memberikan aplaus panjang. Lambaian bendera-bendera dan spanduk-spanduk kelihatan semakin tenang pertanda sedih. Sri Paus pun berdiri, melambaikan tangan kepada hadirin. Sebuah momentum kuat yang sempat menuai deraian air mata.

Upacara dilanjutkan dengan penyampaian ucapan Salam pisah dan terima kasih dari para hadirin yang diwakili melalui kelompok bahasa Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Portugis, Polandia dan Arab. 

Di akhir audiensi, Sri Paus dan hadirin bersama-sama menyanyikan lagu Bapa Kami di dalam bahasa Latin. Lalu beliau menutup dengan berkat terakhirnya sebagai Paus. 

Beliau turun tahta. Berjalan menuju Papa Mobil, mengambil tempat duduk. Papa Mobil turun perlahan dari pelataran Basilika menuju hadirin. Tahtanya, kursi putih, tinggal kosong. 

Sri Paus bergerak keluar, diiringi aplaus panjang, memanggil-manggil namanya dan seraya air mata tetap berderai. Di atas Papa Mobil beliau terus merentangkan kedua tangannya, seakan-akan ingin membawa pergi sekitar 200.000-an hadirin bersamanya. 

Rangkulan lengannya tentu terlalu pendek untuk jumlah sebesar ini, apalagi untuk umat Katolik sedunia. Tetapi di dalam doa dari atas bukti Mons Vaticanus, beliau dan seluruh umat Katolik di lima benua akan tetap bersatu. Terima kasih Bapa Suci Benediktus XVI.


"Bapa Suci yang terkasih mungkin Anda mengundurkan diri dari jabatan Anda sebagai Paus, namun saya percaya bahwa Anda  masih tetap bersama kami, di tengah tengah kami, menguatkan iman kami kepada Kristus. Terima kasih Paus Benediktus XVI, engkau telah memimpin Gereja Kristus satu-satunya yang satu, kudus, Katolik dan apostolik, kami bangga padamu! Doakanlah kami selalu!".

Pesan Bapa Suci Paus Benediktus XVI Untuk Masa Prapaskah 2013


“Percaya dalam amal membangkitkan amal”
“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yoh 4:16)
Saudara dan saudariku terkasih,

Perayaan Prapaskah, dalam konteks Tahun Iman, menawarkan kita kesempatan berharga untuk merenungkan hubungan antara iman dan amal: antara percaya dalam Allah – Allah dari Yesus Kristus – dan amal, yang merupakan buah dari Roh Kudus dan yang menuntun kita di jalan pengabdian kepada Allah dan sesama.

