Saudara-saudari yang dikasihi Kristus,
Pax et Bonum!
Hari ini, tanggal 21 Agustus,kita memperingati Santo
Pius X (1835-1914), seorang Pemimpin Gereja yang besar. Orang kudus ini lahir
dengan nama Guiseppe (Yosef) Sarto di desa kecil yang bernama Riese (Venesia,
Italia bagian utara). Orangtuanya bukanlah orang penting atau ternama di mata masyarakat,
namun mereka adalah orang-orang Katolik yang saleh. Mereka mengasuh dan
membesarkan anak-anak mereka yang sepuluh orang itu dalam suatu zaman ‘susah’.
Pastor paroki sangat tertarik pada diri Guiseppe,
sang pemimpin para putera altar yang berperilaku baik itu. Dia membantu
Guiseppe dalam pendidikannya. Pada tahun 1858 Guiseppe ditahbiskan sebagai
seorang imam praja. Sembilan tahun lamanya dia bertugas sebagai imam tentara di
Tombolo. Tombolo terletak di provinsi Padua di kawasan Veneto, 45 km sebelah
barat laut Venesia dan sekitar 25 km sebelah utara kota Padua. Atasannya
menulis tentang imam muda ini: “Saya yakin bahwa pada suatu hari dia akan
mengenakan mitra,[1] setelah itu siapa tahu?” Wah, semacam teka-teki atau
nubuat?
Romo Guiseppe mempunyai seorang Fransiskan besar
sebagai ‘idola’-nya, yaitu Santo Leonardus dari Port Maurice (1676-1751). Santo
Leonardus ini adalah model bagi Romo Guiseppe dalam hidupnya dan juga pada
mimbar ketika berkhotbah. Kesalehan Romo Guiseppe juga patut diteladani. Pada
jam 4 pagi, dia sudah kelihatan berlutut di depan tabernakel.
Sembilan tahun lamanya Romo Guiseppe berkarya
sebagai pastor paroki di Salzano (sekitar 15 km dari kota Venesia). Pada waktu
ditugaskan si Salzano inilah Romo Guiseppe bergabung dengan Ordo Ketiga Santo
Fransiskus (sekular) dan kemudian mendirikan dua persaudaraan Ordo Ketiga
Sekular.[2] Sejak saat itu Romo Guiseppe berupaya serius agar kata-kata yang
diucapkannya serta tulisan-tulisannya diwarnai dengan kesederhanaan dan
keugaharian standar-standar kehidupan Fransiskan, semuanya demi pencapaian
cita-cita dari Bapak Serafik.
Seusai penugasan di Salzano – untuk kurun waktu
sembilan tahun lamanya – Romo Guiseppe diangkat menjadi Vikjen, kanon dan
wali-pengawas seminari di keuskupan Treviso (di kawasan Veneta, dekat Venesia).
Banyak orang mengatakan, bahwa Romo Guiseppe tidak akan mati di Treviso.
Ternyata memang demikianlah, karena kemudian Romo Guiseppe diangkat menjadi
uskup Mantua , sebuah kota di Lombardy, untuk sembilan tahun lamanya. Sebagai
seorang uskup, tidak ada perubahan yang terjadi dalam kebiasaan-kebiasaan
hidupnya. Uskup Guiseppe tetap tidak menunjukkan toleransi samasekali terhadap
pesta-pesta perjamuan yang mewah. Baginya kegiatan kerasulan dalam bidang pers
sangatlah penting karena merupakan mimbar zaman modern. Oleh karena itu Uskup
Guiseppe mendedikasikan dirinya pada kegiatan kerasulan pers ini. Sementara itu
orang-orang miskin adalah favorit-favoritnya.
Uskup Guiseppe kemudian diangkat menjadi seorang
kardinal dan Patriark/batrik Venesia, juga untuk sembilan tahun lamanya.
Meskipun berada begitu dekat dengan pucuk pimpinan Gereja, Kardinal Guiseppe
tetap menjadi anak-rohani yang setia dari bapak-rohaninya, Fransiskus – si
kecil miskin dari Assisi.
Kematian Paus Leo XIII pada tahun 1903 membawa
Kardinal Guiseppe ke Roma/Vatikan untuk mengikuti pemilihan paus. Siapakah yang
akan terpilih? Kardinal Guiseppe Sarto menjawab: “Leo XIII, yang mencerahkan
dunia dengan hikmat-kebijaksanaannya akan digantikan oleh seorang paus yang
akan membuat dunia terkesan dengan kesucian hidupnya.” ‘Nubuat’ ini digenapi: ternyata dalam konklaf
Kardinal Guiseppe Sarto terpilih sebagai paus yang baru dengan nama Pius X.
Tidak lama setelah dipilih menjadi pemimpin tertinggi
Gereja, Paus Pius X mengumumkan program kerjanya, yaitu ‘memperbaharui semua
hal dalam Kristus’. Pius X melakukan banyak hal dalam hal kebangunan-rohani
Gereja, misalnya mendorong penyambutan komuni sejak usia muda dan juga komuni
harian. Ia menetapkan pokok-pokok yang diperlukan dalam rangka pencapaian
kesucian hidup para klerus. Ia mendorong perkembangan Ordo Ketiga. Yang paling
penting: Lewat kesucian hidupnya, Paus Pius X membuat dirinya sendiri menjadi
contoh bagi orang-orang untuk melakukan pembaharuan hidup rohani mereka.
