Tanda Salib Didalam Gereja Katolik


Oleh Bryan Burroughs

Meski telah memberontak terhadap Gereja Katolik 5 abad yang lalu, Protestant masih sepakat dengan Katolik dalam mengakui salib sebagai simbol yang unik bagi kekristenan. Banyak yang menempatkan simbol salib di Alkitab, mimbar, stiker mobil dan lain-lain. Namun kebanyakan Protestan menolak ide untuk menempatkan suatu tanda salib pada diri mereka sendiri. Penolakan ini merupakan pengabaian sejarah kuno Kristen dimana tanda salib adalah suatu alat bantu purba bagi umat Kristen. Tanda salib mencerminkan realitas Alkitab. Salib Kristus adalah persimpangan (karena bentuknya yang saling melalui) sejarah dan peristiwa sentral di Kitab Suci. Seperti pada tahun Liturgi Gereja dimana Jumat Agung merupakan persimpangan antara masa Advent dan dan Paskah, maka begitu juga Penyaliban adalah persimpangan antara Inkarnasi dan Kebangkitan.

Kitab Suci mengajarkan bahwa tujuan dari lahirnya Putra Allah adalah supaya Dia mati. Dia datang untuk menebus dan mengembalikan umatNya – GerejaNya. Kita seharusnya mengenakan salib terhadap diri kita sendiri untuk mengenang realitas dari peristiwa Penyaliban. 
Yohanes Krysostomus (John Chrysostom), Uskup Konstantinopel (sekarang Turki) pada abad ke empat mengenali sifat alkitabiah dari tanda salib. Dia menganjurkan umatnya, “Ketika, karenanya, engkau menandai dirimu sendiri, pikirkanlah tujuan dari salib, dan peraslah habis kemarahanmu atau nafsumu yang lain. Pertimbangkanlah harga yang telah dibayarkan kepadamu.” 

Mungkin bisa ditanyakan: Bila tanda salib adalah suatu realitas Alkitab, kenapa Protestant yang mengklaim percaya Kitab Suci menolak tanda tersebut? 

Jawabannya terletak pada prinsip Sola Scriptua dari Protestantisme. Bila ada sesuatu yang tidak secara eksplisit disebutkan di Kitab Suci, maka menurut standard Sola Scriptura, hal tersebut tidak bisa diterima [sebagai patokan iman yang tidak dapat salah]. Protestant begitu meyakini prisip yang tidak pernah ada di Alkitab ini. Umat Katolik menolak prinsip Sola Scriptura dan mengacu kepada Gereja untuk menjelaskan kebenaran Alkitab. Dan Gereja telah mengajarkan kegunaan dari tanda salib selama berabad-abad. Apologist Kristen awal, Tertullian, menulis, “Di semua perjalanan dan pergerakan kita, dalam semua masuknya dan keluarnya kita, ketika kita mengenakan sepatu, di kamar mandi, di meja, ketika menyalakan lilin, ketika berbaring, ketika duduk, apapun pekerjaan yang menyibukkan kita, kita menandai dahi kita dengan tanda salib.” 

Athanasius, Uskup besar dari Alexandria yang hampir secara sendirian mempertahankan ortodoksi kekristenan melawan bidaah Arianism, mengajarkan umatnya bahwa “dengan tanda salib … semua ilmu magis ditolak, semua ilmu sihir dipunahkan dan semua berhala ditinggalkan … dan semua kenikmatan yang sia-sia berhenti, ketika mata iman melihat dari Bumi ke Surga.” 

Sirilius dari Yerusalem mengikuti Tertullian ketika dia juga menganjurkan Gereja: “Marilah kita tidak menjadi malu untuk mengakui sang tersalib. Biarlah salib, sebagai materai kita, dibuat secara berani dengan menggunakan jari kita, diatas alis kita dan disemua kesempatan atas roti yang kita makan, atas cawan yang kita minum, dalam kedatangan dan kepergian kita, sebelum tidur, ketika berbaring dan bangun, ketika kita dalam perjalanan dan ketika kita diam.” 

Uskup besar Cappadocia, yaitu Basil, mengajarkan bahwa tanda salib adalah tradisi yang berasal dari para rasul, “yang mengajarkan kita untuk menandai dengan tanda salib mereka yang menaruh harapan pada nama Tuhan.” 