1. Iman sebagai tanggapan terhadap kasih Allah
Dalam Ensiklik pertama saya, saya menawarkan beberapa pemikiran tentang hubungan erat antara keutamaan iman dan amal kasih secara teologis. Berangkat dari pernyataan tegas yang mendasar dari Santo Yohanes: “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yoh 4:16), saya mengamati bahwa “menjadi Kristiani bukanlah hasil dari pilihan etis atau gagasan luhur, tetapi perjumpaan dengan suatu peristiwa, seseorang, yang memberi kehidupan suatu cakrawala baru dan suatu arah yang pasti … Karena Allah telah lebih dulu mengasihi kita (bdk. 1 Yoh 4:10), kasih kini tidak lagi menjadi ‘perintah’ belaka; kasih adalah tanggapan terhadap karunia kasih yang dengannya Allah mendekat kepada kita” (Deus Caritas Est, 1). Iman ini merupakan ketaatan pribadi – yang melibatkan seluruh pancaindera kita – bagi pernyataan kasih Allah yang tanpa syarat dan “penuh gairah” bagi kita, sepenuhnya terungkap dalam Yesus Kristus. Perjumpaan dengan Allah yang adalah Kasih melibatkan tidak hanya batin tapi juga akal budi: “Pengakuan akan Allah yang hidup adalah salah satu jalan menuju kasih, dan ‘ya’ dari kehendak kita terhadap kehendak-Nya menyatukan akal budi, kehendak dan perasaan kita dalam seluruh pelukan tindakan kasih. Tetapi proses ini selalu akhir yang terbuka; kasih tidak pernah ‘selesai’ dan lengkap”( Deus Caritas Est, 17). Oleh karena itu, untuk semua orang Kristiani, dan terutama untuk “pekerja amal”, ada kebutuhan untuk iman, untuk “supaya perjumpaan dengan Allah di dalam Kristus yang membangkitkan kasih mereka dan membuka jiwa mereka bagi orang lain. Akibatnya, sehingga boleh dikatakan, kasih kepada sesama tidak akan lagi bagi mereka perintah yang dibebankan dari luar, melainkan suatu konsekuensi yang berasal dari iman mereka, iman yang menjadi aktif melalui kasih “(Deus Caritas Est, 31a). Orang-orang Kristiani adalah orang-orang yang telah ditaklukkan oleh kasih Kristus dan oleh karena itu, di bawah pengaruh kasih itu – “Caritas Christi urget nos” (2 Kor 5:14) – mereka amatlah terbuka untuk mengasihi sesama mereka dengan cara nyata (bdk. Deus Caritas Est, 33). Sikap ini muncul terutama dari kesadaran dikasihi, diampuni, dan bahkan dilayani oleh Tuhan, yang membungkuk untuk mencuci kaki para Rasul dan memberikan diri-Nya di kayu Salib untuk menarik umat manusia ke dalam kasih Allah.
Iman mengatakan kepada kita bahwa Allah telah memberikan Putra-Nya demi kita dan memberi kita kepastian kemenangan sehingga hal itu sungguh benar: Allah adalah kasih! ….. Iman, yang melihat kasih Allah dinyatakan dalam hati Yesus yang tertikam di kayu Salib, menimbulkan kasih. Kasih adalah cahaya -, dan pada akhirnya, satu-satunya cahaya – yang dapat selalu menerangi dunia yang meredup dan memberi kita kegigihan yang diperlukan untuk tetap hidup dan bekerja” (Deus Caritas Est, 39). Semua ini membantu kita untuk memahami bahwa tanda dasariah yang membedakan orang-orang Kristiani adalah justru “kasih yang didasarkan pada dan dibentuk oleh iman” (Deus Caritas Est, 7).
2. Amal sebagai kehidupan dalam iman
Seluruh kehidupan Kristiani adalah tanggapan terhadap kasih Allah. Tanggapan pertama justru adalah iman sebagai penerimaan, yang dipenuhi dengan takjub dan syukur, akan prakarsa ilahi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendahului kita dan mengetengahkan kita. Dan “ya” dari iman menandai awal dari sebuah kisah persahabatan yang berseri-seri dengan Tuhan, yang memenuhi dan memberi makna penuh bagi seluruh hidup kita. Tapi itu tidak mencukupi bagi Allah karena kita hanya menerima kasih-Nya yang tanpa syarat. Tidak hanya membuat Ia mengasihi kita, tetapi Ia hendak menarik kita kepada diri-Nya sendiri, untuk mengubah kita sedemikian mendalamnya sehingga membawa kita untuk berkata bersama Santo Paulus : “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (bdk. Gal 2:20).