Leaderhip by example! Banyak lagi yang dilakukan oleh Paus ini, namun tidak
dapat diceritakan di sini karena waktu dan ruang yang terbatas.
Paus Pius X terkadang dijuluki ‘Paus Ekaristi’.
Beliau tercatat pernah mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Komuni Kudus
adalah jalan yang paling singkat dan paling aman untuk menuju surga. Memang ada
jalan-jalan lain: keadaan tidak bersalah (innnocence), namun hal ini
diperuntukkan bagi anak-anak kecil; pertobatan, namun hal ini menakutkan kita;
memikul banyak pencobaan-pencobaan hidup, namun begitu pencobaan-pencobaan itu
tiba kita menangis dan mohon dikecualikan/diselamatkan. Jalan yang paling
pasti, paling mudah, paling singkat, adalah Ekaristi.” Ucapan beliau ini
tentunya mendukung pemberian gelar/ julukan sebagai ‘Paus Ekaristi’.
Kecintaan Paus Pius X pada Mazmur dalam Ibadat
Harian juga mengagumkan, karena baginya Mazmur adalah mengenai Yesus sendiri,
dalam Mazmur dia bertemu dengan Yesus. Pada bacaan kedua Ibadat Bacaan (versi
Inggris) hari ini, kita dapat membaca tulisannya tentang Mazmur ini. Saya petik
sebagian kecil saja:
“Siapa yang
dapat tetap tidak tergerak hatinya kalau melihat banyak bagian dalam Mazmur di
mana keagungan Allah yang besar sekali, kemahakuasaan-Nya, kekudusan-Nya yang
tak-tereskpresikan dengan kata-kata, kebaikan-Nya, kerahiman-Nya,
kesempurnaan-kesempurnaan-Nya yang tak terbatas lainnya, diproklamasikan dengan
begitu agung dan indah? Siapa pula yang tak tergerak hatinya oleh
tindakan-tindakan penuh syukur atas berkat-berkat dari Allah, oleh doa-doa
penuh kerendahan-hati dan rasa percaya yang dimohonkan kepada Tuhan untuk
hal-hal yang sangat didambakan, oleh seruan-seruan pertobatan jiwa-jiwa
berdosa? Siapa yang tidak terbakar dengan cinta oleh gambar Kristus sang
Penebus yang setia, yang suara-Nya didengar oleh Santo Augustinus dalam semua
mazmur, Dia bernyanyi, Dia meratap, Dia bersukacita dalam harapan, Dia
berkeluh-kesah dalam keadaan sulit?” (A Reading from the Apostolic Constitution
of Pope Pius X on the Psalter in the Divine Office, The Divine Office III).
Meskipun paus, namun ia tetap romo paroki yang penuh
pengertian dan cintakasih. Setiap Minggu ia berkhotbah secara sederhana
menjelaskan Injil yang dibacakannya kepada hadirin di halaman Vatikan. Kebaikan
hati dan kesederhanaannya sangat menonjol.
Kemudian pecah perang dunia yang pertama. Ketika
menderita sakit, dari atas pembaringannya Paus Pius X berkata: “Saya ingin menderita. Saya ingin mati bagi para
serdadu di medan tempur.” Pada tanggal
20 Agustus 1914 – enam belas hari setelah pecah Perang Dunia I – Paus Pius X
dengan penuh kedamaian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Wasiatnya
mencerminkan jiwa Fransiskannya: “Saya dilahirkan miskin, saya telah hidup
miskin, dan saya ingin mati secara miskin pula.”
Semasa hidupnya, Paus Pius X beberapa kali
menyembuhkan secara ajaib orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. Setelah
kematiannya, banyak terjadi mukjizat pada kuburannya. Proses beatifikasinya
dimulai pada tahun 1923. Beatifikasinya dilakukan pada tahun 1951 dan
kanonisasinya dilakukan pada tahun 1954.
Santo Pius X adalah seorang imam sejati, seorang
pastor/gembala umat yang patut dicontoh perikehidupannya, baik oleh para klerus
maupun umat kebanyakan. Baiklah kita juga selalu berdoa mohon pengantaraannya,
terutama untuk kebaikan para imam kita. Santo Pius X, doakanlah kami!
Sumber tulisan tentang Paus Pius X: (1) Marion Habig
OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS; (2) A. Heuken SJ dan Staf Yayasan CLC, ENSIKLOPEDI ORANG
KUDUS; (3) Ronda de Sola Chervin: QUOTABLE SAINTS; (4) THE DIVINE OFFIE – THE
LITURGY OF THE HOURS ACCORDING TO THE ROMAN RITE III – WEEKS OF THE YEAR 6-34.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Saudara-saudari
sekalian. Tuhan memberkati.
Salam persaudaraan,
Frans Indrapradja OFS
Vivit Dominus in cuius conspectu sto.