Bahkan Martin Luther menganjurkan pengikutnya untuk menggunakan tanda salib. Dalam Katekismus tahun 1529 tulisan Luther, dia menginstruksikan para bapak untuk mengajari keluarga mereka berikut ini: “Di pagi hari, ketika engkau bangun dari tempat tidur, tandailah dirimu dengan salib suci dan katakan, ‘Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin.’ … Di malam hari, ketika engkau pergi tidur, tandailah dirimu dengan salib suci dan katakan, ‘Dalam nama Bapa, Putra dan, Roh Kudus, Amen.’” 

Umat Kristen yang menolak tanda salib sebenarnya memberontak akarnya sendiri dan bersalah atas apa yang disebut C.S. Lewis “kesombongan kronologis” yaitu suatu kesombongan atas pemikiran modern (Catatan: pemikiranyang modern adalah yang selalu benar). Padahal, kita seharusnya belajar dari pendahulu kita, dan karenanya [ada baiknya] mengikuti kebijaksanaan Bernard dari Chartres, yang mengakui bahwa sejarah Gereja membuat kita bagaikan “cebol yang berdiri diatas bahu sang raksasa.” 

Filosofis dari Selatan Marion Montgomery menulis perlunya mendapatkan kembali “hal-hal yang diketahui tapi telah terlupa” Kita umat Kristen, yang terbatas dan jatuh [dalam dosa], harus diingatkan siapa kita sebenarnya: [yaitu] subyek dan anak Allah. “Kita mempunyai tanda salib di jiwa kita,” tulis St Augustine, dan menempatkan tanda pada diri kita mengingatkan kita pada kebenaran tersebut. 

Pada karya klasiknya screwtape Letters, C.S. Lewis menyingkap suatu pemahaman yang mengesankan akan sifat dari manusia. Sebagai Iblis senior di jenjang bawah kepemimpinan neraka, Screwtape menulis kepada si penggoda yunior, Wormwood, petunjuk-petunjuk berguna mengenai bagaimana manusia bisa dibujuk dengan godaan-godaan. Salah satu bimbingan dari Screwtape mengenai hubungan antara tubuh dan jiwa, secara khusus mengenai hubungan antara berdoa dan berlutut. Dia berkata; “Paling tidak, [manusia] bisa dibujuk bahwa posisi tubuh tidaklah penting dalam berdoa, karena mereka selalu lupa, apa yang kamu [Wormwood] harus ingat, bahwa mereka adalah binatang dan bahwa apa yang dilakukan tubuh mereka mempengaruhi jiwa mereka.” 

Point yang dikatakan Lewis ini sangat dalam maknanya. Berlutut mengingatkan kita akan kepada siapa kita berdoa, dan karenanya membuat kita lebih bersikap doa.Dengan cara yang sama, membuat tanda salib mengingatkan kita kepada Dia yang membeli kita dengan badanNya sendiri, dan ingatan ini mengarahkan kita kepada kekudusan. 
Sebagai pembenaran atas penolakan mereka terhadap tanda salib, Protestant menunjukkan pelecehan-pelecehan [akan penggunaan tanda salib], seperti ketika seorang pemain Baseball melakukan tanda salib sebelum keluar dari kotak pemukul (tempat para pemukul duduk sebelum giliran mereka memukul). Selain point tersebut tidak masuk akal karena kita tidak bisa menilai motivasi dari pemain tersebut, argumen yang dikeluarkan Protestant melupakan bahwa banyak hal-hal yang sebenarnya baik tidak jarang kemudian dilecehkan atau dipalsukan, namun kita tidak menolak kebaikan dari hal-hal tersebut. 

St Agustinus menolak kekeliruan argumen tersebut 16 abad yang lalu dengan mengajarkan bahwa “pelecehan tidak mengecualikan penggunaan.” Penggunaan yang tidak pantas atas suatu obyek tidak berarti kita menggunakan penggunaan yang tepat dan karenanya kita umat Katolik akan menolak prasangka Protestant dan akan terus menandai diri sendiri dengan Tanda Salib. 

sumber:Ekaristi.org 
Dominus illuminatio mea!
 
Toggle Footer
Top