Ketika kita membuat ruang bagi kasih Allah, maka kita menjadi seperti Dia, berbagi dalam amal milik-Nya. Jika kita membuka diri terhadap kasih-Nya, kita memperbolehkan Dia untuk hidup dalam kita dan membawa kita untuk mengasihi bersama Dia, dalam Dia dan seperti Dia; hanya berlaku demikian iman kita menjadi benar-benar “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6), hanya berlaku demudian Dia tinggal di dalam kita (bdk. 1 Yoh 4:12).
Iman adalah memahami kebenaran dan mematuhinya (bdk. 1 Tim 2:4); amal adalah “berjalan” dalam kebenaran (bdk. Ef 4:15). Melalui iman kita masuk ke dalam persahabatan dengan Tuhan, melalui amal persahabatan ini dihidupkan dan ditumbuhkembangkan (bdk. Yoh 15:14dst). Iman menjadikan kita merangkul perintah Tuhan dan Guru kita; amal memberi kita kebahagiaan mempraktekkannya (bdk. Yoh 13:13-17). Dalam iman kita diperanakkan sebagai anak-anak Allah (bdk. Yoh 1:12dst); amal menjadikan kita bertekun secara nyata dalam keputraan ilahi kita, menghasilkan buah Roh Kudus (bdk. Gal 5:22). Iman memampukan kita untuk mengenali karunia yang telah dipercayakan Allah yang baik dan murah hati kepada kita; amal membuat mereka berbuah (bdk. Mat 25:14-30).
3. Keterkaitan yang tak terpisahkan dari iman dan amal
Dalam terang di atas, jelaslah bahwa kita tidak pernah bisa memisahkan, apalagi dengan sendirinya mempertentangkan, iman dan amal. Kedua keutamaan teologis ini terkait erat, dan adalah menyesatkan untuk menempatkan perlawanan atau “dialektika” di antara mereka. Di satu sisi, akan terlalu sepihak untuk menempatkan penekanan kuat pada prioritas dan ketegasan iman serta merendahkan dan hampir-hampir meremehkan karya amal nyata, mengecilkan karya itu ke paham kemanusiaan yang samar-samar. Di sisi lain, meskipun, sama-sama tidak membantu untuk melebih-lebihkan keunggulan amal dan kegiatan yang dihasilkannya, seakan-akan karya bisa mengambil tempat iman. Bagi kehidupan rohani yang sehat, perlu untuk menghindari baik fideisme maupun aktivisme moral.
Kehidupan Kristiani mencakup secara terus-menerus pendakian gunung untuk berjumpa Allah dan kemudian turun kembali, memberikan kasih dan kekuatan yang diambil dari-Nya, agar supaya melayani saudara dan saudari kita dengan kasih Allah sendiri. Dalam Kitab Suci, kita melihat bagaimana semangat para Rasul untuk mewartakan Injil dan membangkitkan iman orang-orang terkait erat dengan kepedulian mereka yang bersifat amal untuk pelayanan kepada kaum miskin (bdk. Kis 6:1-4). Dalam Gereja, kontemplasi dan aksi, yang dilambangkan dalam beberapa cara oleh tokoh Injil, Maria dan Marta, harus saling berdampingan dan saling melengkapi (bdk. Luk 10:38-42). Hubungan dengan Allah harus selalu menjadi prioritas, dan setiap pembagian harta benda, dalam semangat Injil, harus berakar dalam iman (bdk. Audiensi Umum, 25 April 2012). Kadang-kadang kita cenderung, pada kenyataannya, mengecilkan istilah “amal” untuk solidaritas atau bantuan kemanusiaan belaka. Namun, penting diingat bahwa karya terbesar dari amal adalah evangelisasi, yang adalah “pemerintahan sabda”. Tidak ada tindakan yang lebih bermanfaat – dan karena itu lebih beramal – terhadap salah seorang dari sesama daripada memecahkan roti sabda Allah, berbagi bersama Dia Kabar Baik akan Injil, memperkenalkan Dia kepada hubungan dengan Allah: evangelisasi adalah yang promosi tertinggi dan paling menyeluruh dari pribadi manusia. Sebagai hamba Allah Paus Paulus VI menulis dalam Ensiklik Populorum Progressio, pernyataan akan Kristus adalah penyumbang pertama dan utama bagi pembangunan (bdk. no. 16). Ini adalah kebenaran primordial kasih Allah bagi kita, yang hidup dan dinyatakan, yang membuka hidup kita untuk menerima kasih ini dan memungkinkan pengembangan menyeluruh dari kemanusiaan dan dari setiap orang (bdk. Caritas in Veritate, 8).
Pada dasarnya, segala sesuatu berasal dari Kasih dan cenderung menuju Kasih. Kasih Allah yang tanpa syarat dibuat kenal kepada kita melalui pewartaan Injil. Jika kita menyambutnya dengan iman, kita menerima kontak pertama dan sangat diperlukan dengan Yang Ilahi, mampu membuat kita “jatuh cinta dengan Kasih”, dan kemudian kita tinggal di dalam Kasih ini, kita tumbuh di dalamnya dan kita dengan sukacita mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Mengenai hubungan antara iman dan karya amal, ada bagian dalam Surat Efesus yang mungkin menyajikan catatan terbaik keterkaitan antara keduanya : “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (2:8-10). Dapat dilihat di sini bahwa prakarsa penebusan seluruhnya berasal dari Allah, dari kasih karunia-Nya, dari pengampunan-Nya yang diterima dalam iman; tetapi prakarsa ini, jauh dari pembatasan kebebasan kita dan tanggung jawab kita, sebenarnya adalah apa yang membuat mereka otentik dan mengarahkan mereka menuju karya amal. Ini terutama bukan hasil dari usaha manusia, yang di dalamnya mengandung kebanggaan, tetapi karya amal tersebut lahir dari iman dan karya amal itu mengalir dari kasih karunia yang diberikan Allah dalam kelimpahan. Iman tanpa perbuatan adalah seperti pohon tanpa buah: dua keutamaan saling memaknai. Masa Prapaskah mengundang kita, melalui praktek-praktek tradisional dari kehidupan Kristiani, memelihara iman kita dengan seksama dan memperbesar pendengaran akan sabda Allah serta dengan penerimaan sakramen-sakramen, dan pada saat yang sama bertumbuh dalam amal dan dalam kasih kepada Allah dan sesama, tidak sekedar melalui praktik puasa, pengampunan dosa dan derma.
4. Pengutamaan iman, keunggulan amal
Seperti setiap karunia Allah, iman dan amal memiliki asal mereka dalam tindakan Roh Kudus yang satu dan sama (bdk. 1 Kor 13), Roh dalam diri kita yang berseru “Abba, Bapa” (Gal 4:6), dan membuat kita berkata: “Yesus adalah Tuhan!” (1 Kor 12:3) dan “Maranatha!” (1 Kor 16:22, Why 22:20). Iman, sebagai karunia dan tanggapan, menjadikan kita mengetahui kebenaran Kristus sebagai Kasih yang menjelma dan disalibkan, sebagai ketaatan penuh dan sempurna pada kehendak dan rahmat ilahi yang tak terbatas terhadap sesama; iman tertanam dalam hati dan memikirkan keyakinan teguh bahwa hanya Kasih ini mampu menaklukkan kejahatan dan kematian. Iman mengajak kita untuk melihat ke masa depan dengan keutamaan harapan, dengan pengharapan yang pasti bahwa kemenangan kasih Kristus akan datang kepada penggenapannya. Untuk bagian ini, amal mengantar kita ke dalam kasih Allah yang terwujud dalam Kristus dan menggabungkan kita dalam cara yang bersifat pribadi dan nyata terhadap pemberian diri Yesus yang menyeluruh dan tanpa syarat kepada Bapa serta saudara dan saudari-Nya. Dengan memenuhi hati kita dengan kasih-Nya, Roh Kudus membuat kita mengambil bagian dalam pengabdian Yesus kepada Allah dan pengabdian persaudaraan bagi setiap orang (bdk. Rm 5:5).
Hubungan antara kedua keutamaan ini menyerupai antara dua sakramen dasariah Gereja: Baptis dan Ekaristi. Baptis (sacramentum fidei) mendahului Ekaristi (sacramentum caritatis), tetapi diarahkan kepadanya, Ekaristi menjadi kepenuhan perjalanan Kristiani. Dalam cara yang sama, iman mendahului amal, tetapi iman adalah sejati hanya jika dimahkotai oleh amal. Segala sesuatu dimulai dari penerimaan iman yang sederhana (“mengetahui bahwa manusia dikasihi oleh Allah”), tetapi harus sampai pada kebenaran amal (“mengetahui bagaimana untuk mengasihi Allah dan sesama”), yang tetap untuk selama-lamanya, sebagai pemenuhan semua keutamaan (bdk. 1 Kor 13:13).
Saudara dan saudari terkasih, dalam Masa Prapaskah ini, ketika kita mempersiapkan diri untuk merayakan peristiwa Salib dan Kebangkitan – di dalamnya kasih Allah menebus dunia dan menyorotkan cahayanya di atas sejarah – Saya mengungkapkan kehendak saya sehingga Anda semua dapat menghabiskan waktu berharga ini menyalakan kembali iman Anda dalam Yesus Kristus, agar supaya masuk bersama Dia ke dalam kasih dinamis bagi Bapa dan bagi setiap saudara dan saudari yang kita jumpai dalam kehidupan kita. Untuk maksud ini, saya memanjatkan doa saya kepada Allah, dan saya memohonkan berkat Tuhan atas setiap orang dan atas setiap komunitas!
Dari Vatikan, 15 Oktober 2012

BENEDIKTUS XVI

Paus Benediktus XVI Mengundurkan Diri


Pada tanggal 11 Februari 2013, Bapa Suci Paus Benediktus XVI yang mengambil nama dari St. Benediktus dari Nursia sebagai nama kepausannya, yang mulai menjabat sebagai Paus pada tahun 2005 silam, di usianya yang kini menginjak umur 85 tahun dan dilatarbelakangi oleh kondisi kesehatannya yang semakin menurun beberapa bulan terakhir. Secara resmi mengumumkan lewat Radio Vatikan bahwa Beliau akan mengundurkan diri pada 28 Februari 2013 pukul 20.00 waktu setempat. 

Berikut adalah isi pidato Paus Benediktus hari ini seperti yang dimuat di Radio Vatikan
Saudara (i) yang saya kasihi,
Saya menghimpun anda sekalian pada konsistori (pertemuan) ini bukan saja untuk tiga kanonisasi tapi juga untuk mengumumkan kepada anda semua akan keputusan yang sangat penting bagi kehidupan Gereja.

Setelah berulang kali memeriksa batin saya di hadapan Tuhan. Saya akhirnya sampai pada keyakinan bahwa kekuatan saya, yang karena usia yang semakin lanjut, tidak lagi cocok untuk menjalankan tugas pelayanan yang diwarikan oleh St Petrus ini.

Saya sangat sadar akan pelayanan ini, karena esensi spiritualnya, harus dijalankan bukan saja dengan kata-kata dan perbuatan, tapi juga dengan doa dan penderitaan.

Namun dalam zaman sekarang ini, yang selalu mengalami banyak perubahan dan ditantang oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat berkaitan dengan kehidupan iman, demi menjaga tahta Santo Petrus dan penyebaran Injil, baik kekuatan pikiran maupun fisik sangat diperlukan, kekuatan yang selama beberapa bulan terakhir dalam diri saya sudah melemah sehingga saya harus mengakui ketidakberdayaan saya untuk menjalankan misi yang dipercayakan kepada saya ini secara penuh.

Atas alasan itu dan sadar akan dampak serius dari keputusan ini, dengan kebebasan yang penuh saya mengumumkan bahwa saya tidak lagi melanjutkan pelayanan sebagai Uskup Roma, Pewaris Tahkta St Petrus, yang dipercayakan kepada saya oleh para Kardinal pada 19 April 2005, yang mana bahwa pada tanggal 28 Februari 2013, jam 20:00, Tahta Suci, Tahkta Santo Petrus, akan kosong dan suatu Konklaf untuk memilih Paus baru akan dilaksanakan oleh mereka yang berkompeten.

Saudara (i) yang saya kasihi, saya mengucapkan terima kasih atas segala cinta dan kerja yang sudah kalian tunjukkan untuk mendukung saya dalam pelayanan saya dan saya meminta maaf atas segala kekurangan saya.

Dan sekarang, mari kita percayakan Gereja Kudus ini ke dalam penyelenggaraan Sang Gembala Utama, Tuhan Kita Yesus Kristus dan memohon kepada Bunda Maria, sehingga ia menuntun para Kardinal dengan semangat keibuannya, dalam memilih Paus yang baru. Mengenai diri saya, saya akan tetap mempersembahkan diri saya utuk pelayanan Gereja Kudus di masa mendatang melalui kehidupan yang khusus didedikasikan untuk berdoa.

Vatikan, 10 Februari 2013
Paus Benediktus XVI (sumber)
Paus Benediktus XVI yang memiliki nama asli Joseph Alois Ratzinger lahir di sebuah kota di negara Jerman bernama Bayern pada tanggal 16 April 1927, dan Paus Benediktus XVI tercatat sebagai Paus tertua yang dilantik dalam 275 tahun terakhir sejak Paus Klemens XII (yang terpilih pada tahun 1730 pada umur 3 bulan lebih tua dari Ratzinger). Paus terakhir yang bergelar nama kepausan Benediktus, Paus Benediktus XV, bertugas sebagai dari 1914 hingga 1922 pada masa Perang Dunia I.
Berita pengunduran ini tentu saja telah mengejutkan banyak pihak. Secara pribadi saya terkejut sekaligus juga marah melihat berita ini. Mengapa? Karena jasa Beliau yang berdampak amat besar bagi pertumbuhan iman Gereja Katolik! Dan atas inisiatif Beliaulah Gereja Katolik mengadakan tahun iman, tahun dimana kita diajak untuk memperdalam pengetahuan iman kita akan Gereja Katolik. Dilain pihak Beliau adalah seorang guru yang amat brilian, yang memberikan pengajaran yang luar biasa selama masa kepausannya dan mampu mengatasi berbagai macam persoalan dengan analisanya terhadap suatu masalah yang kompeten. Dan amat disayangkan bila Beliau mengundurkan diri.

Paus Benediktus XVI, berdasarkan sejarah Gereja Katolik, bukanlah satu-satunya Paus yang mengundurkan diri. Bapa Suci dapat mengundurkan diri apabila Ia menghendakinya. Juru bicara Vatikan Pastor Federico Lombardi SJ menjelaskan, pengunduran diri Paus ini merujuk pada Kitab Hukum Kanonik Kanon 332 no.2, yang menyatakan "Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun". Rencananya, Bapa Suci akan tinggal di Castel Gandolfo untuk sementara waktu setelah mengundurkan diri. Kemudian, setelah renovasi biara tertutup di Vatikan selesai, Paus Benediktus rencana akan tinggal di sana. 

Ada beberapa Paus yang mengundurkan diri dari jabatannya diantaranya adalah:
Paus Santo Pontianus, Paus berkebangsaan Roma dan putra dari Calpurnius ini memimpin Gereja Kristus yang Katolik dari tahun 230 sampai 235. Hari kelahirannya dan kisah hidup masa mudanya tidak diketahui. Masa awal pontifikatnya ditandai dengan perlawanan keras terhadap skisma yang ditimbulkan oleh Hippolitus, seorang penulis terkenal pada masa Gereja Purba. Kecuali itu, ia mengadakan sebuah sinode untuk memperkuat hukuman terhadap Origenes yang menyebarkan ajaran sesat.

Pontianus kemudian dijatuhi hukuman pembuangan oleh Kaisar Maksimianus Thracianus (235-238) yang melancarkan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Bersama Hippolitus dan jemaat Kristen lainnya, Pontianus dibuang ke Sardinia. Agar supaya Gereja tidak mengalami kekosongan kepemimpinan, Pontianus melepaskan jabatannya sebagai Paus dan diganti oleh Anterus pada tanggal 21 November 235. Di Sardinia, Pontianus mengalami banyak penderitaan dan akhirnya menghembuskan nafas karena penganiyaan atas dirinya. Hippolitus juga meninggal di Sardinia. Sebelumnya, ia mengakui kesalahannya dan berdamai dengan Gereja.

Dari kiri-kanan: Paus St. Marcellinus,  Benediktus IX, Selestine V, Gregory XII
Paus lain yang mengundurkan diri setelah itu adalah Santo Selestine V, Santo Selestine V adalah seorang biarawan Benediktin yang terkenal akan kehidupan spiritualnya yang ketat dan telah dipilih oleh Kristus untuk memimpin Gereja satu-satuNya sebagai seorang Paus yaitu pada tanggal 5 Juli 1294 dan dinobatkan pada tanggal 29 Agustus. Segera saja Ia menjadi korban muslihat kaum bangsawan. Ia mengundurkan diri pada tanggal 13 Desember 1924 dan kembali ke biaranya. Paus St Selestine wafat pada tanggal 19 Mei 1295.

Setelah tanggal 28 Februari nanti, Takhta Suci Santo Petrus di Vatikan akan memasuki fase "Sede vacante", di mana para Kardinal Gereja Katolik akan mempersiapkan hati mereka kepada Allah untuk melaksanakan konklaf untuk memilih Penerus Apostolik Santo Petrus berikutnya.

Andai kata jika Paus Benediktus XVI membaca tulisan ini maka ada sedikit pesan yang hendak saya sampaikan. "Bapa Suci yang terkasih mungkin Anda mengundurkan diri dari jabatan Anda sebagai Paus, namun saya percaya bahwa Anda  masih tetap bersama kami, di tengah tengah kami, menguatkan iman kami kepada Kristus. Terima kasih Paus Benediktus XVI, engkau telah memimpin Gereja Kristus satu-satunya yang satu, kudus, Katolik dan apostolik, kami bangga padamu! Doakanlah kami selalu!".


Referensi:

Dominus illuminatio mea! 

Mukjizat Ekaristi di Regensburg


Pada Hari Kamis Putih tanggal 25 Maret 1955 di sebuah kota di negara Jerman bernama Regensburg, alkisah ada seorang Imam yang sedang bergegas pergi untuk memberikan viaticum (komuni terakhir bagi orang yang hampir mendekati ajal) bagi seorang yang sedang terbaring hampir mati. Ketika Ia hampir tiba di kota, Imam tersebut  malah dihadang oleh sebuah sungai yang meluap karena badai. Penduduk setempat biasanya menggunakan sebuah papan kayu untuk dapat menyeberangi sungai tersebut, sehingga mau tidak mau imam tersebut harus menggunakan papan kayu untuk menyeberangi sungai! Karena tidak ada lagi kesempatan untuk berpikir 2 kali karena orang yang akan diberi komuni hampir mati! 

Relativisme Iman= Racun Bagi Iman Katolik


Gereja Katolik di masa kini menghadapi sebuah persoalan yang dimana, pemahaman keliru ini muncul akibat lemahnya katekisasi di antara umat Katolik dan juga lemahnya iman, hal itu adalah “relativisme iman”. Kardinal Joseph Ratzinger yang sekarang menjabat sebagai Paus Emeritus pernah mengatakan bahwa satu bahaya besar bagi Gereja Katolik adalah tersebarnya "relativisme iman". Dalam kesempatan ini pun, Beliau juga menegaskan, "definisi-definisi jelas dari iman seseorang akan membantu semua pihak, termasuk partner dalam dialog". Dengan kata lain, dialog hanya bisa terjadi justru kalau masing-masing pihak sungguh meyakini imannya. Di sini terlihat kembali keyakinan Ratzinger bahwa dialog antar-agama tidak boleh jatuh menjadi suatu sikap yang mengagungkan "relativisme iman".


Dalam konteks dialog antar-agama, sebuah sikap yang biasa muncul adalah sikap yang begitu saja menganggap bahwa semua iman itu sama! Sikap semacam ini mengidentikkan "toleransi" dengan "relativisme". Toleransi adalah sikap yang memperlihatkan kesediaan tulus untuk mengangkat, memikul, menopang bersama perbedaan yang ada antara satu agama dan agama lain. Relativisme adalah suatu keyakinan bahwa tidak ada kebenaran absolut, semua kebenaran itu relatif. Sehingga membuat umat bersikap menghayati iman bukan dengan keyakinan dan kebenaran mutlak yang ada didalam Gereja Katolik melainkan dengan pemutlakan adanya hubungan dengan iman lain.

Apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi arus relativisme iman ini sebagai umat beriman? 
“We are moving toward a dictatorship of relativism which does not recognize anything as definitive and has as its highest value one’s own ego and one’s own desires… The church needs to withstand the tides of trends and the latest novelties…. We must become mature in this adult faith, we must guide the flock of Christ to this faith.” (sumber)
Seperti apa Iman dewasa didalam Gereja Katolik?
Dalam beberapa dekade terakhir ini ekspresi ‘iman dewasa‘ [fede adulta ...] telah menjadi sebuah slogan yang merebak. [Istilah ini] sering digunakan dalam hubungan dengan sikap-sikap dari mereka yang tidak lagi memperhatikan apa yang dikatakan Gereja dan Gembala-gembalanya — yaitu, mereka yang memilih bagi diri sendiri apa yang dipercayai atau apa yang tidak dipercayai bagai sebuah iman ‘do-it-yourself’. Mengekspresikan diri sendiri melawan Magisterium Gereja dipandang sebagai suatu ‘keberanian’, padahal pada faktanya tidak banyak keberanian diperlukan karena orang tersebut bisa dipastikan akan menerima pujian dari publik.

Alih-alih, keberanian diperlukan untuk memegang teguh iman Gereja, meskipun [tindakan ini] mengkontradiksi ‘tatanan’ dunia saat ini. Paulus menyebut non-konformisme ini dengan sebutan ‘iman dewasa’. Baginya, mengikuti hembusan angin dan arus waktu saat ini adalah [sesuatu yang] kekanak-kanakan.

Atas alasan ini, adalah bagian dari sebuah iman dewasa untuk mendedikasikan diri sendiri kepada ke-tak-dapat-di-ganggu-an hidup sejak dari awal, dan oleh karenanya melawan prinsip dari kekerasan dalam membela yang paling tidak berdaya. Adalah bagian dari sebuah iman dewasa untuk mengenali perkawinan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita sesuai tatanan sang Pencipta, [yang] ditetapkan kembali oleh Kristus. Sebuah iman dewasa tidak mengikuti [trend yang berlaku]. [Sebuah iman dewasa] berdiri melawan angin [trend yang berlaku].
Benediktus XVI
Homili – Vespers Pertama Pesta Santo Petrus dan Paulus
28 Juni 2009

Dengan demikian, sebagai penutup artikel ini sebuah kutipan yang hendaknya kita renungkan sebagai umat Katolik “saat Gereja Katolik mengajarkan kasih banyak umat Katolik yang menjadi senang namun saat Gereja Katolik mengajarkan kasih dalam kebenaran banyak umat Katolik yang mulai tidak setuju dan tidak senang dan inilah buah dari kediktatoran relativisme iman."

Dominus Illuminatio Mea!
 
Toggle Footer
Top